Bayu, seorang remaja yang sedang dalam proses pencarian jati diri. Emosinya yang masih labil, membuat ia mudah tersulut emosi dan juga mudah terhasut.
Suatu malam, Bayu pulang dalam keadaan mabuk. Sang ayah yang kecewa dan marah, tanpa sadar memukulinya.
Termakan hasutan tetangga, Bayu tega melaporkan ayahnya dengan tuduhan kekerasan anak. Hubungan ayah dan anak yang sebelumnya sudah goyah, menjadi semakin buruk. Namun, pertemuannya dengan seorang gadis sedikit membuka mata hatinya.
Sebuah rahasia besar terungkap ketika ibunya pulang kembali ke kampung halaman setelah dua tahun menjadi TKW di luar negeri.
Apa rahasia besar itu?
Mampukah rahasia itu menyatukan kembali hubungan ayah dan anak yang terlanjur renggang?
Ikuti kisah selengkapnya dalam 👇👇👇
MAAFKAN AKU, AYAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6. Hari Pertama Tanpa Ayah
.
Bayu pulang ke rumahnya, diantar oleh Pak Hasan. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan berarti di antara mereka. Bayu masih dipenuhi kebingungan dan sedikit penyesalan, sementara Pak Hasan memasang wajah prihatin, seolah memahami betul apa yang dirasakan Bayu.
Setibanya di rumah, Bayu merasa bebas. Matanya menatap sekeliling rumah, rumah yang dulunya begitu sederhana kini menjadi sedikit lebih bagus setelah satu tahun ibunya bekerja di Arab Saudi. Sentuhan baru di sana sini, hasil kiriman uang dari ibunya. Dalam hati anak muda itu membenarkan kata-kata Pak Hasan bahwa seharusnya ayahnya lah yang bekerja di luar negeri, bukan ibunya yang seorang wanita.
"Sudah sampai, Yu. Istirahatlah. Bapak pulang dulu ya," kata Pak Hasan, memecah lamunan Bayu.
"Terima kasih banyak, Pak," jawab Bayu dengan nada tulus. Ia merasa berhutang budi pada tetangganya itu.
"Sudah menjadi kewajiban Bapak untuk membantu sesama," balas Pak Hasan dengan senyum tulus yang dibuat-buat. “Semoga setelah ini ayahmu akan sadar, ya," tambahnya membuat Bayu terharu. Pak Hasan benar-benar tetangga yang baik.
Setelah berbincang sejenak, Pak Hasan pamit pulang. Bayu mengantar pria itu sampai depan pintu, lalu melangkah masuk dengan perasaan campur aduk.
*
*
Sementara itu, di dalam kantor polisi, Ahmad menangis pilu saat petugas kepolisian menggiringnya ke ruang sel tahanan. Tempat di mana dirinya akan tidur selama empat bulan ke depan. Ia tak menyangka, anaknya sendiri yang menjebloskannya ke tempat itu. Hatinya hancur berkeping-keping.
*
*
*
Bayu menatap rumahnya dengan pandangan baru. Biasanya, rumah ini terasa ramai dengan kehadiran ayahnya. Sekarang, rumah itu terasa kosong dan dingin. Namun, ia segera menepis perasaan itu. Ia harus kuat, ia harus membuktikan bahwa ia bisa hidup tanpa ayahnya.
“Begini lebih bagus. Gak ada yang berisik," gumamnya, meyakini apa yang ia lakukan sudah benar.
Pemuda yang begitu senang karena tak lagi harus mendengar suara cerewet ayahnya. Ia bisa main game sampai puas tanpa mendengar ayahnya yang selalu ceramah untuk menyuruhnya tidur karena esok harinya harus sekolah.
"Akhirnya, aku bebas!" seru Bayu, lalu berlari menuju kamarnya.
Di dalam kamar, ia naik ke atas tempat tidur dan berbaring sambil membuka hape, memainkan game online favoritnya. Ia larut dalam dunia virtual, melupakan semua masalah yang sedang dihadapinya.
"Asyik, akhirnya bisa main game sepuasnya," gumam Bayu, dua jempolnya lincah menari di atas layar ponselnya.
Ia bermain game hingga larut malam, tanpa mempedulikan waktu. Biasanya, ayahnya akan datang mengetuk pintu dan menyuruhnya tidur. Tapi malam ini, tak ada yang mengganggunya.
"Enak juga ya, bebas begini," pikir Bayu, sambil terus bermain game.
Ia terus bermain game, hingga akhirnya matanya terasa berat hingga hapenya tergeletak di atas kasur. Ia tertidur.
*
*
*
Keesokan harinya, Bayu bangun kesiangan. Tidak ada alarm yang berdering, tidak ada suara ayahnya yang lembut membangunkannya. Ia terlonjak kaget, menyadari bahwa ia harus segera berangkat sekolah.
Dengan tergesa-gesa, Bayu mandi dan mengenakan seragam sekolahnya. Ia melangkah menuju meja makan, perutnya sudah keroncongan minta diisi. Namun, pemandangan yang menyambutnya hanyalah suasana sepi dan meja makan yang kosong.
Bayu membuka tudung saji, berharap menemukan sarapan yang sudah disiapkan. Namun, nihil. Di bawah tudung saji itu, hanya ada piring kosong dan makanan sisa kemarin yang sudah basi.
"Ayah!" teriak Bayu, memecah keheningan rumah. Biasanya, sebelum ia berangkat sekolah, ayahnya sudah menyiapkan sarapan untuknya. Nasi goreng hangat dan telur dadar. Makanan yang selalu ia cemooh, mengingat ayahnya memang berjualan nasi goreng keliling. Mengira yang disiapkan ayahnya adalah sisa dagangan yang tidak habis.
“Ayah!" Bayu berteriak lagi.
Namun, tak ada jawaban. Tak ada sahutan. Yang ada hanyalah gema suaranya sendiri.
“Tsk, Ayah ke mana sih?"
Dengan langkah berat, Bayu pergi menuju halaman belakang rumah. Mungkin saja, ayahnya sedang memberi makan ayam atau menyiram tanaman.
"Ayah! Ayah di mana?" panggil Bayu lagi, berharap menemukan sosok yang ia cari.
Namun, lagi-lagi, nihil. Halaman belakang itu sepi. Hanya ada kandang ayam yang berisik, dipenuhi oleh ayam-ayam yang kelaparan.
"Ayah ke mana sih? Main pergi-pergi, tidak masak, mana ayam dibiarkan kelaparan lagi," gerutu Bayu kesal.
Ia kembali masuk ke dalam rumah, dengan hati yang semakin kesal. Ia kembali berteriak memanggil ayahnya, berharap ada keajaiban.
"Ayah!" teriak Bayu sekuat tenaga.
Deg!
Seperti palu godam yang menghantam dada, ketika tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ayahnya... ayahnya berada di penjara. Daan dia lah yang mengirim ayahnya ke sana.
Seketika itu juga, setitik rasa bersalah menghantam hatinya. Ia merasa menjadi anak durhaka, telah memenjarakan ayahnya sendiri.
Namun, dengan cepat, ia menepis rasa bersalah itu. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang telah ia lakukan adalah benar. Bahwa ayahnya pantas mendapatkan hukuman itu.
"Tidak, aku tidak salah," gumam Bayu, mencoba menenangkan dirinya. "Ayah yang salah. Dia telah melakukan kekerasan padaku. Aku hanya membela diri.”
Dengan langkah gontai, akhirnya Bayu mengambil tas nya. Ia harus segera berangkat ke sekolah. Perutnya keroncongan, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia harus segera sampai ke sekolah agar tidak terlambat.
Ingin meminta uang saku, tapi ia tak tahu harus meminta pada siapa. Biasanya, setiap pagi sebelum berangkat sekolah, ayahnya selalu memberikan uang saku. Uang yang seharusnya cukup untuk membeli nasi bungkus dan minuman di kantin sekolah, tapi ia tak pernah mengunakan untuk itu. Baginya bisa nongkrong merokok dengan teman-temannya lebih keren.
Kini ayahnya tidak ada d rumah. Siapa yang akan memberinya uang saku? Ibunya masih bekerja di luar negeri. Ia tak punya saudara atau kerabat dekat yang bisa ia mintai pertolongan.
Bayu menghela napas panjang. Ia merogoh saku celananya, berharap menemukan selembar uang yang terselip. Namun, nihil. Sakunya kosong melompong. Uang yang kemarin ia minta pada ayahnya dengan alasan untuk membuat kerja kelompok sudah ia habiskan untuk patungan membeli minuman keras.
"Sial," gumam Bayu kesal. "Ah, sudahlah, tahan saja," pikir Bayu, mencoba menguatkan dirinya.
Ternyata, masalah tak selesai sampai di situ. Bayu semakin menggerutu ketika ia menuntun sepeda motornya untuk dibawa keluar dari rumah. Ia sudah kelaparan, tidak punya uang saku, dan sekarang motornya juga kehabisan bensin.
"Sial, sial, sial!" umpat Bayu, melampiaskan kekesalannya.
Ia melirik tangki bensin motornya. Jarumnya sudah berada di garis merah, menandakan bensinnya tinggal sedikit.
"Kenapa semua jadi serba sial begini?" gerutu Bayu, mendorong motornya dengan kasar.
Dengan kesal, Bayu akhirnya menuntun sepeda motornya sampai ke sebuah toko kecil yang tak jauh dari rumahnya. Ia kenal baik dengan pemilik toko itu, Bang Udin.
"Bang, utang bensin, ya?" pinta Bayu dengan nada memelas. "Nanti ayah yang bayar, deh."
Bang Udin mengerutkan kening, menatap Bayu dengan tatapan menyelidik. "Bayu, kamu seharian kemarin ke mana sih? Kamu tahu nggak kalau kemarin ayahmu dibawa ke kantor polisi?"
Jantung Bayu berdegup kencang. Ia tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.
"Hah? Dibawa ke kantor polisi?" Bayu memasang wajah terkejut, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Kok bisa, Bang? Ayah kenapa?"
"Kamu beneran nggak tahu?" Bang Udin tampak ragu. "Ayahmu itu kemarin bingung nyariin kamu, loh?”
Bayu menggelengkan kepalanya dengan ekspresi polos. "Nggak tahu, Bang. Aku kemarin nginep di rumah teman, terus sore baru pulang. Ayah sudah gak ada di rumah. Aku tungguin sampai pagi ini belum pulang juga."
Udin menghela napas, sedikit kesal dengan sikap Bayu yang sekarang. Tapi segera memberikan bensin yang diminta Bayu, mengingat selama ini Ahmad sangat baik padanya.
Selamat bermalam di hotel prodeo pak Hadan...👊👊👊👊👊👊
Mo kabur...????? oooo..tidak bisa.....
kalian sdh dibawah pengawasan....🤭🤭🤭🤭