NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:615
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 - Luka dan Rahasia

Matahari menembus celah tirai beludru merah, memantulkan kilau keemasan di kamar megah milik Zevh Obscura. Udara pagi yang segar masuk, kontras dengan rasa perih yang merobek perutnya.

Sang panglima berdiri tegak di tepi meja, napasnya memburu. Jemarinya menekan luka yang masih basah, kain putih dililitkan rapat menahan darah yang merembes.

Ini adalah luka pertama Zevh, luka yang tak seorang pun tahu.

Tidak ajudannya, tidak pengawalnya, bahkan tidak saudara-saudara yang tumbuh bersamanya.

“Sial…” gumamnya, giginya terkatup menahan rasa perih. Panah itu menusuk terlalu dalam semalam, saat ia membantai pasukan Arons di perjalanan pulang dari Osca.

Ironis. Luka ini ia dapat bukan demi takhta, bukan demi kemenangan perang besar, melainkan demi selembar gulungan rapuh yang berisi kisah Osca dan Sungai Oxair.

“Apa takdirku akan berakhir di tangan gadis bandit itu…” desisnya, mengingat Elara. Gadis yang membuatnya menjejak lebih dalam ke wilayah Osca, mencari gulungan itu di kediaman Edric Elowen. Gadis yang entah bagaimana menjerat pikirannya, meski ia membencinya.

Zevh melabuhkan pandangan pada gulungan berkas di meja. Ia baru saja menaburkan serbuk herbal ke luka perutnya, rasa panas menjalar ke seluruh tubuh, membuatnya terhuyung sejenak.

Namun tatapan matanya tetap fokus pada simbol tinta pudar di gulungan itu.

Kisah Osca… tanah perbatasan… keturunan Penjaga Sungai Oxair.

Ia merengut saat darahnya menetes mengenai kertas, menyebar, menutupi sebagian kalimat penting.

Brakk!

Tangannya menghantam meja.

Darahnya sendiri kini menodai kisah yang ia cari dengan susah payah. Namun dari noda itu, tiba-tiba muncul cahaya samar. Simbol pusaran air terukir sekejap, memancar lalu lenyap.

“Elara…” bisik Zevh. Suaranya rendah, hampir seperti doa atau kutukan.

Apakah itu halusinasi akibat sakit dan kehilangan darah? Ataukah Sungai Oxair benar-benar menyimpan rahasia yang mengikatnya pada gadis Osca itu?

Tok. Tok. Tok.

Ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

“Zevh, aku Veron.”

“Masuk.”

Veron melangkah masuk, diikuti bayangan tenang dari tubuhnya yang tinggi. Matanya segera menangkap gulungan berlumur darah di meja. “Apa kau terluka?” tanyanya, suara penuh curiga namun tetap hormat.

Zevh menggeleng, wajah dinginnya tetap sempurna. “Tidak.”

Ia menunjuk gulungan itu. “Cari salinannya di perpustakaan wilayah Barat. Aku butuh jawaban lengkap.”

Veron mengangkat gulungan itu, membaca sekilas. “Sungai Oxair? Jadi mitos itu menarik perhatianmu juga.”

“Jelaskan,” perintah Zevh.

Veron menghela napas. “Seperti tertulis, Sungai Oxair dipercaya punya penjaga. Katanya, siapa pun yang mengusik penunggunya akan mendapat kutukan. Tapi itu hanya cerita rakyat.”

Dari pintu, Zark masuk tanpa mengetuk, bahunya tegap. “Mitos itu punya dasar. Kau tahu sendiri, Zevh. Sungai Oxair adalah nadi bagi empat wilayah. Airnya tidak pernah surut. Kau bahkan pernah memuji kejernihannya.”

Kenangan menyelinap. Mereka bertiga, Zevh, Veron, dan Zark, pernah menunggang kuda menyusuri tepian sungai itu. Veron dan Zark jatuh dari tebing tinggi ke dalam aliran deras, namun ajaibnya, mereka keluar tanpa luka sedikit pun.

“Itu alasan aku percaya,” ujar Veron, menatap Zark.

Zark mendengus. “Atau mungkin kita memang terlalu kuat. Bahkan kematian pun enggan menyentuh kita.”

Veron tertawa pendek, lalu menggenggam gulungan itu lebih erat. “Aku akan mencari salinan. Tapi jangan berharap banyak. Kadang mitos hanya ingin tetap menjadi mitos.” Ia berbalik, meninggalkan kamar.

Zark mendekat, berdiri tegap di sisi Zevh. “Kami sudah menekan perdagangan Osca. Semua berjalan sesuai rencana. Langkah kedua menunggu. Arons pasti merencanakan balasan.”

“Pantau terus. Jangan beri dia ruang bernapas,” sahut Zevh dingin.

Zark mengangguk dan mundur, meninggalkan Zevh seorang diri.

Kamar kembali sunyi. Hanya suara napas tertahan dan detak jantung panglima itu yang terdengar. Zevh berdiri, menatap bayangannya di cermin besar. Sosok panglima kejam, tegap, dingin, tanpa luka.

Namun di balik kain yang dililit rapat di perutnya, darahnya masih merembes.

Luka pertamanya, rahasia yang ia sembunyikan dari dunia.

Matanya kembali melirik gulungan itu. Di noda darah yang mulai mengering, samar-samar, ia seakan masih melihat pusaran air.

“Jika sungai ini benar-benar punya kutukan…” gumamnya, suara nyaris tak terdengar, “…maka biarlah kutukan itu datang padaku. Aku akan menaklukkannya.”

Dan di sudut hatinya yang ia benci untuk akui, nama Elara kembali berbisik pelan, seperti air yang tak bisa ia hentikan mengalir.

---

Matahari pagi itu mulai merayap naik, menyapu tembok kelabu istana Zevh dengan warna keemasan yang hangat. Namun kehangatan itu terasa asing di dalam tembok tahanan. Bagi Elara, setiap sinar hanyalah penanda hari baru yang penuh luka.

Kendi besar sudah menunggu, dingin dan kosong, seperti bejana yang menelan tenaga dan harapan siapa pun yang dihukum mengisinya. Dengan tubuh yang masih letih, Elara menimba air dari sungai kecil di dekat lapas, lalu menuangkannya ke dalam kendi besar yang berdiri tegak seperti raksasa bisu. Hukuman itu mengingatkannya pada hari-hari di istana Noctis. Ironis, bahkan di bawah kuasa Zevh pun ia menjalani beban yang sama.

Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari arah gerbang tahanan utama. Rantai beradu, langkah keras prajurit, dan teriakan samar bercampur menjadi dentuman asing di pagi hari itu.

“Lihatlah, kita punya teman baru,” ejek seorang wanita bengis sambil merampas kendi dari tangan Elara. Matanya penuh cemooh, bibirnya menyeringai seperti singa yang menemukan mangsa.

Tiga orang tahanan baru digiring masuk, tangan mereka terikat, wajah mereka penuh debu dan luka. Salah satunya tersungkur tepat di depan kaki Elara.

“Tidak ada waktu istirahat untukmu. Cepat selesaikan hukumanmu. Isi kendi itu sampai penuh,” bentak seorang pengawal dingin.

Sebelum pergi, ia menoleh ke wanita yang berdiri di sisi Elara. “Dan berhentilah menjadi gadis pencuri, nona,” ucapnya dengan sinis.

Wanita itu mendengus. “Aku rela jadi pencuri kalau itu membuatku bisa bertemu nona-ku,” gerutunya lirih.

Elara menoleh. Suara itu... begitu akrab.

“Heln…” gumamnya pelan, seakan nama itu keluar dari ingatannya sendiri.

Wanita itu mengangkat wajahnya. Matanya membelalak, tubuhnya bergetar.

“Astaga… Nona Elara!” serunya dengan suara tertahan.

“Heln… jangan! Jangan buat pengawal curiga. Kau bisa celaka,” bisik Elara tenang. Heln mengangguk, lalu berpura-pura menunduk patuh.

Mereka mulai mengisi kendi besar bergantian, bolak-balik dari sungai ke halaman tahanan. Namun di sela-sela pekerjaan berat itu, Elara memberi tanda.

“Bicaralah…”

Heln ragu, matanya berkelana, mencari kata-kata. Elara menyentuh lengannya ringan.

“Heln,” panggilnya pelan, membuyarkan kebingungan.

Suara Heln pecah penuh emosi.

“Nona… Tuan Zevh mendatangi desa Osca semalam. Keluarga anda… baik-baik saja. Tapi perlindungan dari Tuan Zevh itu, sebenarnya ancaman halus. Ia sudah tahu Ayah Anda berbohong. Beberapa pasukan Arons yang ditempatkan untuk menjaga keluarga Anda… dibantai habis oleh Zevh. Tepat di halaman rumah Anda sendiri.”

“Apa?” bisik Elara, wajahnya pucat, tangan gemetar.

“Percayalah, nona. Zevh bukan manusia biasa. Kekuatan itu… mengerikan. Matanya… Elysight… setiap tatapannya adalah maut. Ayah Anda sendiri pernah memuji itu, tapi saya menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Ia membunuh tanpa perlu bicara.”

Elara menggeleng. Tak masuk akal. Namun potongan-potongan ucapan Zevh dulu, komentar anehnya, tatapannya yang menusuk, perlahan merangkai kebenaran yang menakutkan.

Heln menelan ludah. “Dan… kabar bahwa Pangeran Zevh menyimpan seorang tawanan cantik… sudah menyebar ke Osca. Ayah anda mengutus saya untuk memastikan kabar itu benar.”

Elara meremas kendi di tangannya. “Heln, kau bodoh! Nyawamu bisa melayang!”

“Saya tidak peduli, nona. Saya hanya ingin melihat Anda selamat.”

Air mata menetes di sudut mata Elara. Namun Heln buru-buru melanjutkan.

“Dan satu hal lagi… semalam Zevh masuk ke perpustakaan Osca. Saat pulang, ia diserang pasukan Utara. Paginya saya melihat bekas pertempuran, prajuritnya sedang merapikan lokasi. Itu benar terjadi.”

Elara menarik napas panjang, lalu menggenggam erat tangan pelayannya.

“Heln, dengarkan aku. Jalani hukumanmu sampai selesai. Kau harus bertahan. Aku… membutuhkanmu kelak.”

Heln mengangguk. “Baik, nona.”

Namun, dari kejauhan, sepasang mata gelap sudah memperhatikan. Zevh Obscura berdiri tegak, tangannya mengelus surai kuda hitamnya, Axten.

“Axten…” ucapnya datar. “Kau terlihat lebih gagah setelah disentuh gadis itu.” Ia menepuk wajah kudanya, lalu menuntunnya ke arah sungai.

Elara dan Heln segera berpura-pura menjauh. Namun Zevh sudah tiba, langkahnya berat, auranya menelan udara di sekitarnya. Ia mencelupkan tangan ke sungai, darah kering menetes dari jemarinya, terbawa arus yang jernih.

Elara menatap dengan jijik. “Jangan kotori sungai dengan darahmu.”

Zevh menoleh perlahan. Senyumnya tipis, penuh ironi. “Kenapa? Ini hanya air, Elara. Atau… kau percaya mitos itu?”

Elara menggertakkan gigi. Ia tak menjawab. Namun bahunya bergetar, perasaan yang tak bisa ia kendalikan merambat, membuat Zevh memejamkan mata sepersekian detik, merasakan getaran itu seakan masuk ke dalam dirinya.

“Kaulah masalahnya…” suaranya rendah, dingin. “Kau harus diasingkan dari Noctis. Atau mati hari ini.”

Elara membelalak.

“Tidak ada malam lagi untukmu. Malam kemarin adalah langit terakhir yang bisa kau lihat.”

Ia melambaikan tangan. “Pengawal! Bawa dia. Asingkan ke tahanan perbatasan Timur–Barat.”

Bisik-bisik menyeruak di antara tahanan lain.

“Seberbahaya itu kah gadis itu?”

“Cantik tapi membawa malapetaka…”

“Kenapa?!” Elara menjerit. “Aku rakyatmu! Aku lahir di tanah ini! Apa salahku?!”

Pengawal mencekal tangannya, menyeretnya. Elara meronta, matanya berkaca-kaca. “Kau menghancurkan masa depanku! Ke mana kau membawaku?!”

Heln menangis pilu, tak berdaya melihat nona yang ia layani diseret keluar.

Elara menendang liar, kakinya mengenai paha Zevh. Para pengawal kaget.

“Kurang ajar! Sopanlah atau kakimu akan kupotong!” bentak salah satu prajurit.

Zevh hanya mengangkat tangan. “Cukup.” Tatapannya menusuk Elara. “Siapkan pasukan. Kita berangkat sekarang.”

Elara menatap balik, penuh amarah dan ketidakberdayaan. Namun genggaman Zevh pada tangannya seperti belenggu besi yang tak bisa ia lepaskan.

Langkah mereka keluar dari tahanan meninggalkan bisik-bisik penuh kengerian. Elara kini jadi legenda hidup, tawanan cantik yang dianggap membawa malapetaka.

Rambut emas Elara berkilau sebentar terkena cahaya matahari sebelum tubuh mungilnya menghilang melewati gerbang utama, bersama Panglima Obscura yang menyeretnya ke takdir baru.

Heln menunduk, air matanya menetes ke tanah. “Semoga leluhur Osca melindungi Anda, nona…”

Namun, di dalam benak Elara yang terombang-ambing oleh tarikan kasar itu, sebuah bayangan mulai menyusup. Pandangannya kabur, langkahnya terasa melayang, seolah waktu berhenti.

Ia melihat desa Osca dari kejauhan, rumah-rumah berdiri sunyi, langitnya berwarna abu-abu. Lalu suara gemuruh datang, deras, menghantam dari segala arah. Sungai Oxair, yang biasa mengalir tenang, kini menjelma banjir hitam yang memuntahkan amarah.

Air itu bukan hanya air. Ia membawa reruntuhan, menelan ladang-ladang, menghancurkan jembatan, menyapu empat penjuru tanah, Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Wilayah kekuasaan Zevh tampak tenggelam di dalam pusaran air yang tak terbendung.

Di tengah terjangan itu, Elara berdiri sendiri, tangannya berlumuran air dingin, matanya memantulkan cahaya keemasan. Suara lirih terdengar, entah dari leluhur atau dari dirinya sendiri:

"Oxair akan menagih. Dan darah akan menjadi jalannya."

Elara terengah, napasnya terputus sesaat, lalu realitas kembali. Tangannya masih digenggam kuat oleh Zevh, tubuhnya masih diseret keluar. Namun gema bayangan itu melekat, menusuk batinnya.

Ia menoleh sekilas pada sungai kecil di sisi jalan, airnya tenang, jernih, seolah tak tahu bahwa dalam dirinya Elara melihat ramalan kehancuran.

Langkah mereka terus maju, tapi hati Elara dipenuhi ketakutan: mimpi itu bukan sekadar bayangan. Itu adalah tanda. Dan ia tahu, cepat atau lambat, sungai Oxair akan menjadi saksi runtuhnya dunia yang kini berusaha menenggelamkannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!