NovelToon NovelToon
Istri Pesanan Miliarder

Istri Pesanan Miliarder

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terganggu

Mobil mewah dengan serie terbaru berhenti tepat di depan lobby sebuah mall terbesar di kota metropolitan. Dua bodyguard turun lebih dulu, membuka pintu untuk Bima, memastikan keamanan sebelum akhirnya Zayn menggenggam tangan Alisha, menuntunnya keluar. Bima yang duduk di kursi belakang ikut keluar dengan langkah yang masih agak kikuk, matanya langsung terbelalak ketika menatap bangunan megah dengan kaca tinggi menjulang.

Mall itu berbeda jauh dengan apa yang pernah ia kunjungi dulu, saat ayahnya masih ada. Lebih besar, lebih ramai, dengan lampu-lampu terang yang memantulkan cahaya di lantai marmer mengkilap. Musik instrumental yang diputar dari speaker langit-langit memberi kesan modern, membuat Bima seolah masuk ke dunia lain.

“Ya Tuhan…” gumamnya pelan, menatap kagum bangunan itu. “Besarnya…”

Alisha tersenyum, hatinya hangat melihat adiknya begitu antusias. Ia meraih tangan Bima, menepuknya lembut.

“Senang?”

Bima mengangguk cepat, matanya tak berhenti menatap sekeliling. "Senang sekali, Mbak. Aku baru kali ini lagi masuk ke tempat seperti ini… setelah sekian lama, saat bersama ayah dulu.”

Zayn yang berjalan di sisi mereka melirik sekilas, tersenyum tipis. “Jika kau suka, kita bisa sering-sering ke sini. Anggap saja rumah kedua.”

Bima terkekeh, tapi wajahnya benar-benar berbinar. “Rumah kedua? Aku betah, Kak.”

Bodyguard menjaga jarak, memberi ruang, namun tetap waspada. Beberapa pengunjung mall menoleh ke arah mereka—sulit untuk tidak memperhatikan pasangan suami istri dengan penampilan menawan itu, ditemani seorang pemuda polos dengan raut penuh rasa ingin tahu.

Bima berhenti sejenak di depan sebuah toko mainan besar, matanya berbinar melihat deretan robot, mobil-mobilan, hingga action figure terpajang di balik kaca.

“Keren sekali… aku ingat dulu waktu ayah masih ada selalu ingin masuk toko seperti ini,” ucapnya lirih.

Alisha menatapnya iba, lalu melirik ke arah Zayn. Tanpa banyak kata, Zayn hanya mengangguk, memberi tanda.

“Masuklah,” ucap Alisha lembut, menarik tangan adiknya. “Pilih yang kau suka.”

Bima menoleh cepat, nyaris tak percaya. “Serius, Mbak? Aku boleh?”

Zayn menaruh tangan di bahu adik iparnya. “Kau tak perlu bertanya soal itu. Anggap saja ini hadiah dariku.”

Bima tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. Ia langsung melangkah masuk, menyusuri lorong toko dengan wajah penuh rasa takjub. Sementara itu, Alisha menggenggam lengan Zayn, berbisik,

“Terima kasih…”

Zayn hanya tersenyum samar, menunduk sedikit untuk mengecup puncak kepala istrinya. “Apa pun untuk membuatmu bahagia, juga adikmu.”

Tak lama, Bima kembali dengan membawa sebuah kotak berisi model kit robot sederhana. “Aku pilih ini, Mbak. Tidak usah yang mahal-mahal. Yang penting aku bisa rakit sendiri di rumah.”

Alisha tersenyum bangga melihat kesederhanaan adiknya, sementara Zayn hanya menatapnya dalam diam, lalu mengangguk ke kasir untuk segera membayar tanpa banyak protes.

Setelah itu, mereka melanjutkan langkah ke dalam mall. Bima tampak semakin bersemangat, tiap kali melewati tenant baru ia selalu berhenti sebentar, bertanya ini-itu pada Alisha atau Zayn. Mulai dari food court yang wangi menggoda, toko buku yang penuh rak, hingga butik-butik mewah yang membuatnya terpana.

“Jika Ibu ikut pasti senang sekali melihat tempat ini,” ucap Bima lirih sambil menoleh ke kakaknya.

Alisha menahan perasaan yang mengaduk di dada, ia meraih tangan adiknya erat. “Suatu hari kita ajak Ibu, ya.”

Zayn menatap keduanya, lalu menambahkan dengan tenang, “Bukan suatu hari, tapi dalam waktu dekat. Aku janji.”

Tatapan Bima penuh syukur. Ia tak pernah menyangka bisa kembali merasakan momen sederhana ini—berjalan di mall, ditemani keluarga yang membuatnya merasa utuh.

.....

Setelah puas di toko mainan, langkah mereka berlanjut ke lantai fashion. Sebuah butik ternama menarik perhatian Alisha, deretan gaun elegan terpajang di manekin. Zayn, seperti biasa, tak membiarkan istrinya lewat begitu saja.

“Masuklah,” ucapnya sambil menuntun Alisha. “Aku ingin kau pilih beberapa.”

Alisha sempat menggeleng, merasa sudah cukup dengan apa yang ia miliki. Namun tatapan suaminya terlalu sulit untuk ditolak. Bima mengikuti dari belakang, kagum melihat harga-harga yang tertera di label, bahkan ada yang setara dengan tabungan setahun penuh baginya.

Di ruang fitting, Alisha mencoba beberapa pakaian. Zayn berdiri di luar, bersandar dengan tenang, sesekali melirik. Begitu Alisha keluar mengenakan gaun biru lembut, matanya langsung berbinar.

“Cantik,” komentarnya singkat.

Alisha hanya tersenyum tipis, menunduk. Namun tak lama kemudian, Zayn menunjuk ke arah rak pakaian lingerie yang disusun eksklusif di sudut ruangan. Ia mendekat ke telinga istrinya, berbisik nakal,

“Bagaimana jika sekalian beli… baju dinas?”

Pipi Alisha langsung merah, ia buru-buru mencubit pinggang Zayn dengan wajah jengah. “Zayn!” bisiknya keras, menahan malu karena ada pramuniaga yang mungkin mendengar.

Zayn terkekeh rendah, jelas puas dengan reaksinya. “Baiklah, lain waktu aku yang belikan.”

Bima yang berdiri tak jauh hanya bisa mengernyit, merasa ada sesuatu yang ia tak mengerti dari percakapan kakak iparnya dengan Alisha. Ia memilih pura-pura sibuk melihat rak kaos pria.

.....

Setelah belanja beberapa potong pakaian, mereka bertiga melangkah ke food court. Aroma gurih dari berbagai tenant menggoda. Alisha memilih makanan yang sederhana, sementara Zayn dengan tenang memesan menu premium di restoran Jepang yang terletak di sisi food court.

Mereka duduk bertiga di meja panjang, bodyguard menjaga radius aman. Suasana cukup ramai, namun tetap nyaman.

“Aku masih tidak percaya bisa makan di tempat seperti ini,” ucap Bima sambil memegang sumpit dengan kikuk.

Alisha mengajarinya cara menggunakan sumpit dengan sabar, sementara Zayn hanya mengamati dengan senyum tipis.

Namun, saat Alisha menyuapkan sepotong sushi ke mulut suaminya dengan penuh sayang, Bima langsung salah tingkah, entahlah, untuk anak seusianya, Bima cukup dewasa, tak seperti kebanyakan anak yang cuek terhadap sekitar. Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan makanannya, pipinya bersemu merah.

“Ehm, aku… sepertinya ingin lihat-lihat dulu,” katanya tiba-tiba.

Alisha sempat menoleh, bingung. “Mau kemana?”

Bima tersenyum canggung. “Ke… Timezone. Hehe.”

Zayn melirik salah satu bodyguard. “Juna, ikuti dia.”

Bodyguard berkepala pelontos bernama Juna, tampak ragu, menunduk sopan. “Tuan, saya… tidak biasa bermain seperti itu.”

Namun Bima menarik tangannya. “Ayolah, Om. Sekali-kali. Tidak seram kok, hanya bermain.”

Akhirnya, Juna luluh. Mereka berdua menuju Timezone, sementara Alisha menatap punggung adiknya yang tampak begitu gembira.

___

Di Timezone, Bima langsung begitu riang. Ia mencoba hampir semua permainan—basket, balap mobil, hingga mesin capit boneka. Juna yang awalnya kaku akhirnya ikut larut, tertawa lepas ketika keduanya berhasil mendapatkan tiket berlembar-lembar.

“Om Juna, sini! Kita tanding basket!”

“Baiklah, tapi jangan kaget jika saya jago,” jawab Juna dengan nada bercanda yang akhirnya membuat suasana cair.

Mereka mengumpulkan hadiah lumayan banyak, mulai dari boneka kecil hingga jam tangan digital sederhana. Bima tampak sangat puas, seolah dunia beban hidupnya benar-benar menguap untuk sesaat.

Sementara itu, Zayn dan Alisha berjalan berdua, ditemani satu bodyguard lain. Mereka berhenti di depan sebuah photobooth modern dengan dekorasi imut.

“Ayo masuk,” ajak Alisha sambil menarik lengan suaminya.

Zayn menatap aneh kotak kecil itu. “Untuk apa?”

“Foto, tentu saja. Masa kau tidak pernah masuk photobooth?”

Zayn menggeleng, wajahnya datar.

Alisha terkekeh geli. “Ya Tuhan, wajahmu seperti bapak-bapak yang baru tahu internet. Sudah, ikut saja.”

Ia menyeret Zayn masuk, layar mulai menghitung mundur. Zayn kaku, duduk tegap seperti sedang difoto SIM.

“Zayn!” Alisha menahan tawa sambil mendorong bahunya agar miring. “Santai! Senyum dikit!”

Zayn mencoba, tapi malah terlihat lebih kaku. Alisha tak kuasa menahan tawa, tubuhnya sampai terguncang. Ia akhirnya meraih wajah suaminya, mendekatkan kepala mereka sambil tersenyum lebar.

Klik! Foto pertama tercetak.

Setelah beberapa kali percobaan, hasilnya penuh tawa—ada Zayn dengan wajah dingin, ada Alisha yang ngakak sambil memegang pipinya, dan satu foto di mana Zayn akhirnya mau tersenyum tipis sambil menatap istrinya.

Begitu keluar dari photobooth, Alisha masih cekikikan. “Astaga, Zayn. Kau benar-benar seperti bapak-bapak yang dipaksa selfie.”

Zayn hanya mengangkat alis, lalu meraih pinggang istrinya. “Asal kau tahu, aku rela terlihat kaku jika itu bisa membuatmu tertawa seperti ini.”

Alisha terdiam sebentar, hatinya meleleh.

___

Tak lama, mereka bertemu kembali dengan Bima dan Juna di depan lobby mall. Bima datang dengan kedua tangan penuh hadiah kecil.

“Mbak! Kak Zayn! Lihat, aku menang banyak!” serunya riang.

Alisha tersenyum lebar, Zayn hanya mengangguk sambil menepuk bahu adik iparnya. “Bagus. Kau benar-benar menikmatinya, ya?”

“Tentu!” jawab Bima antusias.

Setelah memastikan semua belanjaan sudah dibawa oleh bodyguard, Zayn meraih tangan Alisha, sementara Bima berjalan di sisi lain dengan wajah sumringah. Mereka pun melangkah keluar menuju mobil yang sudah menunggu, siap kembali ke rumah dengan hati yang lebih hangat dari sebelumnya.

____

Bima tertidur pulas di kursi belakang mobil, kepalanya miring dengan napas teratur. Alisha yang menoleh ke arahnya refleks ingin membangunkan saat mobil berhenti di halaman rumah, namun tangan Zayn segera menahan pergelangan istrinya.

“Biarkan saja, sayang. Dia lelah. Jangan ganggu tidurnya,” ucap Zayn lembut tapi tegas.

Alisha mengangguk kecil, sementara Zayn memberi kode pada Juna.

“Bawa Bima ke kamarnya. Hati-hati.”

Juna segera menggendong Bima dengan hati-hati, seolah mengangkat benda paling berharga. Bocah itu sama sekali tak terbangun. Pelayan-pelayan lain sigap mengurus barang belanjaan mereka, sementara Alisha langsung naik ke lantai dua, menuju kamar utama.

Begitu masuk, ia menjatuhkan tubuh ke ranjang, melepaskan napas panjang. Tangannya meraih kertas hasil photobooth tadi yang terselip di tas kecilnya. Selembar foto penuh wajah Zayn yang terlihat kaku, juga senyumnya yang setengah dipaksa, membuat Alisha tak kuasa tersenyum lebar.

“Dingin-dingin begini, ternyata bisa juga terlihat konyol,” gumamnya pelan, menatap hasil foto itu lama.

Tak lama, pintu terbuka. Zayn masuk dengan langkah tenang. Ia sempat berhenti sejenak, memandangi Alisha yang tengah tersenyum kecil sambil memandangi foto mereka. Ada rasa hangat yang menjalar di dadanya—perasaan yang belakangan ini sulit ia sembunyikan.

Tanpa berkata apa-apa, Zayn ikut merebahkan diri di samping istrinya. Ia menatap Alisha, lalu menoleh ke foto itu. “Apa yang lucu?” tanyanya, dengan nada rendah.

Alisha buru-buru menutup foto itu, wajahnya memerah. “Bukan apa-apa…”

Zayn hanya terkekeh pelan. Tangannya otomatis meraih pinggang Alisha, menariknya mendekat. Ia menempelkan dagunya ke pundak istrinya, lalu jemarinya mulai bergerak nakal, menggoda di sisi tubuh Alisha.

“Za… Zayn, jangan—geli!” Alisha meringis, tubuhnya berusaha menghindar, tapi ia malah semakin terperangkap dalam dekapan Zayn.

“Geli?” gumam Zayn, suaranya penuh arti. “Tapi rasa ‘geli’ yang ini akan membuatmu semakin manja padaku.”

Alisha menelan saliva, pipinya makin panas. Sensasi yang ditimbulkan Zayn memang berbeda—ada percikan yang membakar, membuat tubuhnya seolah mudah goyah.

Saat Zayn hampir menunduk untuk merebut bibir istrinya, suara ketukan pintu terdengar.

Tok… tok… tok…

Zayn memejamkan mata sejenak, wajahnya langsung masam. “Sial,” gerutunya pelan, enggan melepaskan Alisha.

Alisha segera merapihkan posisi tidurnya, berusaha menutupi rona merah di wajahnya. “Cepat buka pintunya, jangan biarkan orang menunggu.”

Dengan enggan, Zayn bangkit dan berjalan membuka pintu. Tatapannya tajam, raut wajah jelas menunjukkan ketidaksenangan.

Arvin berdiri di ambang pintu, menunduk sopan, namun ia bisa membaca dengan jelas apa yang terjadi dari ekspresi tuannya yang terganggu.

“Maaf mengganggu, Tuan…” Arvin bicara hati-hati. “Ada tamu di ruang depan. Katanya ingin bertemu dengan Tuan.”

Zayn mengangkat alis, nadanya berat. “Tamu?”

Arvin mengangguk sekali, lalu menambahkan, “Sepertinya penting, Tuan.”

Zayn berdiri sejenak di depan pintu setelah mendengar laporan Arvin. Napasnya terdengar berat, jelas ia menahan rasa kesal karena momen hangatnya bersama Alisha terpotong.

Ia menoleh sebentar pada istrinya yang masih setengah duduk di ranjang, wajahnya masih memerah, rambutnya sedikit berantakan. Zayn melangkah kembali ke dalam kamar, mendekat, lalu menunduk menatap mata Alisha.

“Kau istirahat saja. Siang tadi sudah lelah keliling mall, aku tahu tubuhmu pasti butuh tenang sekarang.” Suaranya lembut, kontras dengan raut jengkel yang barus saja ia tunjukkan pada Arvin.

Alisha sempat ragu. “Tapi… bagaimana jika tamunya penting?”

Zayn tersenyum tipis, jemarinya menyibakkan anak rambut Alisha ke samping wajah. “Biar aku yang menghadapinya. Kau tidak perlu ikut memikirkan. Tidurlah, hm?”

Ada nada perintah dalam kelembutannya, membuat Alisha akhirnya menurut. Ia mengangguk pelan, lalu kembali merebahkan diri.

Zayn menarik selimut, menutup tubuh istrinya dengan hati-hati. “Aku turun sebentar. Jangan menunggu, biarkan aku yang urus.”

Sebelum beranjak, Zayn menunduk, mengecup kening Alisha sekilas. Setelah itu, ia berdiri tegak, menatap Arvin yang masih menunggu di depan pintu. Wajahnya kembali dingin.

“Tunjukkan aku pada tamu itu,” ucap Zayn datar, lalu melangkah keluar kamar, membiarkan suasana hangat barusan tertinggal di dalam bersama Alisha.

1
Lisa
Benar² kejam Omar & Lucas itu..menghilangkan nyawa org dgn seenaknya..pasti Tuhan membls semua perbuatan kalian..utk Alisha & Bima yg kuat & tabah ya..ada Zayn,Juna, Arvin yg selalu ada di samping kalian..
Lisa
Ya Tuhan sembuhkan Ibunya Alisha..nyatakan mujizatMu..
Lisa
Makin seru nih..ayo Zayn serang balik si Omar & Lucas itu..
Lisa
Ceritanya menarik
Lisa
Semangat y Zayn..lawan si Omar & Lucas itu..lindungi Alisha & Bima..
Lisa
Selalu ada pengganggu..ayo Zayn ambil sikap tegas terhadap Clarisa
Lisa
Moga lama² Zayn jatuh cinta pada Alisha..
Lisa
Ceritanya menarik nih..
Lisa
Aku mampir Kak
Stacy Agalia: terimakasiiihh🥰
total 1 replies
Amora
lanjut thor, semangaaatt
Stacy Agalia: terimakasiiiiih🥰
total 1 replies
Stacy Agalia
menarik ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!