Seorang perempuan bernama Zainab Rahayu Fadillah memutuskan menikah dengan seorang pria bernama Hasan Bahri. Dia menerima pinangan itu, dikarenakan keluarga sang suami adalah keluarga dari turunan turunan seorang tuan guru di sebuah kota.
Zainab dan keluarga, jika mereka adalah dari keturunan baik, maka sikapnya juga akan baik. Namun kenyataannya bertolak belakang. Dunia telah menghukum Zainab dalam sebuah pernikahan yang penuh neraka.
Tidak seperti yang mereka pikirkan, justru suami selalu membuat huru hara. Mereka hampir setiap hari bertengkar. Zainab selalu dipandang rendah oleh keluarga suami. Suami tidak mau bekerja, kerjanya makan tidur dirumah. Namun penderitaan itu belum selesai, adik ipar dan juga ponakannya juga sering numpang makan di rumah mereka, tanpa mau membantu dari segi uang dan tenaga. Zainab harus berjuang sendiri mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Haram keduanya memakannya
Fatur diam menunduk. Mel memperhatikan ekpresi Fatur.
“Abang kenapa? Kok seperti sedih gitu? Abang sedih karena dipukul Ummi tadi sore ya?” tanya Mel. Fatur hanya mengelengkan kepalanya pelan.
“Mel pinter banget. Abang nggak sepinter Mel, Abang malu...” ujarnya lirih.
“Ihhh, abang nggak boleh ngomong kek gitu... Abang pinter juga kok... Mel kan tahu, karena Mel udah belajar dulu dikelas...”
Fatur mendesah pelan. “Tetap aja, abang ini yang lebih tua dari Mel, harusnya abang yang ngajarin Mel, bukan Mel yang ngajarin Abang...” keluhnya.
Mel tersenyum tipis. “Abang, nggak boleh bicara kek gitu... Abang sebenarnya pinter, cuma karena malas belajar aja...” kekeh Mel tertawa.
Fatur menyunggingkan senyum tipis.
“Abang belajar pun, belum tentu Abang lebih pinter dari Mel... Mel jahat, kenapa Mel lebih pinter dari Abang... Kan Abang malu jadinya...” jawab Fatur memasang wajah cemberut. Mel tertawa lagi.
“Iya deh, nanti Mel nggak mau belajar deh... Biar Mel nggak pinter...” sahut Mel, pura-pura memasang wajah serius.
“Beneran?” tanya Fatur.
Mel menganguk cepat. Fatur tersenyum, begitupun Mel. Suasana menjadi hangat. Keduanya langsung tidur, saat PR nya sudah selesai. Sebelum tidur, Mel dan Fatur membawa gelas bekas minum mereka kedapur. Setelah itu keduanya masuk kedalam kelambu. Mel langsung tidur, sedangkan Fatur seperti biasanya harus membuat skenario demi skenario diotaknya dulu, baru setelah tenang, ia mulai terlelap.
Saat sudah pagi, keduanya segera pergi kesekolah. Zainab mulai menyirami kebun kecilnya. Tanamannya nampak tumbuh subur, namun kebun itu tidak begitu besar, tapi cukup untuk dimasak dan lebihnya dijual dikedai.
Siang itu Zainab memasak untuk anak-anaknya dengan meringis, soalnya induk jarinya cantengan. Sudah diobati, namun belum kunjung sembuh.
Karena itu juga, setiap Zainab memberikan makanan kerumah Yati, Yati dan anaknya tidak mau memakan masakan Zainab, karena ia jijik melihat jari Zainab yang cantengan, apalagi sesekali mengeluarkan nanah. Jika Zainab memasak masakan yang berkuah apalagi bersantan, mereka tidak mau memakannya.
“Aku nggak mau makan, jijik. Jari ia itu cantengan, mana tahu nanahnya masuk kedalam makanan...” ujar Yati memasang wajah jijik, saat beberapa detik kemudian Zainab mengantarkan gulai ikan untuk keluarga itu.
“Aku juga nggak mau makan...” timpal Sumi.
Kata-kata itu masih bisa didengar oleh Zainab, yang masih berada disamping rumah Nenek Limah.
Zainab hanya menghela napas lelah. Keluarga suaminya selalu berbicara sesuka hati, tanpa memikirkan perasaan orang lain. Mereka juga sembarangan berbicara, tanpa melihat kanan kiri.
Zainab pulang kerumah dengan perasaan sedih. Beginilah jika menjadi miskin, orang-orang akan sesuka hati berbicara, tanpa memikirkan perasaan orang.
Zainab, mengambil parang dan segera membela pinang disamping rumah. Namun dari wajahnya nampak murung. Sikap Zainab, tidak luput dari pandangan kedua anaknya.
“Ummi kenapa ya bang? Kok, kayak sedih?” tanya Mel saat melihat sang ibu. Kedua anak itu mau minta duit jajan, sebelum pergi main.
Fatur angkat bahu. “Mungkin Ummi lagi capek...” jawabnya dengan pelan. Keduanya mendekati sang ibu.
“Mi, minta jajan...” ujar Mel pelan. Zainab tidak menoleh, ia hanya mendengus pelan.
“Hari ini, nggak ada jajan dulu ya Mel... Ummi gak ada duit...” ujarnya tanpa melihat kedua anaknya.
Zainab sengaja melakukan hal itu, ia mencoba menyembunyikan wajah sedihnya dari kedua anaknya. Mel hanya diam. Jika memaksa, percuma. Tidak akan dapat, malah ujung-ujungnya kena pukul.
“Ya udah, Mel sama Abang main dulu ya Mi...” ucap Mel, lalu menarik tangan sang abang meninggalkan rumah.
“Nanti, kalau kita maksa mau jajan, nanti Ummi marah dan kita kena pukul...” jelas Mel saat sudah menjauhi rumah.
“Betul juga ya... Mel pinter deh...” puji Fatur.
“Iya dong, adik siapa dulu dong. Abang Fatur Hasan Bahri...” bangga Mel, menatap gemas sang abang. Sang abang tertawa dengan keras. Keduanya singgah dirumah Nenek Limah.
“Makyung, minta duit... Mau jajan...” ujar Fatur dengan wajah polosnya. Yati mengambil uang, dari celah lubang dinding papan rumahnya, lalu memberikan uang seribu rupiah untuk kedua adik beradik itu.
“Makasih Makyung...” ujar keduanya senang.
“Main, jangan pulang terlalu sore...” pesan Yati.
“Ya...” teriak keduanya, sambil berlari menuju rumah As.
Siang itu setelah main pondok, Fatur dan kawan-kawannya main bola dilapangan. Mel juga ikutan, tapi As hanya duduk dipinggir lapangan. Teman-temannya, tidak mau As terlalu capek dan mengakibatkan ia pingsan lagi.
Setelah sore, mereka pun bubar. Sore itu mereka puas bermain bola dan tertawa. Fatur dan Mel pulang dengan pakain kotor dengan wajah penuh keringat. Mel juga nampak lelah. Namun, rasa lelah itu terbayar oleh kebersamaan yang mereka rasakan.
Sesekali Fatur dan Mel tertawa, saat Mel tidak sengaja menjegal kaki Fatur saat bermain bola.
Sesampainya dirumah, keduanya sudah melihat Zainab yang sudah menunggu didepan pintu.
“Kok baru pulang?” tanya Zainab pelan.
“Tadi kita main pondok, setelah itu kita main bola...” jawab Mel cepat.
Zainab hanya menganguk. Mel dan Fatur juga nampak menghela napas lega. Hari ini, mereka bebas dari omelan dan pukulan dari sang ibu.
Wajah Zainab nampak lelah. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga karena lelah secara bathin.
Ia masih ingat, saat Fatur masih kecil, ia mencari kerang dilaut, hanya untuk membelikan susu SGM untuk Fatur. Waktu Fatur kecil, Ia tidak mau minum susu yang lain, ia hanya mau minum susu SGM.
Saat Mel sudah lahir, ia juga masih berkerang, Mel yang kecil ditinggalkan dirumah sang ibu. Kebalikan Fatur, Mel justru tidak mau minum susu apapun, ia hanya minum air gula. Lagipula saat Mel masih kecil, ekonomi mereka sedang sulit.
Hasan bekerja ke Malaysia, karena berantem dengan Zainab. Ia pergi dengan tidak meninggalkan uang sepeser uang. Selama Hasan di Malaysia, Zainab susah payah mencari uang untuk kebutuhan sang anak. Uang dari gaji kerja disana, habis diberikan kepada Nenek Limah dan keluarganya.
“Kalian mandi, dulu... Setelah itu baru makan...” ucap Zainab.
Keduanya hanya menganguk pelan. Keduanya langsung menceburkan diri keparit. Seperti biasa, mereka mandi dengan disertai canda tawa.
Saat sudah mandi, keduanya duduk bersila.
“Apa lauknya Mi?” tanya Fatur.
“Cuma tumis kangkung, cuma itu yang bisa ummi masak untuk kalian...” jelas sang Zainab dengan suara pelan.
“Mel, suka tumis kangkung... Makan sayur itu sehat...” sahut Mel dengan wajah sumringah.
“Ya, abang juga suka...” jawab Fatur pula.
Zainab hanya mendesah pelan, melihat tingkah anak-anaknya. Ia bersyukur, anak-anaknya tidak banyak meminta. Apapun yang ia masakan, pasti dimakan dengan lahap oleh keduanya.
Setelah makan, keduanya kembali tertidur. Zainab tidur dengan pikiran kacau. Hasan sudah lama tidur dari tadi.
Pikiran Zainab menerawang ke masa lalu. Saat itu Hasan mengirimkan uang, dan juga Milo kaleng ukuran satu kilo dan makanan lainnya. Namun kiriman itu, tidak sampai terlebih dahulu dirumahnya, malah dirumah ibunya.
Malam itu, Salman menjemput Mel dan Fatur.
“Hasan menyuruh saya menjemput Mel dan Fatur, ada kiriman dari Hasan. Jadi, jika Mel dan Fatur mau makan kiriman itu, Fatur dan Mel harus dibawa kerumah...” jelas Salman. Zainab, nampak kaget mendengar penjelasan Salman.
Harusnya kiriman itu sampai terlebih dahulu kerumahnya, tapi kenapa malah dirumah sang ibunya? Lalu kenapa, Mel dan Fatur harus kesana jika mau makan kiriman ayahnya? Kenapa kiriman itu tidak dibagi dua saja? Lalu bagian Zainab sebagai istri mana? Apakah ia tidak dapat bagian?
Pertanyaan itu, terus berputar-putar diotak Zainab. Zainab menghela napas kasar. Ia kesal melihat tingkah Hasan, selalu mengutamakan keluarganya dan menelantarkan anak dan istrinya.
Fatur dan Mel nampak bahagia, melihat banyak makanan. Fatur mengambil Milo kaleng satu kilo itu. Ia memakan langsung Milo itu dari dalam kaleng dan langsung menyuapnya kemulutnya. Sedangkan Mel, memakan makanan lainnya. Keduanya nampak sumringah menikmati makan itu.
Setelah lama berpikir, Zainab memutuskan untuk menjemput kedua anaknya. Ia mengetuk pelan rumah Nenek Limah.
“Saya mau menjemput Mel dan Fatur...” ujarnya dingin pada pemilik rumah.
“Ayo masuk Nab...” ujar Yati dengan sumringah. Zainab menatap dingin Yati. Ia ramah padanya, karena sudah banyak menikmati pemberian Hasan, bahkan uang kiriman Hasan tidak sampai padanya.
“Saya hanya ingin mengatakan, saya tidak mengizinkan Mel dan Fatur untuk memakan makanan dari kiriman Hasan... Jika ia sayang sama Mel dan Fatur, harusnya semua kiriman itu sampai kerumah saya terlebih dahulu, bukan malah dikuasai oleh kalian semua dan anak saya hanya memakan sedikit saja dari pemberian ayahnya...” jelas Zainab.
“Apa yang kau katakan Nab?” tanya Yati mengerutkan keningnya.
“Tidak usah pura-pura tidak tahu Lung... Kalian semua pasti tahu maksud saya... Jika kalian jujur, kenapa tidak membagi dua pemberian Hasan? Kenapa harus Mel dan Fatur yang jadi tamu dirumah ini? Kenapa mereka yang datang kerumah ini hah?” bentak Zainab dengan cukup keras.
“Ayahnya banyak mengirim makanan, dan lihat berapa banyak yang dimakan anak saya...” ucapnya, menatap anggota keluarga itu tajam. Zainab, menatap Fatur yang menyuapi Milo didalam mulutnya.
“Hanya beberapa suap, dan kalian malah mengkuasai semuanya. Mana uang kiriman Hasan? Aku dan anak-anak juga butuh uang, ia adalah ayahnya dan seorang suami...” Zainab menghela napas kasar. Ia terlihat emosi.
“Fatur, Mel, pulang!” perintah Zainab.
“Saya, tidak pernah mengizinkan kedua anak saya memakan kiriman dari Hasan. Saya bisa membelinya sendiri... Jika keduanya tetap memakannya, bagai memakan daging babi. Haram keduanya memakannya...” bentak Zainab.
Zainab, mengusap mulut Fatur yang belepotan dengan ujung bajunya.
salam kenal ya, jgn lupa mampir di 'aku akan mencintaimu suamiku' 🤗🤗
aku akan datang kalo udh UP lagi 😉
jangan lupa untuk mampir juga yaaa makasihhh