NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Harus Diajari Toto Kromo

Beginilah keluarga Sastrawira, penuh dengan intrik dan dinamika yang rumit. Setiap anggota keluarga memiliki kepribadian yang kuat, membawa konflik tersendiri dalam keseharian mereka. Sastra, sebagai anak tertua, selalu berada di tengah, berusaha menjaga keseimbangan antara tanggung jawabnya terhadap keluarga besar dan pernikahannya dengan Maha. Pria ini dibesarkan dalam lingkungan yang kental dengan nilai-nilai tradisi, dan ia adalah yang paling tenang di antara putra Hardjosoemarto yang lain.

"Bapak minta kamu tidak usah terlalu berlebihan melindungi istrimu. Seharusnya kamu sudah sadar, Hardjo itu melindungi nama yang tersemat di belakang perempuan manapun yang diperistri. Kita tidak luluh dengan romansa semacam itu, diseimbangkan saja. Urusan hati sering kali merusak segalanya, terutama soal pekerjaan," Adiwira berbicara tegas pada putra sulungnya, yang selalu tenang dan pandai mengelola emosi jika berbicara dengan ibu bapaknya dan para tetua.

"Juga ajari istrimu toto kromo. Bapak perhatikan, istrimu itu tidak sopan. Waktu pertama kali datang menyambangi rumah ini, Bapak tak suka cara ia duduk, cara berbicaranya, apalagi saat di meja makan. Tak dilayani kamu sama istrimu itu. Bapak mengerti dia masih sangat muda dan labil, tapi harus ingat posisinya sekarang, dia bagian dari Hardjo."

Sastra mendengarkan kata-kata Adiwira dengan tenang, meski di dalam dirinya ada sedikit perasaan tak nyaman. Ia tahu keluarganya, terutama bapaknya, memiliki standar tinggi tentang bagaimana seorang perempuan apalagi istri dari putra sulung keluarga besar Hardjosoemarto harus bersikap. Namun, ia juga tahu bahwa Maha adalah dirinya sendiri, seorang perempuan muda yang masih mencari pijakan dalam dunia barunya ini. Sastra tak bisa begitu saja mengubahnya, apalagi memaksa.

"Maaf, Pak," jawab Sastra, suaranya tetap tenang, "Maha masih belajar, dan saya yakin dia bisa menyesuaikan diri. Saya akan bimbing dia pelan-pelan."

Adiwira mengerutkan kening, tapi tidak langsung membantah. "Ya, asal jangan terlalu pelan. Keluarga ini punya reputasi, Sas. Bapak tidak mau reputasi itu ternoda karena istrimu belum siap. Dia harus cepat menyesuaikan diri."

Sastra mengangguk. "Saya mengerti, Pak. Tapi saya juga percaya, perubahan yang alami lebih kuat dan bertahan lama. Saya akan pastikan Maha memahami itu."

Adiwira terdiam sejenak, menimbang jawaban putranya. Ia tidak sepenuhnya puas, namun ia juga tahu Sastra bukan anak yang sembarangan mengambil langkah. "Baiklah," katanya akhirnya, meskipun nadanya masih penuh peringatan. "Ingat selalu soal kehormatan keluarga kita."

"Ya, Pak. Saya mengerti," jawab Sastra dengan nada yang sama, menjaga keseimbangan antara menghormati ayahnya dan melindungi Maha dari tuntutan peraturan keluarganya.

•••

Melihat Sastra bengong seperti itu, Maha merasa aneh. Pulang dari rumah utama, Sastra lebih banyak diam, merespon ucapan Maha sekadarnya bahkan ketika Maha mencoba memancing perdebatan, Sastra tampak tak berminat.

"Gue gak bisa di-diemin gini, Sas. Walaupun gue sesukanya, tapi gue gak bisa yang dibeginikan sama lo."

Sastra menoleh ke arah Maha, menghela napas sejenak. "Ada apa?"

"Huft... Gue diajakin ngobrol dong. Walaupun di meja makan gak boleh diem-dieman kayak gini. Kita gak lagi di rumah utama, Sas!" Protes Maha tak suka.

Sastra mengerutkan kening, menyadari bahwa ia sudah terlalu lama terjebak dalam pikirannya sendiri. "Maaf, Maha," ucapnya pelan. "Boleh saya diam dulu seperti ini? Nanti saya ingin bicara sama kamu."

Kalau sudah begini, pasti bakal sangat serius, Maha rasa begitu, karena Sastra tak pernah bicara tidak serius, dan kali ini agaknya bakal lebih serius.

Maha mendesah pelan. "Oke deh, bisu aja udah kaya gitu." Sastra tak perlu merespon lagi. Maha tahu bahwa Sastra tipe orang yang butuh waktu sebelum bisa mengungkapkan isi hatinya, jadi ia terpaksa mengalah sebentar.

Sesudah makan malam itu, mereka duduk di ruang tengah sambil menonton film bergenre thriller, namun keduanya sama sekali tak fokus benar-benar menonton.

"Saya tahu kamu ini sudah pandai baca situasi dan keadaan. Tidak serta merta kamu meminta izin untuk berkunjung ke rumah utama, saya tahu itu dan maksud tujuan kamu. Setidaknya kamu sudah dapat sedikit gambaran tentang keluarga saya, kan?" Sastra memecah keheningan.

Maha mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia merasa tak bisa legowo. "Iya, ini yang gue gak bisa. Gue terjebak sama lo."

Sastra menatapnya, memahami kebingungan yang Maha rasakan. "Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, Maha, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga Hardjo. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan dirimu karena saya pasti akan selalu mendukungmu. Tapi ada hal yang perlu kamu mengerti dan pelajari agar bisa menghadapi keluarga saya, atau di depan publik, sebagai dirimu yang menyandang nama keluarga Hardjo."

Maha menghela napas, mencoba mencerna kata-kata Sastra. "Jadi gue harus apa? Jangan bilang patuh sama peraturan keluarga lo yang kolot itu dan diminta tunduk sam lo lagi. Dih gamau tuh."

"Saya tidak mau kamu merasa seperti itu, Maha. Ini bukan soal tunduk atau patuh. Saya ingin kamu bisa menjadi dirimu sendiri, tetapi juga bisa mengatasi tekanan dari lingkungan keluarga saya."

"Ya itu tandanya gue tetap harus ngikutin aturan kolot keluarga lo dong? Gue nggak suka, ya, Sas. Lo pikirannya patriarki banget sih!" Maha menolak keras jika seperti itu,. sungguhan ia tak suka dibeginikan.

"Iya, saya paham kamu menganggapnya seperti itu," jawab Sastra dengan tenang. "Tapi yang perlu kamu tahu, saya bahas ini karena aturan dan tata krama di keluarga saya itu penting. Kamu hanya perlu lakukan didepan keluarga saya, tidak usah jika didepan saya. Saya ini tidak ingin mengekang kamu Maha, apapun yang kamu mau, jalan yang kamu pilih, saya akan dukung kamu selama itu baik untuk kedepannya." Sastra menjelaskan. Tidak berniat membuat Maha harus mengikuti dengan terpaksa, tapi berusaha mencoba buat ia mengerti.

Maha melipat tangan, ia masih skeptis. "Tapi kenapa harus ada aturan yang bikin gue merasa terjebak? Kenapa nggak bisa semua orang jadi diri sendiri tanpa harus mengikuti apa kata keluarga?"

"Saya mengerti frustrasi kamu," Sastra menjeda. "Tetapi kadang, untuk menjaga keharmonisan, kita perlu sedikit berkompromi. Itu bukan berarti kamu kehilangan jati diri, bisa jadi cara untuk menunjukkan penghormatan."

Maha mengerutkan dahi, jadi kacau perasaanya ini. Entah karena ia yang belum mengerti atau memang naluri hati sebagai perempuan yang sudah dibuat tidak adil oleh keluarganya sendiri dan Sastra yang mengambil sebagian hidupnya walaupun ia tak pernah mau mengakui pernikahan mereka.

"Setelah menikah perempuan kehilangan banyak hal, termasuk bersuara. Lo nyadar gak sih. Lo udah merebut masa muda gue Sas! Gue gak pernah siap tentang pernikahan. Lo bangga banget bilang mau pamerin hubungan pernikahan nantinya, yang bahkan gak gue tau sejak awal dan tanpa izin langsung dari gue. Itu sebabnya gue gak mau jadi perempuan yang seperti itu, makannya gue benci sama lo dan sampai kapanpun gue gak bisa mengakui kalau gue ini perempuan yang udah menikah. Gue hanya menganggap bahwa ini hanyalah pernikahan pura-pura!"

Mah bergetar suaranya, sungguhan ini adalah rasa marahnya pada Sastra. Sedari awal ia selalu mengulang dan menegaskan bahwa ia tak pernah menganggap dirinya sebagai perempuan yang sudah menikah.

Sastra terdiam mendengar amarah yang Maha tumpahkan. Ini bukan pertama kalinya Maha menyuarakan rasa frustrasinya, tetapi kali ini terasa lebih dalam dan personal.

"Saya tahu," ucap Sastra pelan. "Saya tahu kamu merasa terjebak dalam semua ini. Pernikahan kita... mungkin bukan sesuatu yang ideal buat kamu, dan mungkin saya yang salah karena membawamu ke dalamnya tanpa mempertimbangkan perasaanmu seutuhnya. Saya memang salah tidak turut merayu papamu agar memberitahu rencana pernikahan kita sebelumnya padamu." Sastra tak ingin membela diri karena memang ia juga sangat andil dalam ketidakadilan yang perempuannya rasakan.

Maha menatapnya, masih dengan sorot mata yang penuh emosi. "Gue juga tahu Lo gak sepenuhnya salah, Papa memang yang menginginkannya kan? Gue gak tau ini bener atau ngga, tapi Papa memang sengaja memberikan putrinya untuk diurusi orang lain, karena Papa tahu dia sudah buat salah sama gue, tapi sayangnya gue juga harus menanggung kesalahan papa. Dengan dijual pada keluarga Hardjosoemarto, dinikahi putra tertuanya yang tenang dan bijak. Selalu ingin mengerti gue dan mau bantu masa depan gue. Iya gue tau lo itu baik banget tapi gue tetep gak bisa menerima pernikahan ini Sas."

Sastra mengangguk pelan. "Saya tidak bisa sepenuhnya mengerti apa yang kamu rasakan, Maha," jawab Sastra dengan jujur. "Tapi saya tidak pernah bermaksud untuk merebut masa mudamu, apalagi menghilangkan kebebasan kamu. Saya mungkin tidak selalu peka terhadap keinginanmu, tapi saya tidak pernah ingin kamu merasa seperti ini."

Maha memandang Sastra dalam-dalam, matanya dipenuhi dengan perasaan kemarahan, kesedihan, dan frustrasi. "Lo mungkin nggak bermaksud begitu, tapi kenyataannya gue merasa begitu. Setiap hari gue merasa seperti ini bukan kehidupan yang gue pilih. Lo memang nggak pernah maksa secara langsung, tapi keadaan ini... semuanya memaksa gue. Gue dijadikan istri tanpa ada persetujuan gue sepenuhnya, dan sekarang gue harus beradaptasi dengan semua aturan dan ekspektasi dari keluarga lo."

Sastra menghela napas, suaranya tetap tenang. "Saya ngerti, Maha. Dan saya juga tahu, tidak ada kata-kata saya yang bisa langsung memperbaiki semuanya. Tapi yang saya bisa lakukan adalah berusaha untuk lebih memahami apa yang kamu butuhkan. Saya nggak mau kamu terus merasa terjebak atau tertahan. Kalau kamu butuh waktu untuk mencari apa yang sebenarnya kamu ingin, saya tidak memiliki kendali untuk menguasai diri kamu."

Maha terdiam, kebingungannya masih terasa jelas. "Tapi Sas... bagaimana kalau gue gak pernah bisa nerima ini? Lo janji bakal ceraikan gue kan kalau gue terus merasa begini?"

Sastra menatapnya dengan serius, ada kesedihan yang tersirat dalam tatapannya. "Kalau itu yang terjadi, saya akan terima. Karena yang paling penting buat saya adalah kamu bahagia, Maha. Kalau kamu nggak bisa bahagia dalam pernikahan ini, saya nggak akan memaksamu untuk tetap bertahan. Seperti apa yang selalu saya bilang, jika kamu sudah berdiri diatas pijakan mu sendiri, saya akan kabulkan inginnya kamu."

Setelah itu Maha sulit menjawab lagi, keheningan dibiarkan membersamai mereka, seolah memberi ruang untuk mencerna setiap kalimat yang telah terucap.

Sastra tidak mendesak. Ia membiarkan keheningan itu mengisi jarak di antara mereka, memberinya waktu untuk berpikir, untuk merasakan. Meski dalam hatinya ada kesedihan yang menggerogoti, ia tetap memilih untuk menunggu Maha berbicara kembali, jika memang itu yang dia butuhkan.

1
Al Ghifari
seru bngt
Al Ghifari
cewek kaya gini mah buang aj ke laut ceraikan sj sastra biar kmu bisa cri istri yang baik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!