"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 | EKSEKUSI SANG PEMBUKA (II)
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
…
Sesuai tebakan Zofan, kami benar-benar akan menghabiskan waktu yang lama duduk di kafe ini.
“Kode biner? Tentu saja aku bisa membacanya, tapi otakku sama sekali tak mendeteksi ada kode biner di sana,” Zofan menunjuk kertas yang sedang kupegang, dan aku mengangguk.
Bergantian melihat antara gulungan kertas dan jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul enam sore, dipikir-pikir, sepertinya aku perlu meminta izin lagi pada orang rumah untuk pulang malam. Paling tidak sampai pukul sembilan malam.
Ini akan memakan hari yang panjang.
“Ya, kau tak bisa mendeteksinya karena tersirat. Kode-kode biner itu ada di balik rumus-rumus ini,” jelasku yang kembali memusatkan konsentrasi pada lembar kertas di tanganku.
Aku tak tahu persis bagaimana mimik wajah Zofan, tapi dengan tak mendengar suara apapun dari mulutnya yang terbiasa berisik, mungkin dia sedang tercengang karena penuturanku.
“S – serumit itu?”
Suara gagapnya mengundang netraku untuk melirik, lalu kedua alisku terangkat sedetik sebagai bentuk konfirmasi atas ucapannya.
“Kau sanggup mengupas tuntas isi dari kertas ini?” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan kertas, dan tentu saja bocah itu menanggapi secepat kilat, penuh percaya diri menyanggupi.
Zofan kemudian memamerkan deretan giginya setelah berucap, “seratus persen sanggup! Kan kau yang selesaikan persoalannya. Aku tinggal menunggu hasil, dan menunggu giliranku.”
Sial, benar juga. Semua ini harus diselesaikan olehku dulu. Harus aku yang membuka jalan sebelum tugas selanjutnya dialihkan padanya. Sekarang malah bibirku yang mengerucut masam dibuatnya.
“Huh, menyebalkan. Lalu, bagaimana kau mau aku menyampaikan hasil dari tiap-tiap soal yang kuselesaikan nanti? Mendiktenya?”
“Hm … jangan,” tolaknya setelah sempat mempertimbangkan. “Kau tandai saja dengan pena. Lingkarkan persoalannya, lalu tuliskan hasilnya di atas setiap lingkaran itu. Barangkali ada soal-soal yang diduplikat, berarti isi kertas ini punya pola, dan bisa jadi kamus pribadiku.”
Kedua mataku mengerjap, ide jenius.
Pintar juga, orang ini. Mungkin karena sudah terbiasa mencatat dan mempelajari bahasa, ya, sampai bisa terpikirkan teknik seperti ini untuk mempermudah proses belajar … atau, apa orang-orang sudah sering menerapkannya?
Tapi, “bukannya ini kertas berharga? Memang tak apa dicoret?”
“Tak apa, coret saja. Itu hanya salinan. Aku sudah simpan yang aslinya.”
Oh, pantas saja tulisannya terlihat pecah dan kertasnya masih sangat mulus, bahkan warna cokelat-kuning pada kertasnya tampak tak merata. Ternyata hanya salinan. Totalitas sekali persiapannya.
“Baiklah, berikan penamu.” Kusodorkan telapak tanganku padanya.
Bukannya bereaksi, pandangan Zofan malah terpaku di sana, di telapak tanganku yang terentang. Keningku mengernyit dibuatnya. “Mana? Aku butuh pena, kan, untuk melakukan yang kau minta?”
“Aku tidak pernah membawanya, biasa pinjam milik Sora.”
“Apa?” Sebelah mataku membelalak, sementara sebelahnya lagi menyipit, antara tak habis pikir dan muak. “Lalu bagaimana kau mencatat, menulis, dan belajar, sebelum Sora pindah ke sini?”
“Pinjam milik orang lain, dong. Nero, Bian, atau pada teman-teman lainnya kalau mereka berdua pun tak punya pena. Simpel.”
Simpel kepalamu! Itu namanya merepotkan orang lain, bodoh. Manusia ini pasti tipe yang setelah meminjam, akan menghilangkannya dengan alasan lupa letakkan di mana.
“Sebelum kau berpikir yang jelek-jelek soal aku, aku ini orang yang bertanggung jawab! Aku pasti mengembalikannya dalam keadaan baik setelah meminjam. Kalau hilang, aku akan ganti rugi.”
Apa dia baru saja klarifikasi? Jangan-jangan … dia sungguh bisa membaca pikiranku?!
“Terserah apa katamu, Tuan Tak Tahu Malu. Aku tak peduli.”
Mana mungkin juga aku mengakui kalau tebakannya benar, bahwa aku memang sempat berpikir seperti yang dia katakan itu.
“Menyusahkan. Padahal ini bukan masalahku,” cibirku lagi, tapi tanganku tetap bergerak untuk mengambil kotak pensil dari dalam tas, lalu membukanya untuk mengeluarkan pena berwarna merah, agar nanti tandanya lebih mencolok dan mudah dideteksi oleh otak bocah di depanku.
∞
Penaku bermain-main di antara jemari, sementara mataku dengan lincah bergerak ke sana kemari, menganalisis setiap rumus yang terlampir di atas kertas cokelat kekuningan ini.
Lambat laun tanganku mulai sibuk melingkari dan mencatat setiap hasil yang tertera dari penyelesaian yang secara otomatis muncul dalam pandanganku.
“Ck, ck. Keren juga,” tiba-tiba si mulut remix berceletuk, membuyarkan fokusku. Mataku terpejam sebentar untuk menetralkan kembali gerak mataku yang tak terkendali, baru kemudian kubuka lagi untuk bertukar kontak dengan lelaki di hadapanku.
“Apanya yang keren?”
Dagu Zofan terangkat, secara tak langsung bermaksud menunjuk ke arahku, “matamu seperti mesin ketik, bergerak begitu cepat.”
“Ah, tidak, tidak, lebih cocok dibilang seperti orang yang kerasukan.”
Makhluk ini … mengusikku hanya untuk mengolok-olok?
Astaga, Tuhan, cukup sudah aku bersabar.
Terpikirkan sebuah ide cemerlang, jariku bergerak memberinya isyarat untuk mendekat, dan tanpa bertanya, Zofan menuruti arahanku. Duh, anak pintar.
“Diam seperti ini, jangan bergerak,” perintahku. Kemudian, tanganku merogoh isi kotak pensilku dan mengambil sesuatu dari sana. Lalu, tanpa aba-aba, kurekatkan selotip transparan pada mulutnya.
Dengan sigap kutepis tangan Zofan yang terangkat berniat melepaskan perekat itu.
“Jangan coba-coba melepasnya, atau aku juga akan mengikat tanganmu! Kotak pensilku ini lengkap isinya, asal kau tahu,” ucapku mengancam, dan Zofan hanya bisa meraung melalui tenggorokannya.
Siapa suruh mengganggu fokusku? Sudah untung aku mau membantunya.
Setelah merasa lebih tenang dan leluasa, baru lah kulanjutkan kerjaanku yang sempat terhambat.
Dari meja seberang aku bisa mendengar suara cekikikan Klara dan Nero, sesekali juga disambut bisikan-bisikan Bian dan Cika yang menertawakan kondisi Zofan.
Kali ini aku tak terganggu dengan hal itu. Sebaliknya, aku puas.
∞
Walau aku ahli kalkulasi, tapi tetap saja menyederhanakan dan menyelesaikan semua soal-soal yang ada dalam kertas ini menguras tenaga, terutama tenaga mataku.
Jangan lupakan tanganku yang pegal memegangi kaca pembesar, menggesernya berkali-kali demi bisa melihat dengan jelas tulisan-tulisan super mikro ini.
Hampir segala jenis rumus dan persamaan perlu digunakan dalam menyederhanakan dan menyelesaikan soal-soal ini. Semua demi apa? Hanya demi mendapatkan hasil berupa 0 maupun 1, yang nantinya akan membentuk kode biner.
Stres.
“Nat, maaf nih, kalau aku mengganggu, tapi aku harus pulang sekarang.” Tiba-tiba aku mendapati Klara sudah berdiri di sampingku, membuat kepalaku mendongak spontan. Sejak kapan dia berdiri di situ?
“Loh, memangnya sudah berapa jam kita di sini?”
Refleks saja tanganku menekan tombol power dari ponselku, membiarkan layarnya menyala untuk menampilkan pukul berapa sekarang. Kebiasaan, padahal tanganku juga menggunakan arloji.
18:54
“Astaga, sudah hampir pukul tujuh?!” pekikku dengan nada letih. Lekas kutepuk siku Klara, “ya, ya, kau langsung pulang saja, Klar, sebelum langit semakin gelap. Seram juga kalau kau hanya sendiri di jalan.”
Tap! Tap! Tap!
Bunyi tepukan heboh di atas meja mengalihkan perhatianku dan Klara. Zofan menggerakkan ibu jarinya ke arah Nero. Berhubung dia tak bisa bicara, jelas karena aku merekat mulutnya dengan selotip, jadi dia berusaha mengirimkan kode kepada kami.
Keningku mengernyit berusaha menangkap maksudnya. Aku melihat ke arah Nero dan Zofan secara bergantian, dan masih tak paham apa yang ingin bocah ini sampaikan.
“Mm! Mmm!” Itu suara dari dehaman berisik Zofan yang berusaha memanggil Nero. Kemudian, matanya mengarah pada Klara setelah Nero menanggapi. Kali ini sepertinya dia berusaha ‘bicara’ dengan Nero, menyerah mengirim sinyalnya padaku.
“Kenapa dengan Klara?” tanya Nero yang sekarang ikut berdiri di samping Klara, seolah dia menangkap dan mengerti gerak-gerik yang Zofan peragakan.
“Oh? Aku? Aku hanya mau pulang. Sudah gelap, dan aku hanya sendirian di rumah.”
Nero tampak mengangguk-anggukkan kepala begitu mendengar jawaban dari orangnya langsung, lalu, entah kenapa, dia meraih tas dan jaketnya yang tadinya tergantung di kepala kursi.
Mungkin dia juga mau pulang.
“Ayo, biar kuantar.”
... eh?
...
Bersambung