Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpukul
“Khansa!” seru Zidan saat melihat Khansa mulai membuka matanya.
Khansa berkali-kali mengedipkan matanya, mencoba mengingat apa yang sudah terjadi padanya. “Zidan?”
“Iya, gimana? Lo merasa lebih baik?” Zidan membantu Khansa duduk.
Khansa memegang kepalanya yang terasa berputar. Ia merintih karena kepalanya terasa sangat sakit.
“Mana yang sakit?” Zidan terlihat khawatir melihat Khansa yang kesakitan.
“Kepalaku sangat sakit, sakit sekali,” adunya.
“Tunggu sebentar.” Zidan mengoleskan minyak pada kening Khansa untuk membantu mengurangi rasa sakitnya.
“Gue harap ini bisa membantu, meskipun hanya sedikit membantu.”
Khansa menatap Zidan yang masih mengoleskan minyaknya. Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Posisi mereka sangat dekat, deru nafas mereka terdengar satu sama lain.
“Maaf,” ucap Khansa yang tersadar lalu memalingkan wajahnya.
Zidan mengernyitkan dahinya saat melihat Khansa yang tiba-tiba terdiam. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Bayangan saat nenek Imah dikuburkan kembali muncul di pikiran Khansa.
“Sa? Lo kenapa nangis?” tanya Zidan yang merasa bingung. Ia bingung bagaimana cara menenangkan Khansa yang kini mulai terisak.
Tangisannya terdengar sangat pilu dan menyakitkan. Kehilangan sosok nenek yang setiap harinya ia habiskan waktu bersama, dan sekarang sudah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
“Kenapa? Kenapa harus nek Imah yang pergi? Sekarang, bagaimana aku bisa menghabiskan waktu soreku tanpa beliau?” lirih Khansa.
Zidan langsung membawa Khansa ke dalam pelukannya, tidak ada cara lain yang bisa ia pikirkan saat ini.
Tangis Khansa kembali pecah saat Zidan memeluknya. Khansa mempererat pelukan yang diberikan Zidan. Saat ini ia membutuhkan sandaran.
Dan sekarang Zidan hadir memberikan sandarannya. Biasanya, ibu dan nek Imah uang menjadi sandaran untuk Khansa. Sedangkan ayahnya sangat jarang, karena sibuk bekerja dan pulang di sore hari. Jadi, sangat jarang ada waktu untuk Khansa bercerita kecuali di hari weekend.
Zidan memejamkan matanya, pelukan ini terasa hangat untuk Zidan. Bahkan Zidan sampai terlena akan kenyamanan itu.
Entah kenapa gue menyukai pelukan ini. Naya, maaf karena gue merasa nyaman dengan pelukan ini, batin Zidan yang merasa bersalah dengan apa yang dilakukan.
Tidak ada yang salah dengan pelukannya, karena mereka sudah resmi menjadi suami istri. Namun, itu sebuah kesalahan untuk hati Zidan. Karena ia merasakan kenyamanan dengan wanita lain selain kekasihnya Naya.
Khansa melepaskan pelukannya, namun Zidan masih memeluknya dengan erat. Khansa sadar yang terjadi saat ini adalah kesalahan. Ia tidak akan melakukan hal semacam ini sebelum Zidan benar-benar selesai dengan masa lalunya.
Memang terdengar sangat jahat, apalagi Khansa hadir sebagai orang ketiga yang merusak kebahagian seseorang.
“Zi… lo bisa lepas pelukanmu?” lirih Khansa.
“Maaf.” Zidan langsung melepaskan pelukannya.
Suasana menjadi canggung setelah pelukan diantara mereka berdua. Khansa merasa gugup melihat Zidan yang duduk di sampingnya
“Mama belum pulang?” tanya Khansa yang merasa rumahnya tampak sangat sepi.
“Mama lo tadi datang, tapi cuma sebentar. Lalu pergi lagi rumah gue, katanya akan ada doa bersama di rumah. Jadi, mama lo balik lagi buat bantu mama gue di rumah. Dan ayah lo sebagai kepala keluarga untuk kepala kedua keluarga.”
Khansa mengangguk paham, di desanya memang sering ada kegiatan doa bersama ketika ada yang meninggal dunia. Baginya hal seperti ini sudah sering Khansa lihat. Bahkan Khansa pernah sesekali ikut hadir dalam doa bersama.
“Akh!” Khansa memegang kepalanya yang terasa berputar. Terlalu lama menangis membuat kepala Khansa terasa sangat sakit.
Zidan pergi gitu aja tanpa mengatakan apapun, membuat Khansa bingung. Namun, Khansa tidak terlalu mempersulit kan itu. Air matanya kembali mengalir dari pelupuk matanya tanpa diminta.
Khansa merasa sangat terpukul, ia tidak bisa mengatakannya pada siapapun. Ia hanya bisa diam tanpa mengatakannya. Selain itu, ia tidak memiliki seseorang untuk berbagi rasa sedihnya. Semua teman-temannya sudah pergi keluar kota untuk bekerja atau pun melanjutkan pendidikannya.
“Tidak! Aku tidak bisa seperti ini terus menerus. Nenek Imah pasti akan sedih melihatku seperti ini. Meratapi kepergiannya dengan air mata yang tiada hentinya.” Khansa mengusap air matanya, mencoba meneguhkan hatinya menerima takdir yang ada.
“Tuhan lebih menyayangi nek Imah, sekarang nek Imah tidak akan merasa sakit dan kesepiannya. Nenek Imah pasti sedang melihatku dari atas. Aku tidak akan menangis lagi, yang ada nek Imah juga akan sedih di atas sana.”
Khansa melamun, ia tidak menyadari jika Zidan sudah kembali masuk dan duduk di sebelahnya dengan membawa sepiring makanan.
“Sa?” panggil Zidan yang membuyarkan lamunan Khansa.
“Hah? Zidan? Sejak kapan kamu disini?” tanyanya yang sedikit terkejut melihat Zidan yang sudah duduk di sampingnya.
“Belum lama, lagian lo ngelamun jadi nggak sadar kalo gue udah balik lagi. Sekarang lo makan dan minum obat. Lo terlalu lama nangis jadi kepala lo pusing.” Zidan memberikan piring yang berisi nasi dan juga beberapa lauk pauk.
Khansa mengangguk, dia tidak akan sedih berlarut-larut. Mau tidak mau Khansa harus makan dan minum obatnya. Karena kepalanya terasa ingin pecah.
Zidan menatap Khansa yang mulai memakan makanannya, ia tersenyum tipis, hampir tidak ketara sama sekali. Mungkin Khansa juga tidak bisa melihat senyuman itu.
“Kamu tidak makan?” Khansa melihat Zidan hanya duduk diam memperhatikannya. Mungkin memastikan jika dirinya benar-benar memakan makanannya.
“Aku akan makan setelah lo selesai makan.”
“Kenapa? Jika begitu aku tidak akan makan. Aku tahu jika kamu juga merasa lapar, ambilah makananmu, aku akan menunggu. Jika tidak aku tidak akan memakan ini,” ancam Khansa. Bukan maksudnya ia mengancam Zidan, hanya saja ia tidak enak hati jika makan sendiri, sedangkan Zidan hanya diam saja.
“Baiklah, gue akan ambil. Tapi habiskan makanan lo.” Khansa mengangguk dan sedikit menyunggingkan senyumannya.
Hah…
“Apa harapanku untuk melanjutkan pendidikan harus pupus? Tidak ada yang tau bagaimana jalannya takdir. Satu bulan, dalam waktu satu bulan harus ada keputusan yang harus diambil. Karena masa pendaftaran akan berakhir dalam waktu itu.”
Aku tidak mengharapkan jika Zidan akan mengingkarinya. Kalaupun dia melakukannya, aku harus melanjutkan hidupku sendiri. Jika sebaliknya, aku akan menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Dan aku tidak akan melanjutkan pendidikan.
“Lo ngelamun lagi? Sebenarnya apa yang lo pikirin? Kalo lo nggak keberatan lo bisa cerita ke gue.”
“Bukan apa-apa, lebih baik kita makan. Acara doa bersama malam hari, dan sekarang warga pasti sudah mulai berdatangan, aku ingin kesana.”
“Tidak! Tidak untuk saat ini, sekarang lebih baik lo istirahat. Lo masih harus minum obat, kalo lo udah mendingan besok lo bisa ikut doa bersama.”
Khansa menatap Zidan dengan tatapan bingung, ia tidak begitu dekat. Yang ia tahu Zidan terlalu cuek tapi sekarang dia sangat peduli padanya.