Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Tidak biasanya, tetapi hari ini, aku merasa bahwa Sandi bak menghindari ku.
°°°°°
Suara dari dapur kedai kecil kesayangan ku hari ini hening, jauh dari riuh dapur yang biasanya diisi dengan kesibukan Sandi menyiapkan pesanan untuk pelanggan. Aku mengerti, memang hari ini tidak seperti biasanya. Kedai begitu sepi pengunjung hingga kami bisa leha-leha dari pagi hingga di jam istirahat makan siang. Memanfaatkan waktu yang ada, aku mencoba mampir sebentar ke dalam dapur untuk sekedar menyapa Sandi.
Ku masuki ruangan dapur dengan senyum terbaik, demi menyelaraskan hati dan bertemu Sandi yang mungkin sedang bosan di dapur.
"San! Sebat yuk. ." Ah . . baru saja aku ingin mengajaknya keluar dan merokok, namun sepertinya, melihat kondisi dapur yang masih rapih tanpa keberadaan Sandi, adalah pertanda bahwa dia sudah lebih dulu pergi, melalui pintu belakang.
tidak biasanya, dia pergi beristirahat melalui pintu itu. Sandi biasanya memilih keluar memutar melalui kami sekaligus izin untuk merokok, lagi pula istirahat di jam makan siang seperti ini bukanlah hal yang biasa Sandi pilih karena ini seharusnya jam ramai pengunjung.
pintu besi berat yang mengarah kepada Sandi, berdecit keras meski aku mendorongnya perlahan, hingga garis cahaya masuk bergantian memenuhi seisi dapur tatkala pintu telah sepenuhnya terbuka.
"San?" tanyaku lirih ragu, menunggu jawaban dari Sandi yang belum terlihat keberadaannya.
Tanpa saling melihat, Sandi sudah menjawab panggilanku dengan datar dan singkat. "Ada pelanggan?"
Aku mendekat ke arahnya yang terlihat duduk dengan satu kaki terangkat sebagai sandaran dagu, terlihat angin sepoi-sepoi mengibas poninya perlahan bersama asap tembakau tipis yang memanjat naik ke udara.
tatapannya penuh lika-liku ke ujung pagar kawat pembatas ruko, dia melirik ke arahku sebentar sebelum akhirnya kembali termenung ke sudut yang sama. Bayangan awan bergerak naik membiarkan tubuhnya kembali tersorot cahaya cerah yang menjadikan tubuhnya cemerlang berkilauan.
"Nggak panas di situ? Gw temenin ya."
"Mhh . . Gw mau masuk dulu, takut ada yang beli."
"Ha?" Loh? Kenapa dia memilih pergi? Ah, iya juga, ini adalah jam ramai, pantas saja kalau memang dia memilih untuk kembali ke dalam. Haha, apa sih yang aku khawatirkan.
Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu berdua dengan sebatang rokok merk baru yang beraroma kan pisang, rasa yang menarik bagiku yang seorang pecinta buah tropis. Siang ini, sendirian, aku mencoba untuk mewujudkan riang dengan cara tersenyum kikuk kepada awan.
°°°°°
"Boo~! Ruel balik duluan yahh! Boo hati-hati, di dapur ada buaya! Weeee (menjulurkan lidah, meledek)" Aku cekikikan sambil meneriakkan kata iya, membalas pamit kepada Ruel yang sudah berlari demi menghindari Sandi.
"Hihihi, San sorry ya, becanda aja kali dia(Ruel), lu nggak kesinggung kan?" Aku melirik Sandi yang tidak melepaskan tatapan dari cucian piring.
"Mmm." Balasnya singkat sambil tetap fokus mencuci piring.
Aku yang semula biasa saja, kini menjadi sedikit jengkel dengan sikap angkuh yang dia sajikan kepada sekitarnya. Mungkin dengan memberikan menu yang sama yang dia berikan kepadaku akan membuatnya tersadar bahwa Silent treatment bukanlah solusi yang tepat.
Akan tetap sebelum sempat menghabiskan malam tanpa kata, Sandi tiba-tiba saja mencolek punggungku yang membuat sekujur tubuh ku menggigil.
"Mphhh! Ish, Lu ngapain dah!?" Aku berteriak ketus, kaget, juga tidak menyangka dengan kontak fisik yang Sandi berikan.