Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : OTW Tokyo!
Angin Moskow menusuk tulang, sisa-sisa salju Februari menari-nari di bawah sorot lampu kota yang redup. Di atas, helikopter hitam menggantung seperti predator malam, menaungi Reina, Alisiya, Mike, Jimmy, Alice, dan Helena – tim elit yang ditugaskan Craig untuk menghentikan pengiriman narkoba dari perusahaan Danton, asal Jepang. Target: sebuah konvoi van yang kini tinggal satu.
Alice, di kokpit helikopter, mengendalikan 'Raven', burung robot mata-mata canggih yang berputar-putar di atas van target. Bayangannya jatuh di jalanan berlapis es, menciptakan pola yang menari mengikuti gerakan Raven. Di bawah, Jimmy, kepala botaknya berkilauan di bawah sinar bulan, menggeber motor sportnya, menjaga jarak aman di belakang van. Napasnya mengepul putih di udara dingin.
"Yahuuu!!!" teriak Jimmy, suaranya bergema di antara gedung-gedung tinggi. "Dingin sekali kepalaku! Hei Reina! Sesekali coba botak, rasakan sensasinya!" Ia tertawa, suaranya bercampur dengan deru mesin motornya. Senyumnya lebar, tapi matanya tajam, fokus pada tugas.
Reina, senapan sniper terarah tepat di bahunya, mengerutkan dahi. Jari-jarinya gemetar sedikit, bukan karena dingin, tapi karena ketegangan. Ia memejamkan mata sejenak, mengatur napas, sebelum kembali fokus pada target. "Aku perempuan, Jimmy," jawabnya, suaranya datar, tanpa emosi. Namun, rahangnya mengeras, tekad terpancar dari sorot matanya. Dengan gerakan cepat dan tepat, ia membidik tangki bahan bakar van. Satu tembakan. Ledakan. Van itu terguling, berputar-putar tak terkendali di atas es yang licin.
"Kerja bagus, Reina!" seru Alice dari helikopter, suaranya sedikit terbatuk-batuk. "Jimmy... awas, kau mengantuk berat nih!" Ia mengusap hidungnya dengan punggung tangan, wajahnya tampak pucat di balik cahaya redup kokpit.
Jimmy mengerem motornya dengan keras, bannya berdecit di atas aspal. Ia berhenti tepat di belakang van yang terbalik, mesin motornya masih menderu. Reina melompat turun dari helikopter, kakinya mendarat dengan sempurna di jalanan beresiko. Ia berlari cepat, senapan sniper disandang di punggungnya.
Di persimpangan, Mike dan Alisiya muncul dengan motor sport mereka, meninggalkan jejak asap di belakang. Mereka baru saja menyelesaikan tugas mereka – menghancurkan dua van lainnya yang mengawal target utama. Mike berhenti tepat di depan van yang terbalik, mengepungnya bersama Jimmy dan Reina. Alisiya turun dari motor, tangannya meraih pistol di pinggangnya, siap siaga.
Keempatnya membentuk formasi pertahanan, senjata mereka siap. Mereka menunggu, mengamati, menanti siapa pun yang berani mendekat. Udara dipenuhi ketegangan, hanya diselingi oleh deru mesin motor dan napas mereka yang memburu. Mata mereka tajam, mencari setiap pergerakan mencurigakan. Misi belum berakhir. Pertempuran sesungguhnya baru akan dimulai. Di kegelapan malam Moskow, pertarungan melawan sindikat narkoba Danton mencapai puncaknya. Keempatnya siap menghadapi apapun yang datang. Kehidupan mereka, dan nasib kota, bergantung pada keberhasilan misi ini. Tiba-tiba, dari balik reruntuhan van yang terbalik, muncul bayangan-bayangan. Suara langkah kaki terdengar samar, mendekat. Pertempuran akan segera dimulai.
Sopir itu, sisa-sisa nyawa masih melekat padanya, mencoba merangkak menjauh dari bangkai van yang hangus. Bau bensin dan logam panas menyengat hidung. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena rasa takut yang membuncah. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, deru mesin motor polisi membahana, mengepungnya. Helena, dengan tatapan dingin dan tajam, memimpin barisan polisi yang berpakaian anti huru hara. Senjata mereka siap siaga, membidik tepat ke arahnya.
Alisiya, dengan scythe raksasa hologramnya yang memancarkan cahaya pelangi—sebuah senjata yang tampak paradoksal di tengah kegelapan dan kekerasan—mendekati supir dengan langkah tenang namun mengancam. Scythe itu berdengung pelan, memancarkan aura dingin yang membekukan. Dengan gerakan yang terukur, ia menginjak tangan supir itu. Tulang retak, suara rintihan menyayat keluar dari bibir supir yang memutih.
"Jadi... apakah pengedarnya dari Tokyo...?" tanya Alisiya, suaranya lembut namun penuh ancaman. Matanya, yang biasanya berbinar ceria, kini dingin dan tak kenal ampun. Ia menatap supir dengan tatapan yang menusuk, seolah-olah ingin melihat langsung ke dalam jiwanya.
Supir itu menggigit bibirnya, keringat dingin membasahi dahinya. "Bunuh saja aku!!" racaunya, suaranya serak dan penuh keputusasaan. Tubuhnya menegang, siap menerima kematian.
Alisiya tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih menakutkan daripada amarah. Dengan gerakan cepat dan tepat, scythe hologramnya menebas tangan kanan supir. Tangan itu putus, darah menyembur, membasahi aspal yang dingin. "Baiklah... tapi mati perlahan... apakah sakit?" tanya Alisiya, suaranya tetap tenang, tanpa sedikitpun menunjukkan belas kasihan. Ia mengamati reaksi supir dengan minat yang dingin, seolah-olah sedang melakukan eksperimen ilmiah.
Tangisan supir menggema di malam yang sunyi. "Baik... baiklah... kau benar... ini dari Tokyo... nama pengedarnya Hasane Danton!!" Ia terisak-isak, tubuhnya gemetar hebat. Rasa sakit fisik bercampur dengan rasa takut yang mencekam.
Reina, yang diam-diam mendekati mereka dari belakang, tiba-tiba menarik rambut supir dengan kasar. Rambutnya tercabut, membuat supir menjerit kesakitan. Reina menatapnya dengan tatapan dingin dan penuh dendam. "Apakah kau mengenali aku? Kriminal..." bisik Reina, suaranya dingin seperti es. Ia menunduk, bayangan menutupi wajahnya, membuat ekspresi wajahnya tak terlihat.
Supir itu terkesiap, matanya membulat sempurna. "Kau! Anak Tuan Danton!! Mengapa kau masih hidup? Bukankah kau sudah mati enam bulan yang lalu?!" Suaranya penuh keterkejutan dan tak percaya. Ia menatap Reina dengan campuran rasa takut dan tak percaya.
Reina mengangkat kepalanya, wajahnya kini terlihat jelas. Ekspresi dingin dan dendam itu berubah menjadi tatapan tajam yang penuh dengan amarah yang terpendam. "Tidak semudah itu membunuhku!!" Ia tertawa dingin, suaranya bergema di antara gedung-gedung tinggi. "Alisiya, eksekusi sekarang. Kita sudah mendapatkan banyak bukti."
Alisiya mengangguk, tanpa ekspresi. Dengan satu ayunan cepat dan tepat, scythe hologramnya menebas leher supir. Kehidupan supir itu berakhir dengan cepat, tanpa rasa sakit yang berkepanjangan.
Para polisi bertepuk tangan lega, ketegangan yang mencekam akhirnya sirna. Ketua polisi, seorang pria berbadan gempal dengan rambut yang mulai menipis, mendekati Reina. "Terima kasih, Pemburu Reina," katanya, suaranya penuh hormat. Ia menggaruk kepalanya, terlihat sedikit canggung. "Maaf ya... aku selalu merepotkan Craig..."
Reina tersenyum tipis, sopan dan tenang. "Tidak masalah, Tuan. Ini memang tujuan kami untuk menghancurkan Danton dan Alexander."
Ketua polisi itu menerima panggilan telepon dari Craig. Setelah beberapa saat, ia berkata kepada Reina dan timnya, "Reina dan rekan-rekan... kalian disuruh pergi ke markas Craig. Dan sekali lagi... terima kasih atas bantuan kalian."
Reina tersenyum, kali ini senyumnya tulus dan ceria. "Sama-sama, Tuan. Hubungi kami lagi ya!!" Ia naik ke motor Jimmy, Helena menuju helikopter Alice, dan Alisiya naik ke motor Mike. Mereka meninggalkan tempat kejadian, menuju laboratorium tersembunyi Reiz dan Tia, meninggalkan jejak cahaya pelangi dari scythe Alisiya di jalanan Moskow yang dingin.
Udara dingin laboratorium Reiz dan Tia menusuk kulit. Baja dan kaca berkilau di bawah cahaya redup, menciptakan suasana yang dingin dan steril. Reina, Alisiya, Mike, Jimmy, dan Helena memasuki bangunan megah itu, langkah mereka bergema di lorong yang sunyi. Aroma ozon dan logam baru terasa samar di udara. Mereka berjalan menuju lift yang tersembunyi di balik dinding yang tampak biasa saja, sebuah pintu baja yang hanya bisa dibuka dengan kode khusus. Lift itu, sebuah kotak baja yang dingin dan sempit, membawa mereka menuju kedalaman bumi.
Saat lift mulai bergerak turun, Reina menghela napas panjang, kelegaan dan kepuasan terpancar dari wajahnya. "Hah!! Keberhasilan lagi, guys!!" serunya, suaranya bersemangat dan riang. Ia mengepalkan tangannya, sebuah ekspresi kemenangan yang jelas terpancar dari sorot matanya.
Helena, yang biasanya tenang dan terkendali, meregangkan tubuhnya dengan gerakan yang anggun namun tegas. Ia menguap kecil, lalu tersenyum tipis. "Iya, Reina. Aku juga senang... misi kita selalu berhasil!" Suaranya lembut, tetapi ada kepuasan yang tersirat dalam nada bicaranya. Rambutnya yang terurai jatuh dengan anggun di bahunya, mencerminkan ketenangannya yang terpancar.
Jimmy, bersandar malas di dinding lift yang dingin, menyilangkan tangannya di dada. Ia mengamati rekan-rekannya dengan tatapan yang penuh pertimbangan. "Tumben Ketua Craig memanggil kita sesudah menyelesaikan misi..." katanya, suaranya sedikit ragu-ragu. Ia menggaruk dagunya, sebuah kebiasaan yang menunjukkan keraguannya. Ekspresinya menunjukkan rasa ingin tahu yang tercampur dengan sedikit kegelisahan.
Mike, dengan ekspresi datar dan tenang seperti biasanya, mengangguk setuju. "Iya... biasanya Ketua langsung menyuruh kita istirahat." Ia menatap ke depan, matanya fokus, seolah-olah sedang menganalisis sesuatu. Sikapnya yang tenang dan terkendali menunjukkan profesionalitasnya yang tinggi.
Alice, yang tampak kelelahan setelah misi yang menegangkan, bersandar lemas di lengan Jimmy. Matanya hampir terpejam karena mengantuk. "Huaahh... aku ngantuk..." Ia menguap lebar, lalu menggosok matanya dengan punggung tangan. "Jimmy, sering-sering cuci jaketmu ya..." Suaranya hampir tak terdengar, terhalang oleh kantuk yang mendalam. Ia tampak benar-benar kelelahan, tetapi tetap bisa bercanda dengan Jimmy.
Jimmy, yang merasa lengannya basah karena keringat Alice, mengerutkan dahi. "Terserah kau mau bilang apa, Alice!" Ia berkata, suaranya sedikit kesal, tetapi ada sedikit rasa geli yang tersirat dalam nada bicaranya. Ia menghela napas, tampak sedikit jengkel tetapi tetap menjaga sikapnya agar tidak terlalu kasar kepada Alice.
Lift berhenti. Pintu baja terbuka, memperlihatkan ruangan besar yang modern dan canggih. Craig, pemimpin mereka, duduk di sofa kulit yang mewah, mengamati mereka dengan tatapan tajam dan penuh pertimbangan. Ruangan itu dipenuhi dengan peralatan canggih dan layar monitor yang menampilkan berbagai data. Suasana ruangan itu tenang namun menegangkan, menunjukkan pentingnya misi yang akan mereka hadapi.
Craig berdiri, menyapa mereka dengan senyum tipis yang sedikit misterius. "Selamat datang, rekan-rekan ku yang hebat..." Suaranya tenang namun berwibawa, menunjukkan kepercayaan diri dan kekuatan yang dimilikinya. Ia menatap mereka satu per satu, matanya mengamati setiap detail ekspresi wajah mereka. "Ada misi baru yang menanti..." Ia melanjutkan, suaranya sedikit berubah, menjadi lebih serius dan menegangkan. "Misi yang jauh lebih berbahaya daripada yang sebelumnya..."
Helena, dengan tatapan penuh tanya, memecah keheningan. "Misi apa, Ketua Craig...?" Suaranya tenang, namun ada nada penasaran yang tersirat. Ia menatap Craig dengan intens, menantikan jawaban yang akan menentukan arah perjalanan mereka selanjutnya.
Craig memasang wajah datar, seolah-olah sedang menimbang-nimbang sesuatu yang penting. Ia menghela napas panjang, lalu tiba-tiba wajahnya berubah ceria, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Langsung saja... saatnya kalian ke Tokyo!!" serunya, suaranya penuh semangat dan kegembiraan.
Reina, yang terkejut mendengar kata "Tokyo", terdiam sejenak. Bayangan tanah kelahirannya melintas di benaknya, kenangan masa lalu yang indah dan menyakitkan bercampur menjadi satu. "Benarkah, Ketua Craig?!" tanyanya, suaranya penuh harapan dan kerinduan. Matanya berbinar, membayangkan pertemuan dengan sahabat-sahabat lamanya.
Craig mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Iya, Reina. Apakah kalian akan melakukan misi ini?" Ia menatap mereka satu per satu, memberikan mereka kesempatan untuk menolak jika mereka merasa tidak sanggup.
Mike, tanpa ragu sedikit pun, menjawab dengan tegas. "Setuju banget!!" Ia mengepalkan tangannya, menunjukkan antusiasmenya yang besar. Namun, Jimmy berdehem, memecah suasana yang penuh semangat. "Pasti kau mau bertemu dengan teman Reina, siapa sih namanya... oh, yang si Lynn..." godanya, sambil menyeringai nakal.
Mike memelototi Jimmy, wajahnya memerah karena malu. "Jangan asal ngomong, Jimmy!" bantahnya, suaranya sedikit meninggi. Ia berusaha menyembunyikan rasa malunya, tetapi ekspresi wajahnya mengkhianatinya.
Reina tertawa kecil, menggoda Mike dengan nada yang menggoda. "Uhmmm... kepincut ya melihat wajah Lynn terus?" Craig ikut tertawa, menambahkan bumbu dalam godaan tersebut. "Apakah benar, Mike? Wah... aku dengar dari data Lynn, dia gadis yang dingin loh... mau mendekati dia atau mau sengaja membeku?"
Semua orang tertawa terbahak-bahak, kecuali Mike yang menunduk, menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah. Ia merasa malu dan kesal pada saat yang bersamaan, tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sedikit kebenaran dalam godaan mereka.
Craig menghentikan tawanya, lalu berkata dengan nada yang lebih serius. "Jadi... misi kalian di Jepang sangat lama... tujuan kalian adalah... menghancurkan gudang-gudang perusahaan narkoba Danton..." Ia menghela napas, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih santai. "Tapi saranku... jangan terlalu cepat... hibur dulu diri kalian di Jepang dan beristirahat, ini juga bagian dari liburan kalian... mengerti?"
Semuanya memberikan hormat kepada Craig, menjawab serentak dengan penuh semangat. "Mengerti, Ketua Craig!!" Mereka merasa senang dan bersemangat, membayangkan liburan yang menyenangkan di Jepang sambil menjalankan misi penting.
Tiba-tiba, Reiz dan Tia tiba di markas Craig, terengah-engah karena berlari. Craig mengangkat tangannya, menghentikan mereka sebelum mereka bisa masuk lebih jauh. "Orang ilmuan dilarang masuk!" serunya, dengan nada bercanda.
Reiz memasang wajah protes. "Haa? Lalu bagaimana pemimpin penyerangan tidak diizinkan gosok gigi di laboratorium yang bersih?" Ia menunjuk dirinya sendiri dengan bangga, menunjukkan bahwa ia adalah bagian penting dari tim.
Reina berlari ke arah Reiz dan memeluknya erat. "Bang Reiz!! Aku akan pergi ke Tokyo!!" serunya, suaranya penuh kegembiraan. Ia memeluk Reiz dengan erat, meluapkan rasa senangnya.
Reiz mengelus rambut adiknya dengan sayang. "Wah, Reina, pasti kamu tak sabar melihat wajah sahabat lamamu di sana... tapi tetap ingat ya... identitas kamu harus tersembunyi di sana..." Ia menatap Reina dengan serius, mengingatkannya akan bahaya yang mungkin mengintai.
Tia mengelus rambut adik iparnya dengan lembut. "Karena itu, kami telah menciptakan sebuah topeng, untuk Reina dan Alisiya..." Ia tersenyum misterius, membuat Alisiya penasaran.
Alisiya berjalan cepat ke arah Tia, matanya berbinar karena rasa ingin tahu. "Benarkah?!" tanyanya, suaranya penuh harapan.
Tia mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Tentu, Alisiya... ini gunanya untuk menutupi identitas kalian berdua, terutama kamu Alisiya, nanti tiba-tiba ketemu Nona Andras gimana..." Ia menaikkan alisnya, menggoda Alisiya dengan nada yang menggoda.
Alisiya mengangguk mengerti, wajahnya menjadi serius. "Aku ngerti kok... aku tidak akan membiarkan sahabat terbaikku melihat aku sekarang, karena aku tidak mau melukainya dan membebaninya..." Ia menatap Tia dengan tatapan penuh tekad, menunjukkan bahwa ia siap melakukan apa pun untuk melindungi sahabatnya.
Reina mengangguk setuju, mendukung keputusan Alisiya. "Iya... aku tidak sabar bicara dengan Kei, Hanna, Kenzi, Lynn... semuanya!!" serunya, suaranya penuh kerinduan. Ia membayangkan percakapan yang panjang dan hangat dengan sahabat-sahabatnya, berbagi cerita dan pengalaman yang telah mereka lalui.
Reiz tersenyum, melihat semangat dan kegembiraan yang terpancar dari wajah adik dan teman-temannya. "Baiklah kalau begitu, barang-barang kalian telah aku masukin ke tas kalian dan mulailah liburannya!!" serunya, dengan nada yang penuh semangat.
Reina, Alisiya, Mike, Jimmy, Alice, dan Helena menjawab serentak, dengan semangat yang membara. "Gas!!" Mereka berlari keluar dari markas Craig, menuju petualangan baru yang menanti mereka di Tokyo.