NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Di Era 70-an: Takdir Peran Pendukung Perempuan

Reinkarnasi Di Era 70-an: Takdir Peran Pendukung Perempuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Menjadi NPC
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: YukiLuffy

Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.

Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.

Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 Titik Balik

Udara musim gugur semakin menusuk. Embusan angin membawa bau dedaunan kering, dan di desa kecil itu, orang-orang mulai memikirkan bagaimana melewati musim dingin panjang yang sebentar lagi tiba.

Bagi Zhao Liyun, hari-hari masih keras, tapi hatinya mulai berbeda. Sejak kejadian di mana Wu Shengli berdiri membelanya, benih kecil keyakinan tumbuh dalam dirinya. Ia tidak lagi merasa sepenuhnya sendirian.

Namun, kehidupan di bawah atap Madam Zhao tetap seperti neraka.

Pagi itu, sebelum matahari benar-benar muncul, Madam Zhao sudah berteriak-teriak dari dapur.

“Zhao Liyun! Cepat bangun! Jangan malas seperti babi mati! Pergi ambil air di sumur sebelum orang lain rebut semua air jernih!”

Liyun membuka mata, tubuhnya terasa pegal. Ia baru saja bermimpi indah—tentang rumah hangat dengan meja penuh makanan—tapi suara bising itu langsung merobek mimpi.

Dengan susah payah, ia bangun, mengenakan baju katun tipis yang penuh tambalan, lalu keluar kamar. Udara dingin menusuk tulangnya, membuatnya menggigil.

Di dapur, ia melihat anak-anak Madam Zhao sedang mengunyah ubi rebus, sementara ia hanya diberi sepotong kecil yang bahkan lebih banyak serat daripada daging.

“Cepat makan lalu pergi kerja!” bentak Madam Zhao sambil menatapnya seolah ia beban.

Liyun mengangguk, diam-diam menelan rasa getir.

Di sumur desa, banyak perempuan sudah antre membawa ember kayu. Mereka saling bercakap, sesekali menoleh ke arah Liyun dengan bisikan-bisikan samar.

“Kasihan sekali anak itu, kurus begitu…”

“Kasihan? Hmph, kudengar dia malas dan suka mengeluh.”

“Benarkah? Aku lihat kemarin dia hampir pingsan di ladang.”

Bisikan itu menusuk telinga. Liyun pura-pura tidak mendengar, tapi di dalam hati ia pahit. Inilah yang disebut naskah novel. Tubuh asli selalu dipandang rendah, apa pun yang dilakukan akan disalahkan.

Tangannya gemetar saat menurunkan timba, menarik air penuh tenaga. Ketika ember berat itu terangkat, tubuhnya goyah. Hampir saja ia terjatuh jika bukan karena seseorang cepat-cepat menahan ember itu dari belakang.

“Berhati-hatilah.”

Suara itu dalam dan tenang. Liyun menoleh. Wu Shengli berdiri di sana, wajahnya teduh meski tubuhnya penuh peluh.

Hati Liyun berdebar tanpa kendali.

“A-aku… terima kasih,” ucapnya gugup.

Shengli hanya mengangguk, lalu ikut membantu mengangkat ember ke bahunya. “Jangan terlalu memaksa. Kalau jatuh sakit, mereka justru makin menyalahkanmu.”

Ucapan sederhana itu membuat mata Liyun panas. Selama ini, tidak ada yang peduli kalau ia sakit atau lelah. Semua hanya tahu menyalahkan.

Untuk kesekian kalinya, Wu Shengli membantunya dan mengingatkannya dengan tulus.

Hari itu, di ladang kolektif, pekerjaan lebih berat dari biasanya. Mereka harus memanen sisa jagung, lalu menyisihkan batangnya untuk pakan ternak. Angin dingin membuat tangan Liyun mati rasa, tetapi ia terus bekerja, menahan rasa sakit di telapak tangan yang penuh luka.

Madam Zhao tentu saja tidak membantu. Ia hanya berdiri sambil sesekali memaki. “Cepat sedikit! Jangan seperti siput!”

Liyun menggertakkan gigi. Setiap kata makian itu bagai cambuk. Namun, ia menolak menyerah.

Saat istirahat siang, para pekerja desa duduk melingkar, makan makanan sederhana yang dibawa masing-masing keluarga. Liyun duduk agak jauh, hanya memegang segenggam ubi rebus kering.

Tiba-tiba, sesuatu dilempar ke arahnya. Sebuah mantou (roti kukus) putih masih hangat jatuh ke pangkuannya.

Liyun terkejut, menoleh ke arah asalnya. Wu Shengli sedang duduk tidak jauh, pura-pura menunduk makan.

Matanya melebar. Mantou putih… makanan mewah yang jarang ditemui!

“Kenapa kau kasih aku?” bisiknya, takut orang lain mendengar.

Shengli tidak menoleh. Suaranya datar, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. “Aku tidak butuh dua. Kau makanlah.”

Air mata hampir jatuh dari mata Liyun. Ia menunduk cepat, menggigit mantou itu diam-diam. Rasanya lembut, hangat, seolah mengisi seluruh kekosongan di hatinya.

Itu bukan sekadar makanan. Itu adalah… perhatian.

Hari-hari berikutnya, perubahan kecil mulai muncul.

Liyun masih diperlakukan kasar oleh Madam Zhao, tapi ia tidak lagi pasrah. Setiap kali disuruh kerja, ia tetap menurut, tetapi diam-diam menyimpan sisa makanan busuk, ubi kecil, atau biji jagung yang tak terlihat. Ia membuat lubang kecil di dekat dipannya untuk menyembunyikan hasil itu.

Setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia teringat tatapan teduh Wu Shengli dan mantou hangat yang pernah ia rasakan. Itu menjadi bahan bakar tekadnya.

Aku tidak boleh mati seperti dalam naskah. Aku harus bertahan. Aku harus menulis ulang nasibku.

Suatu malam, ketika udara dingin menusuk hingga tulang, Liyun sedang menambal baju koyak dengan cahaya lampu minyak. Tiba-tiba, pintu diketuk pelan.

Tok. Tok.

Ia terkejut. Jarang ada yang mencarinya malam-malam. Hati-hati ia membuka pintu.

Di luar, berdiri Wu Shengli dengan wajah serius. Tangannya membawa sebuah bungkusan kain kecil.

“Apa… ada apa?” tanya Liyun hati-hati.

Shengli mengulurkan bungkusan itu. “Ini sedikit ubi kering. Simpanlah. Musim dingin akan lebih berat. Aku tahu kau tidak diberi cukup makan.”

Jantung Liyun serasa berhenti. Tangannya gemetar saat menerima bungkusan itu.

“Kenapa… kenapa kau melakukan ini untukku?” bisiknya lirih.

Wu Shengli terdiam sejenak dia juga tidak tahu kenapa dia sekarang memperhatikan Zhao Liyun. Biasanya dia hanya fokus pada pekerjaan yang dia lakukan tanpa mempedulikan orang lain.

Mungkin dia melihat gadis muda

menatapnya, mata hitamnya jernih. “Karena aku tahu rasanya tidak punya siapa-siapa.”

Hening sejenak. Angin malam berembus, membawa suara jangkrik dari kejauhan.

Liyun menunduk, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Seumur hidupnya—atau seumur ia menyeberang ke tubuh ini—belum pernah ada yang sungguh-sungguh peduli padanya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Zhao Liyun merasa ia bukan hanya figuran dalam novel orang lain. Ia mulai percaya bahwa ia bisa menulis kisahnya sendiri.

Beberapa hari kemudian, kesempatan itu datang.

Di ladang, kepala tim kerja mengumumkan bahwa desa akan mengadakan pemilihan untuk menentukan siapa yang pantas menjadi wakil pemuda dalam proyek kerja kolektif baru. Itu berarti, orang yang terpilih akan mendapat jatah pangan tambahan, bahkan bisa ikut ke kota untuk pelatihan singkat.

Semua orang bersemangat. Anak-anak muda saling menunjukkan kekuatan mereka.

Madam Zhao segera mendorong anak laki-lakinya ke depan. “Anakku pasti cocok! Dia kuat, rajin, tidak seperti si Liyun yang malas itu!”

Orang-orang mengangguk-angguk, sebagian setuju, sebagian hanya diam.

Namun tiba-tiba, Wu Shengli angkat bicara. “Aku rasa Zhao Liyun juga pantas ikut seleksi. Dia rajin bekerja, aku lihat sendiri.”

Semua mata langsung menoleh pada Liyun.

Wajahnya memanas. Jantungnya berdetak cepat.

Madam Zhao hampir meloncat. “Apa?! Dia?! Perempuan lemah itu? Jangan bercanda!”

Shengli menatap dingin. “Kalau kau yakin anakmu lebih baik, biarkan saja ada seleksi. Bukankah begitu lebih adil?”

Kepala tim mengangguk. “Benar juga. Besok kita adakan seleksi kecil. Siapa yang mampu bekerja paling banyak dan disiplin, dialah yang terpilih.”

Madam Zhao menggertakkan gigi, menatap Liyun dengan kebencian membara.

Sementara Zhao Liyun berdiri kaku. Hatinya berdebar keras, setengah takut, setengah bersemangat.

Ini… ini kesempatan. Kalau aku berhasil, mungkin ini benar-benar titik balik nasibku.

Malam itu, ia tidak bisa tidur. Di bawah cahaya lampu minyak redup, ia menatap tangan kurusnya yang penuh luka.

“Bisa kah aku… benar-benar mengubah jalan ceritaku?” bisiknya pada diri sendiri.

Namun dalam hati, ia sudah tahu jawabannya.

Ia akan mencoba. Tidak peduli seberapa sakit, seberapa sulit, ia tidak akan lagi menyerah pada naskah yang ingin membuatnya mati sia-sia.

Mulai besok, ia akan menulis ulang takdirnya sendiri.

1
Lala Kusumah
semangat Zhao Lingyun 💪💪💪
Lala Kusumah
pengen hajar tuh si madam 😡😡😡👊👊👊
Lina Hibanika
heh 😒 dah numpang belagu lagi 😡
Lina Hibanika
hadir dan menyimak
Fauziah Daud
trusemangattt...
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjuttt
Dewiendahsetiowati
Zhao Liyun gak punya jari emas ya thor
YukiLuffy: ngga kak
total 1 replies
Dewiendahsetiowati
hadir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!