Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9 - Tubuh yang Akhirnya Kembali Bernyawa
Malam turun seperti tirai tebal yang menutupi istana. Tapi di dalam kepalaku, ribuan lampu ide menyala tanpa izin. Entah jam berapa sekarang—tubuhku seharusnya sudah rebahan manis di ranjang, dikelonin bantal dan dilantunkan dongeng mimpi. Tapi... tidak malam ini.
Aku duduk di kursi roda, menggenggam lentera kecil dan membuka pintu perpustakaan kerajaan secara diam-diam. Sendi lututku sedikit nyeri karena suhu dingin, tapi semangatku terlalu panas untuk dipadamkan.
"Aku harus tahu," bisikku, "Kenapa tubuhku selemah tahu goreng basah—padahal sihir dalam diriku seperti reaktor nuklir tanpa pelat pelindung."
Ruang perpustakaan sepi. Aroma khas kertas tua dan kayu mengisi udara. Di antara rak-rak tinggi, aku menemukan bagian bertuliskan “Ilmu Anatomi dan Biologi Dasar Makhluk Humanoid.”
Tangan gemetar, aku menarik satu buku besar berjudul “Sistem Muskuloskeletal dan Aplikasinya pada Penyembuhan Magic”. Sampulnya berdebu. Penulisnya? Seorang profesor tua bernama Elgran von Luthar, yang fotonya di belakang buku terlihat seperti baru saja kehilangan taruhan hidupnya.
Aku membuka halaman pertama.
Dan mulai membaca.
Ternyata, memahami anatomi itu seperti membongkar isi laptop sambil ditelepon mantan—penuh tekanan dan kemungkinan ledakan.
“Otot rangka terdiri dari serabut aktin dan myosin yang saling bertaut dalam proses kontraksi. Energi dikonversi dari ATP, yang diproduksi melalui respirasi seluler dalam mitokondria. Jika ingin meningkatkan ketahanan otot, maka jumlah kapiler dan efisiensi pembakaran glukosa harus dioptimalkan…”
Mata kiriku berkedut.
"Jadi... intinya, kalau aku bisa menyentuh bagian itu dengan sihir dan... memperkuat atau menstimulasi pertumbuhannya... mungkin aku bisa menambahkan upgrade biologis pada tubuhku, kan?”
Aku membuka buku lain. “Neurotransmisi dan Perbaikan Sistem Saraf dengan Sihir Cahaya”. Di sini dijelaskan kalau sinyal dari otak ke otot dikirim melalui impuls listrik—yang, kalau disinkronkan dengan frekuensi sihir yang tepat, bisa mempercepat reaksi tubuh.
“Jika gelombang sihir disalurkan ke nodus saraf melalui jalur tulang belakang, maka transmisi refleks dapat ditingkatkan hingga 17%. Namun, efek samping berupa hiperstimulasi saraf dan rasa terbakar bisa terjadi.”
Aku menatap tanganku sendiri. Kulit pucat. Urat-urat terlihat. Lemah—ya, tapi bukan tak berguna.
"Ini tubuhku. Aku yang punya. Dan mulai sekarang, aku juga yang bentuk ulang."
Aku menutup semua buku dan duduk di tengah lantai perpustakaan. Di sekitarku, lingkaran sihir yang kugambar dengan kapur putih. Bukan jenis rumit seperti milik penyihir kerajaan—ini desain improvisasi, berdasarkan pemahaman dasar aliran mana.
"Napas dulu, Arlan. Fokus ke bagian-bagian kecil."
Aku menutup mata dan memvisualisasikan seluruh tubuhku.
Kerangka. Otot. Pembuluh darah. Sistem saraf. Aku membayangkan semuanya dalam bentuk diagram 3D, seperti peta harta karun dengan label rumit: “Rectus femoris”, “biceps brachii”, “trapezius”, “plexus brachialis”...
Kemudian, aku alirkan sihir perlahan ke daerah kaki. Fokus pada otot betis dan paha.
Rasa hangat menjalar... lalu sakit. Seperti ada aliran listrik kecil—bukan membakar, tapi menggelitik tajam.
Aku hampir teriak. Tapi menggigit bibir.
“Kalau rasa sakit ini hasil dari reaktivasi jaringan, berarti teori tadi benar. Sihir bisa merangsang otot untuk ‘bangkit’... asalkan pengguna tahu letak dan cara stimulasi.”
Setelah kaki, aku mencoba bagian dada. Pectoralis major. Lalu ke lengan. Deltoid, triceps, extensor digitorum...
Sihirku menari di sepanjang jaringan tubuh, memeluknya, menggetarkannya perlahan seperti senar biola.
Jam berlalu.
Peluh menetes dari pelipisku.
Sihir dalam diriku mengalir deras, mengaliri otot-otot yang dulu lemas seperti kain lap. Sekarang, terasa... kencang. Responsif.
Aku menarik napas dalam.
Dan berdiri.
Tanpa bantuan.
“...Ho?” aku mengedip.
Langkah pertama.
Langkah kedua.
Tidak ada pusing. Tidak ada mual. Tidak ada tubuh yang tumbang seperti biasanya.
Aku... berjalan. Perlahan, tapi stabil.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Aku keluar dari perpustakaan dan berjalan menyusuri lorong istana yang sepi. Lampu-lampu kristal menyala temaram, menemani setiap langkahku.
Aku mencoba berlari kecil.
Lututku tidak gemetar. Napasku tetap stabil. Ototku terasa hidup.
Setelah tiga puluh menit... aku masih bisa bergerak.
Setelah satu jam... baru aku mulai terasa lelah. Tapi itu wajar. Karena tubuh ini baru saja menahan sihir sepanjang malam.
Aku tertawa. Tidak keras, tapi penuh napas lega.
“...Satu jam. Aku bisa bertahan satu jam.”
Satu jam berjalan dan berlari kecil tanpa tumbang.
Ini belum akhir.
Belum sempurna.
Tapi ini adalah awal dari sesuatu.
Aku menatap ke luar jendela, melihat langit malam yang masih gelap. Bintang-bintang berkedip seolah ikut bersorak untukku.
Dan di saat itulah... aku sadar.
Tubuh ini, masa depan ini... akhirnya jadi milikku.
Tapi—
Aku tak bisa memberitahu siapa pun.
Bukan sekarang. Bukan dalam waktu dekat.
Aku harus menyembunyikannya—kemajuan ini, rahasia ini. Meskipun aku sudah memecahkan teka-teki tubuhku, meskipun aku sekarang tahu bahwa kelemahanku bukan kutukan, tapi akibat sihir yang terlalu kuat dan tidak terkendali.
Dunia harus tetap melihatku sebagai Arlan yang lemah—yang rapuh, yang perlu dijaga, yang tak bisa berjalan tanpa bantuan.
Bukan karena aku ingin dikasihani...
Tapi karena aku ingin tahu.
Siapa yang benar-benar peduli padaku, bahkan saat aku terlihat paling tak berdaya?
Karena orang yang hanya mencariku ketika aku kuat, tak pantas berdiri di sisiku ketika aku jatuh. Tapi mereka yang bertahan—yang memilihku, yang tetap melihatku meski aku tampak lemah...
Merekalah yang pantas berdiri bersamaku saat aku bangkit.
Jadi, mulai hari ini... aku akan bermain peran. Aku akan menjadi Arlan seperti yang mereka kira. Lemah. Lembut. Tak berdaya.
Dan dari balik topeng itu, aku akan memilih.
Siapa yang akan menemaniku...dalam hidup baru ini.
Yang satu ini, bukan eksperimen. Tapi seleksi.
Dan aku akan melakukannya dengan penuh senyum.
Aku berdiri pelan dari posisi duduk, merasakan betapa entengnya tubuhku sekarang. Lututku tidak gemetar, napasku tidak terengah. Masih belum sempurna. Tapi satu jam berjalan tanpa rasa lelah? Untukku yang dulu... itu seperti melompat ke bulan.
Perlahan aku berjalan ke luar perpustakaan, menyusuri koridor sepi yang hanya diterangi cahaya lilin.
Langkah demi langkah, tubuh ini terasa lebih hidup. Lebih utuh. Lebih aku.
Tapi sekarang… aku harus kembali.
Bukan karena aku lelah.
Tapi karena... ya, kau tahu.
"Aku harus kembali sebelum kompor itu meledak lagi dan membakar seluruh istana."
Terselip senyum masam di bibirku saat membayangkan Lyra panik setengah mati, membawa panci sup yang tiba-tiba berubah jadi bola api.
Mungkin... mungkin aku bisa memperkuat tubuhku.
Tapi memperkuat dapur dari kegilaan pelayan istana yang terlalu semangat itu...
Itu urusan lain.
Dan aku belum siap menghadapi sihir yang satu itu.