Sebagai pembaca novel akut, Aksa tahu semua tentang alur cerita, kecuali alur ceritanya sendiri. Hidupnya yang biasa hancur saat sebuah buku ungu usang yang ia beli mengungkap rahasia paling berbahaya di dunia (para dewa yang dipuja semua orang adalah palsu).
Pengetahuan itu datang dengan harga darah. Sebuah pembantaian mengerikan menjadi peringatan pertama, dan kini Aksa diburu tanpa henti oleh organisasi rahasia yang menginginkan buku,atau nyawanya. Ia terpaksa masuk ke dalam konspirasi yang jauh lebih besar dari cerita mana pun yang pernah ia baca.
Terjebak dalam plot yang tidak ia pilih, Aksa harus menggunakan wawasannya sebagai pembaca untuk bertahan hidup. Ketika dunia yang ia kenal ternyata fiksi, siapa yang bisa ia percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Equinox_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinta Dari Bayangan
Malam yang sunyi telah datang.
Dalam sebuah kamar yang disinari oleh artefak lilin, Aksa sedang duduk tepat di meja yang dipenuhi oleh banyak buku novel. Ia sering sekali membaca novel romansa, fiksi, dan sains. Akan tetapi, tujuan ia duduk memandangi setumpuk buku bukan untuk memilih dan membaca novelnya.
Fokusnya tertuju kepada satu buku usang berwarna ungu.
'Apa aku buka sekarang?' pikirnya sembari memegangi buku itu dan mengecek seluruh bagiannya. 'Mungkin kakek tua itu hanya menipuku. Toh, ini buku jelek sekali. Tak mungkin tiba-tiba ada tulisan, 'kan?'
Sayangnya, ketika ia membuka buku itu, pada halaman pertama, buku itu mengeluarkan sedikit bayangan yang perlahan mulai membentuk huruf satu per satu.
Deg!
Hati Aksa rasanya ingin berhenti. 'Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?'
Spontan setelah melihat bayangan yang mengukir huruf per huruf hingga menjadi kalimat, ia melemparkan buku itu ke kasurnya yang berantakan.
Jendela kamarnya belum ditutupi tirai, sehingga cahaya bulan yang bersinar mengenai buku itu di atas kasurnya.
Keanehan semakin terjadi. Buku itu tiba-tiba membuka halamannya sendiri dengan cepat dan bunyinya terdengar seperti suara 'wusss' yang sangat nyaring menuju telinga Aksa.
Aksa yang tak kuasa melihat atmosfer yang mencekam itu, badannya gemetar tak percaya, seolah ia baru pertama kali melihat hal seperti ini.
Perlahan, ia memberanikan diri mendekati buku itu dan membukanya dengan sangat hati-hati.
'Huh?! Tulisannya sudah ada semua.' Ia melihat buku usang yang semula kosong berubah menjadi buku dengan sekumpulan teks penuh di setiap halamannya, yang tidak terdapat gambar satu pun saat ia memeriksa.
'Tunggu, tunggu... tidak mungkin kakek itu juga orang biasa, 'kan?' Wajahnya gelisah, tak percaya, seolah ingin menolak pikirannya sendiri.
Dalam halaman pertama, teks berisi tulisan yang tidak pernah dibahas oleh seorang pun di dunia ini.
'Dewa-dewa di dunia ini pada dasarnya mereka bukanlah dewa. Tidak ada dari mereka yang mempunyai kekuasaan sejati.'
'Hanya Sang Penciptalah sosok yang memulai dan mengakhiri.'
Dua kalimat ini membuat Aksa terdiam. Setelah peristiwa aneh saat membuka buku, saat ini ia diberi kebingungan yang bukan main, sebab isi teks tersebut tak pernah terpikir olehnya.
'Hahaha, bukan bukunya saja yang aneh, tapi isinya juga,' pikirnya sambil tersenyum seperti orang gila.
Ia memandangi bulan purnama itu sambil berkata dengan nada rendah, “Lantas, dewa yang masyarakat sembah dan meminta kekuatan itu apa, jika bukan dewa?”
.
.
Di suatu tempat yang jauh, di mana tebing es tinggi berjejer mengelilingi sebuah istana es, terlihat dua sosok mengenakan jubah berwarna putih yang menutupi seluruh tubuhnya, hingga hanya menyisakan mulutnya. Mereka sedang berjalan keluar dari aula bangunan itu.
Salah satu dari sosok itu membuka pintu yang amat besar hanya dengan satu tangannya. Di luar, badai salju menyambut mereka.
“Tetua berkata bahwa kita harus mencari buku itu, apa pun yang terjadi,” ucap salah satu sosok itu.
“Ya,” balas sosok yang lain sambil mengangguk.
.
.
Hujan turun tanpa henti, membasahi setiap jalan hingga berlumpur. Aksa sedang menikmati suasana itu di balik jendela ruang kepala akademinya bersama Brian. Ia dipanggil ke ruangan ini dikarenakan aksinya yang membolos bersama kawannya.
Seorang pria paruh baya berpenampilan rapi dan elegan membawa cangkir kopi dan duduk di depan mereka berdua. “Baiklah, kalian. Mau sampai kapan kalian berperilaku seperti ini?” ucap kepala akademi itu.
“Yah, tenang saja, Pak. Kita hanya membolos, bukan membuat keributan,” jawab Brian.
Aksa, yang sedari tadi melihat jendela ruang itu, mulai mengikuti pembicaraan dan menatap kepala akademi.
“Nak, dengarlah. Kalian berdua hanya punya satu tahun lagi untuk menentukan masa depan kalian,” ucap pria paruh baya itu.
Aksa memandangi seorang tokoh yang luar biasa, Kepala Akademi Shepnia. Orang yang sama yang menurut rumor sering membantu Kaisar untuk menyelesaikan permasalahan rumit kekaisaran, dan juga seorang jenius yang menciptakan artefak transportasi antar desa dengan teleportasi singkat. Dan sekarang, sosok luar biasa itu memanggil mereka hanya karena mereka bolos pelajaran akademi.
“Ya, kami tahu, Pak. Kami sudah memikirkannya dengan baik,” jawab Aksa.
Alis kepala akademi itu terangkat penasaran. ”Ohoo?” ujarnya sembari menyeruput secangkir kopi. ”Bolehkah kutahu rencana kalian?”
“Mmmm... ya, aku akan mencoba melamar pekerjaan di Galeri Artefak Kekaisaran,” ucap Brian dengan percaya diri.
Mereka berdua, Aksa dan kepala akademi, terkejut.
"HAH?!" Aksa tak bisa menahan diri. "Kau ini bagaimana? Bukankah yang masuk ke sana hanya seorang jenius?" Ia menatap Brian tak percaya, lalu menggelengkan kepalanya. "Kau saja masih sering gagal bikin artefak. Sekalinya berhasil, fungsinya tidak jelas."
Brian memelototi Aksa karena bertindak di luar batas di depan kepala akademi yang sangat dihormati banyak orang.
“Lalu, bagaimana denganmu, Nak Aksa?” tanya kepala akademi itu.
Aksa tak langsung menjawab. Ia perlahan menundukkan kepalanya. “Aku, sekiranya gagal melanjutkan studi ke universitas, maka aku akan memulai sebagai penulis,” ujarnya sambil memainkan jari-jarinya.
“Pffffttt... penulis?” Tak kuasa menahan tawa, Brian tak bisa mengontrol reaksinya. “HAHAHA! Kalau kau jadi penulis, jalan ceritanya saja sudah absurd,” jelas Brian dengan nada yang agak keras.
Aksa menahan diri untuk tidak memukul temannya itu. Ia memejamkan mata dan mengepalkan tangannya.
Melihat tingkah kedua muridnya, kepala akademi itu tersenyum tipis. “Memang anak muda penuh ambisi. Baiklah, kalian bisa pergi,” ucapnya sambil meletakkan cangkir kopi. “Dengan satu syarat, jika kalian membolos kembali, maka mau tidak mau pihak akademi akan menghilangkan ruangan klub kalian.”
'Huh?!' reaksi mereka berdua bersamaan.
Mau tidak mau, mereka menyetujuinya, karena pada dasarnya itu memang kesalahan mereka. Mereka mengangguk setuju dan mulai meninggalkan ruangan itu.
Setelah mereka berdua keluar, mereka saling bertukar tatapan.
“Hahaha, kutahu kau akan melamar di Galeri Artefak Kekaisaran,” usil Aksa sambil tersenyum meledek.
Brian mengibaskan rambut pirangnya ke belakang sehingga beberapa wanita yang melihatnya terpesona. “Aku pun tak tahu bahwa kau mau menjadi penulis nantinya,” balas Brian dengan percaya diri.
“Ya, ya, ya...,” ucap Aksa. ”Hei, apa jadi obrolan kita kemarin, yang ingin menemui kakek tua penjual itu?”
“Tentu saja. Mari kita ke sana. Sekalian aku pulang, 'kan, rumahku di daerah sana.”
Brian mendahului Aksa dengan langkah yang agak cepat. Ia sendiri memiliki tujuan agar terlihat tebar pesona di kalangan wanita dengan parasnya yang menarik.
Aksa yang melihat itu memegang pundak Brian dari belakang. “Hei, tunggu dulu. Aku ingin memberitahu sesuatu sebelum kita pulang.”
“Sesuatu? Tentang apa?” tanyanya.
Aksa mulai memimpin jalan, memotong jalan Brian dengan mengarahkan ke ruangan Klub Misterinya. “Ini tentang buku itu dan kelanjutan dari klub kita yang di ambang kehancuran oleh pihak akademi,” jawab Aksa dengan wajah serius.
Ia berhenti sejenak dan berbisik di antara kebisingan.
“Aku membuka buku itu semalam saat sendirian, dan ada masalah,” bisiknya tanpa diiringi candaan.