Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari H
Renjiro Sato, yang kembali bertugas dengan status "aset yang baru diperbaiki", berdiri kaku di ambang pintu ruang OSIS. Tsukishima Marika masih melotot padanya, jelas terjebak antara ingin menyeretnya ke UKS dan ingin memeluknya karena akhirnya datang membantu.
Tentu saja, dia memilih opsi ketiga: marah.
"APA YANG KAMU LAKUKAN DI SINI?! KUBILANG ISTIRAHAT!"
"Lapor, Ketua," kata Ren pelan, suaranya masih serak. "Aset sudah kembali bekerja."
"Aset bodoh!" bentak Marika. "Kalau kamu pingsan lagi di tengah gimnasium, itu akan merusak efisiensi jadwalku! Pulang! Sekarang!"
"Tapi, Tsukishima-san," Ren menunjuk ke papan tulis yang penuh coretan merah. "Klub Paduan Suara dan Klub Drama bentrok. Dan aku satu-satunya yang tahu cara kerja panggung baru itu."
Marika menggertakkan giginya. Dia tahu Ren benar. Dia terjebak.
Sebelum Marika bisa mengeluarkan argumen (atau hinaan) berikutnya, sebuah suara panik meledak dari walkie-talkie yang tergantung di bahu Marika.
"K-KETUA! GAWAT! GAWAT, TSUKISHIMA-SAN!" Itu suara Yamada, si ketua seksi perlengkapan yang tidak berguna.
Marika meraih walkie-talkie itu, matanya terpejam lelah. "Lapor. Efisien, Yamada-kun."
"PANGGUNGNYA! PANGGUNG KLUB DRAMA YANG BERTINGKAT ITU! MIRING! KUPU-KUPU MALAM-NYA JULIET MAU JATUH!"
Mata Marika terbelalak ngeri. Dia menatap Ren dengan tatapan putus asa murni. Semua rencana, semua kerja keras... akan hancur bahkan sebelum festival dibuka.
Ren menghela napas panjang. Dia berjalan melewati Marika, mengambil walkie-talkie cadangan di meja OSIS, dan menjepitkannya di kerah seragamnya.
"Baiklah, Ketua," kata Ren, suaranya tenang. "Ayo kita perbaiki aset kita yang miring."
Marika menatapnya sedetik. Amarahnya lenyap, digantikan oleh... kelegaan yang tidak disamarkan dengan baik.
"...Jangan pingsan," gerutunya pelan. "Ayo lari."
Kekacauan di gimnasium persis seperti yang digambarkan Yamada. Panggung tiga tingkat yang Ren rancang—karya agungnya—miring sekitar 15 derajat ke kiri. Romeo, yang sedang latihan, terlihat ketakutan di tingkat paling atas.
"Aku sudah mengikutinya sesuai instruksi!" ratap Yamada, memegang cetak biru terbalik.
Ren, yang masih sedikit pusing karena sisa demamnya, memijat pelipisnya. "Yamada-kun. Kamu tidak mengencangkan baut penahannya. Kamu hanya menumpuk baloknya."
"TAPI SAMA SAJA, KAN?!"
"TIDAK SAMA!" teriak Marika dan Ren bersamaan, sebuah harmoni yang mengejutkan.
Festival akan dibuka dalam dua puluh menit. Kepanikan mulai terasa.
"SEMANGAT LOGISTIK!" sebuah suara menggelegar dari pintu masuk gimnasium.
Tanaka-senpai dari Klub Kendo masuk, diikuti oleh lima anggota klubnya yang bertelanjang dada. "KAMI MENDENGAR ADA KETIDAKSEIMBANGAN JIWA DI SINI!"
Marika tampak seperti ingin menangis saking stresnya. Tapi Ren, entah kenapa, merasa tenang.
"Tanaka-senpai!" panggil Ren. "Aku butuh ototmu!"
Lima belas menit berikutnya adalah kekacauan yang terorganisir dengan indah. Ren, yang dilarang Marika untuk mengangkat apa pun yang lebih berat dari spidol, duduk di kursi lipat seperti seorang sutradara.
"Baik! Tim Kendo, angkat sisi kiri... PELAN-PELAN!" "Yamada! Ambil kunci pas! Kencangkan baut yang itu! Yang KANAN, bodoh!" "Marika! Cek kemiringannya pakai aplikasi waterpass di ponselmu!"
Marika, yang biasanya memegang kendali, entah bagaimana menurut. Dia berjongkok, memegang ponselnya di tepi panggung. "Masih miring 0,5 derajat, Sato-kun!"
"OKE! SENPAI, TURUNKAN SEDIKIT!"
Dengan bunyi KLAK yang memuaskan, panggung itu akhirnya lurus. Tepat satu menit sebelum gerbang sekolah dibuka.
Tanaka-senpai menepuk punggung Ren (cukup keras untuk membuatnya batuk). "KERJA BAGUS, TIM LOGISTIK! SEMANGAT EFISIEN!"
Ren dan Marika saling berpandangan di tengah kekacauan. Keduanya berkeringat, sedikit kotor, tapi panggungnya selamat. Marika mendengus, berusaha menyembunyikan kelegaannya.
"Kerja bagus," katanya singkat. "Untuk ukuran orang yang baru sembuh."
Siang hari, festival berada di puncaknya. Halaman sekolah penuh sesak. Aroma yakisoba, taiyaki, dan gula kapas bercampur di udara. Setiap stan berteriak-teriak menawarkan dagangan mereka.
Ren sedang bersembunyi.
Dia duduk di lorong sepi di belakang gedung OSIS, menyandarkan kepalanya yang berat ke dinding yang dingin. Energi paginya sudah habis. Dia hanya ingin tidur. Demamnya mengancam akan kembali.
"Menyedihkan."
Ren membuka matanya. Marika berdiri di depannya, menghalangi cahaya matahari.
Sebelum Ren bisa memprotes, sebuah kaleng dingin menempel di pipinya.
PLAK.
Ren tersentak kaget. Dia menatap kaleng itu. Itu Pocari Sweat.
"Dehidrasi dan kekurangan elektrolit akan menurunkan efisiensi kerja," kata Marika datar, seolah sedang membacakan laporan. Dia membuka botol teh oolong-nya sendiri. "Anggap ini... tunjangan panitia."
Ren mengambil kaleng itu. Rasanya sangat dingin di tangannya yang hangat. "Terima kasih, Tsukishima-san."
"Hmph."
Marika tidak pergi. Dia malah duduk di samping Ren di lantai koridor. Menjaga jarak aman satu jengkal, tentu saja.
Mereka duduk dalam diam yang canggung selama beberapa menit. Di kejauhan, terdengar teriakan dari stan Maid Cafe dan alunan musik dari Klub Musik yang sedang check sound.
"Klub Kendo tadi sukses besar," kata Ren pelan, memecah keheningan. "Teriakan Tanaka-senpai terdengar sampai ke stan OSIS."
Marika menyesap tehnya. Ren bersumpah dia melihat senyum tipis di bibirnya. "Proposal perbaikan bogu-mu disetujui penuh oleh divisi keuangan. Katanya itu 'solusi logistik paling cerdas' yang mereka lihat dalam tiga tahun."
Ren tersenyum. "Kerja bagus, Ketua."
"Berisik," balas Marika. Tapi tidak ada gigitan dalam suaranya.
Momen damai mereka pecah saat walkie-talkie Marika berbunyi lagi. Kali ini, suara gadis dari kelas 2-C yang panik.
"TSUKISHIMA-SAN! GAWAT! KAMI KEHABISAN ES BATU! MAID CAFE KAMI AKAN HANCUR!"
Marika memejamkan matanya, menghela napas panjang. Dia menatap Ren. Ren menghela napas. "Aku yang urus."
"Kamu yakin?"
"Aku 'aset', kan?" kata Ren sambil berdiri dengan susah payah. "Aku akan... mencari es batu."
Ren berlari—atau setidaknya, berjalan cepat—menuju ruang guru, satu-satunya tempat yang mungkin menyimpan es batu cadangan. Dia berhasil meyakinkan (memohon) pada Tanaka-sensei dan mendapatkan satu kantong plastik besar es batu dari kulkas guru.
Dia bergegas kembali ke halaman utama, memeluk kantong es itu erat-erat. Dia berbelok di tikungan dekat gimnasium dan...
"Hiks... hiks... Ibu..."
Ren berhenti mendadak. Seorang anak laki-laki kecil, mungkin berumur empat tahun, berdiri sendirian di sudut, menangis tersedu-sedu. Jelas tersesat dari orang tuanya.
Ren menatap es batu di tangannya (mencair). Lalu dia menatap anak itu (menangis).
Sial.
Dia meletakkan kantong es itu di lantai.
"Hei," kata Ren lembut, berjongkok agar sejajar dengan anak itu. "Namamu siapa? Kamu tersesat, ya?"
Anak itu menatap Ren dengan mata penuh air mata. "Ibu... beli... takoyaki... hiks..."
"Oke, oke. Tenang dulu," kata Ren. "Bagaimana kalau kita..."
"SATO-KUN!" Suara Marika yang tajam terdengar dari belakangnya. "Di mana es batunya?! Maid Cafe sudah seperti sauna!"
Marika berbelok dan berhenti mendadak. Dia melihat Ren yang berjongkok, anak kecil yang menangis, dan kantong es batu yang kini setengahnya berisi air di lantai.
Wajah Marika yang marah langsung berubah. Dia tidak terlihat kesal pada Ren. Dia terlihat... bingung.
"Esnya... mencair," kata Ren pelan, merasa bersalah.
Marika menatap Ren, lalu ke anak itu. Dia menghela napas panjang. Bukan napas marah. Napas lelah.
"...Tidak apa-apa," katanya. "Kita bisa cari es lagi di Klub Judo, mereka pasti punya untuk kompres."
Dia melangkah mendekat dan berjongkok di sebelah Ren. Dia menatap anak itu. Wajahnya melembut, dengan cara yang sangat kaku dan canggung.
"Halo," katanya pada anak itu, suaranya masih sedikit terlalu formal. "Nama saya Tsukishima. Kami dari OSIS. Kami akan membantumu mencari ibumu. Efisiensi prioritas: anak hilang lebih tinggi daripada es batu."
Ren menatap Marika. Dia melihat sisi Marika yang bahkan tidak pernah ia bayangkan ada.
Anak itu, entah kenapa, berhenti menangis dan menatap Marika dengan penasaran.
"Ayo," kata Marika, berdiri. "Kita bawa dia ke pos keamanan pusat. Sato-kun... kamu... bantu bawa dia."
"Hah? Aku?"
"Kamu yang menemukannya. Kamu lebih... ramah," kata Marika. "Aku akan bicara di walkie-talkie untuk pengumuman."
Ren akhirnya menggendong anak itu di punggungnya. Anak itu melingkarkan lengannya di leher Ren.
Mereka berjalan berdampingan menuju pos keamanan—Ren menggendong anak yang hilang, Marika berbicara tegas di walkie-talkie mengatur pencarian—seperti tim yang paling aneh dan paling efisien di dunia.
Matahari akhirnya mulai terbenam. Langit berubah dari oranye menjadi ungu tua. Lampion-lampion kertas yang mereka pasang di seluruh halaman sekolah mulai dinyalakan satu per satu, menciptakan suasana magis.
Acara utama festival—konser Klub Musik di panggung utama—akan segera dimulai.
Ren dan Marika berdiri di atap sekolah, tempat terbaik untuk melihat semuanya. Mereka tidak sedang istirahat; mereka sedang memantau arus kerumunan dari atas.
Keduanya diam, terlalu lelah untuk bicara. Keriuhan di bawah terdengar seperti dengungan yang jauh.
"Sejauh ini..." Marika akhirnya angkat bicara, suaranya pelan. "Tidak ada bencana besar."
"Panggungnya tidak roboh," tambah Ren.
"Tidak ada yang keracunan yakisoba."
"Dan anak yang hilang tadi sudah bertemu ibunya," kata Ren sambil tersenyum kecil.
Marika meliriknya dari sudut mata. Dia tidak mendengus. Dia tidak bilang "Hmph".
Dia hanya mengangguk kecil. "...Kerja bagus, Sato-kun."
Udara malam mulai terasa dingin. Ren, yang hanya mengenakan seragam, sedikit menggigil. Demamnya mungkin akan naik lagi.
Dia teringat peringatan Marika dewasa.
"Malam ini... setelah festival selesai. Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan dia sendirian."
Ren menelan ludah. Dia menatap Marika, yang siluetnya terlihat tegas berlatar belakang langit malam. Gadis itu terlihat kuat. Tak terkalahkan.
Tapi Ren tahu, berkat suara dari masa depan, bahwa itu semua hanya topeng.
Jantungnya berdebar. Bagian tersulit dari hari ini... baru akan dimulai.