Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 25 | Beneran Chaos
Pembicaraan dengan Maria membuat Anala tertekan hingga terbawa pikiran. Setelah kembali dari sana, ia langsung izin pamit kembali pada suaminya. Namun, ditengah perjalanan langkahnya tiba-tiba goyah hingga nyaris kehilangan keseimbangan.
"Aw..." ringisnya sambil memegangi sisi kepala.
Nathael mendongak memastikan keadaan Mamanya, perlahan ia mulai melotot saat bibir Anala terlihat pucat dengan raut wajah merintih. "Ma... Mama kenapa? Mama sakit?" suara Nael berubah panik. Jantungnya berdebar cepat hingga raut wajahnya berubah seperti akan menangis.
Nathael memegang tangan Anala dengan erat, meski tangannya sendiri gemetar takut. "Ayo duduk dulu Ma, kita duduk disini dulu." bocah kecil itu dengan hati-hati menuntun Anala untuk duduk. Tangannya tak lepas menggenggam jemari sang Mama.
Anala mengatur nafasnya yang memburu. Denyutan di kepalanya masih terasa. Didepannya Nathael menatap penuh gundah. Seketika bibirnya terangkat, lalu tangannya pelan-pelan membelai pipi Nathael. "Maaf ya sayang, Mama udah bikin kamu khawatir."
Bocah itu menggeleng cepat, tangannya dengan cepat menghapus rintik air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa di duga. "Nggak perlu minta maaf Ma, semua orang kan bisa sakit. Apa Mama sakit karena sering masak buat Nael?"
Anala tersenyum pelan, ia tidak mau membuat Nathael semakin khawatir. Tangannya meraih tangan mungil itu, menatapnya lembut. "Mana mungkin karena itu."
Nathael masih diam, dia menunduk karena terus merasa bersalah. "Bagaimana kalau iya?" Anala terkekeh pelan, ia membawa tangan Nathael ke sisi wajahnya. "Itu nggak benar, sayang."
Suara Anala yang lembut dan hangat itu membuat tangisan Nathael pecah. Air matanya menghujam tanpa bisa lagi ditahan. Kedua tangannya sibuk mengusap mata itu dengan kasar sambil sesekali merintih pelan. "Nael takut Mama kenapa-kenapa."
Anala tersenyum simpul, rasa pusingnya perlahan samar. Ia merentang tangan lalu membawa Nathael ke dalam pelukannya. Membiarkan anak kecil itu merasa tenang dan tak lagi berpikiran buruk.
Mama macam apa sih aku ini sampai bikin anakku nangis ketakutan kayak gini...
Meskipun kehadiran Nathael sedikit membantunya, namun Anala tak bisa lepas sepenuhnya dari bayangan Maria. Kepalanya terus dipenuhi oleh kalimat demi kalimat yang menyesakkan.
"Mungkin Nael akan segera punya adik. Tapi— dari ibu yang berbeda."
Suara itu— masih menggema dengan jelas dalam pikiran Anala. Hati kecilnya percaya bahwa Elliot adalah pria setia, dia tidak mungkin selingkuh. Dia selalu tidak mau menjadi seperti ayahnya. Namun, Anala tetap tak mampu menang dari rasa curiga.
Tapi Maria bicara dengan percaya diri, sambil memamerkan cincin dijari manisnya.
Banyak kemungkinan bersemayam dalam pikirannya, begitupun dengan penyangkalan demi penyangkalan yang berdasar dari hati kecilnya.
Tapi... Elliot nggak mungkin punya istri lain dibelakang aku.
Makin lama pikiran itu semakin menganggu hingga otaknya tidak lagi mampu menerima. Kepalanya mendengung, suara musik dari belakang mulai terdengar samar dan jauh. Nafasnya memburu hingga keringat dingin menetes laju di keningnya.
Entah dari mana, sebuah suara-suara aneh beriak silih berganti dalam kepalanya. "Kamu lihat foto ini? dia sekretaris Elliot dan mereka sama-sama berada di luar negeri. Kamu nggak curiga kalau Elliot selingkuh sama dia?"
"Itu nggak mungkin!"
Tepat setelah suara itu menghilang, kepalanya berdenyut seperti mau pecah. Dia kesakitan hingga tak dapat menahan rintihan. "Ah..." semuanya kalut dengan pandangan bergetar layaknya kaca yang retak perlahan. "Hentikan, aku mohon!"
Rintihan itu mengangetkan Nathael. Pelukan mereka terlepas saat Anala memegangi kedua sisi kepalanya. Nathael menatap dengan mata membesar, ada rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan lewat matanya.
"Mama!"
Anala mencoba tersenyum meski rasanya sangat menyakitkan. Jangan sakit Anala... jangan buat Nael takut. Namun ketika ia meraih bahu putranya, jemarinya malah bergetar hebat. "Mama nggak apa-apa, Sayang." suaranya pecah, lirih, dan tidak meyakinkan.
Nathael langsung menelan ludah, matanya berair. "Mama bohong!" ia menarik tangan Anala. Tangan kecil itu terasa dingin, walau berusaha kuat. Lalu ia menoleh ke arah kiri dan kanan, namun tidak ada sosok yang ia kenal.
Tangannya mengepal kuat, air matanya hampir jatuh lagi untuk kedua kali. Namun tepat sebelum tangisnya benar-benar pecah, sosok Elliot nampak didepan Matanya. "Papa..." teriaknya cukup keras.
"Nael?" suara itu rendah, namun terdengar familiar.
Elliot yang baru saja selesai dari obrolannya dengan kolega langsung berlari kearah Nathael yang memanggilnya dengan nada panik. "Mama Pa... Mama sakit!" tangan kecilnya menunjuk Anala yang masih tertunduk sambil memegangi kepalanya.
Wajah Elliot seketika berubah dingin, tegang dan kaku. Seluruh nadinya terasa menegang seperti kabel tersambar listrik. "Anala?" istrinya masih duduk di kursi, wajahnya pucat, tangan menutupi pelipis yang berdenyut.
"Anala, lihat aku." tangannya menggenggam kedua pipi Anala yang dingin. Keprihatinan memotong tajam suara musik pesta. Anala membuka mata perlahan, pandangannya kabur. "Aku pusing El."
Elliot langsung menelan ludah. "Kita pulang sekarang," sambil buru-buru mengangkat istrinya. Sementara Nathael masih menatap Mamanya penuh gelisah sambil memegang ujung jas papanya.
"Sayang jangan menangis, ayo ikut Papa." suaranya mulai bergetar, sebelah tangan meraih tangan putranya, sebagian lain menggendong Anala. Rasa takut dan sesak mulai membayangi hatinya.
Elliot meninggalkan acara itu dengan tergesa. Beberapa orang hanya mengamati tanpa berani bertanya. Sepanjang jalan pikirannya tak tenang, mengkhawatirkan istrinya dan juga Nael yang terlihat begitu terpukul. Ia kembali merasakan ketakutan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Mobil melaju kencang hingga tanpa terasa mereka sudah sampah di rumah. Elliot sudah membawa Anala ke kamar meski wanita itu kehilangan kesadarannya. Dokter juga sudah dipanggil untuk memeriksa, dan katanya hanya kecapean biasa.
"Papa... apa Mama baik-baik aja?" sejak tadi Nathael terus menatap Mamanya yang terbaring lemah. Matanya sembab tak berhenti mengeluarkan air mata.
Elliot membawa Nathael dalam pelukannya, menggusuk punggungnya untuk menenangkan. "Iya sayang, Mama akan baik-baik saja." namun jawaban itu tak menenangkan. "Tapi kenapa Mama nggak sadar juga, Pa."
"Besok pasti Mama udah sadar. Makanya sekarang Nael tidur dulu, biar besok nggak kesiangan liat Mama." Elliot melepaskan pelukannya lalu tersenyum lembut. "Ayo Papa antar ke kamar."
Si kecil itu menolak dengan gelengan kepala. "Nael nggak mau, Nael mau tetap disini!" wajahnya yang gigih itu tak bisa dipaksa. "Ya udah kalau gitu Nael tidur disebelah Mama, tapi jangan berisik."
Sontak matanya langsung berbinar dengan anggukan kepala. Tanpa tunggu lama, Nathael langsung berbaring disebelah Anala, sementara Elliot masih menunggu sambil memegangi tangan Anala.
***
Setelah berbaring tidur cukup lama, Anala bangun sambil meringis memegang kepala. Matanya mengerjap menyesuaikan cahaya yang remang mengintip dari balik kain jendela. di sisinya ada Nathael yang tertidur damai. Sementara disisi lain, Elliot tertidur sambil memegang tangan. Kepalanya bertumpu disisi ranjang sebelah Anala.
"Astaga... kenapa Elliot nggak tidur dengan benar."
Dengan gerakan sepelan mungkin, Anala diam-diam turun dari ranjang. Tujuannya mau segera mandi dan menyiapkan sarapan untuk dua orang yang susah payah menjaganya sepanjang malam. Namun, gerakan tiba-tiba itu membangunkan Elliot. Ia menatap Anala saat matanya separuh terbuka.
"Sayang, kamu udah bangun?"
Anala langsung membeku ditempat. Ini pertama kalinya Elliot memanggilnya dengan begitu romantis. Mendadak tenggorokannya terasa kering bersamaan dengan semburat merah jambu dari wajahnya.
"Eh anu... kamu lanjut tidur aja ya, aku mau siapin sarapan dulu."
Terdengar helaan nafas dari Elliot, ia mengangguk lalu naik ke tempat tidur dengan patuh. Sepertinya dia masih belum sadar. Sebelum Anala benar-benar melangkah, tangannya ditahan oleh Elliot yang masih setengah tidur. "Hari ini aku mau sandwich... pakai truffle mayo, boleh?"
Suaranya terdengar manja, bukan seperti biasa. Anala membelai kedua pipi Elliot lalu menguyelnya pelan. "Dengan senang hati pak suami."
Setelahnya Anala benar-benar menjauh dari dua orang yang masih tertidur dipagi weekend-nya. Apa yang dilakukan Elliot untuknya sudah cukup sebagai bukti bahwa dia masih mencintai Anala. Terlalu egois jika Anala terus curiga sementara Elliot tak pernah bersalah.
Awalnya memang begitu, namun siapa sangka kebenaran datang begitu cepat. Di dalam mobil yang biasa Elliot pakai untuk bekerja, ditemukan lima buah nota pembelian perhiasan dalam rentang 6 bulan terakhir.
"Cincin dengan permata merah–ruby oval cut seharga 25 juta?" matanya membelalak, angka yang cukup fantastis untuk sebuah perhasiasan, "Kenapa Elli beli cincin semahal ini?" perasaannya tak enak.
"Elliot nggak pernah ngasih perhiasan ini ke aku. Jadi... apa benar—?"
Ingatannya tiba-tiba menyesap pada kejadian malam sebelumnya. Cincin ini—cincin yang sama dengan milik Maria yang tempo hari ia pamerkan dengan percaya diri. Nota itu terlepas dan jatuh ke lantai mobil, tangan Anala rasanya mendingin dan perlahan menjalar menuju seluruh tubuh.
"Cincin wanita itu benar-benar mirip dengan produk yang ada di nota ini."