NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25: Kontrak pernikahan

Back to Raya and Ryan

Keheningan melingkupi perjalanan mereka yang ditempuh dalam suasana yang penuh ketegangan. Dua insan yang baru saja mengikat janji bertunangan itu duduk di dalam mobil, meski hanya di hadapan orang tua Ryan, namun bagi Raya, itu sudah cukup mengubah statusnya dari seorang gadis single menjadi calon istri orang.

Namun, dalam dada Raya, perasaan tidak tenang terus mengganggu. Ia merasa terjebak, seperti ada beban berat yang harus dipikul, tetapi tak berani untuk mengungkapkannya. Di sisi lain, Ryan yang duduk di sampingnya, tampak tenang dan tak memperhatikan sedikitpun kekhawatirannya.

Pikiran Raya tetap saja tidak tenang, namun dia tidak berani mengatakan apa pun pada Ryan. Takut? Ya, takut yang kini dirasakan oleh Raya, apalagi tamparan yang Ryan layangkan sebelumnya masih membekas di pipinya, meski tak tampak karena tertutupi oleh makeup tipis yang menyamarkan sudut bibirnya yang sedikit berdarah.

Luka yang tak terlihat tak berarti tidak sakit, bukan?

Drtttttttt... Drrrrrt... Drrrrrrt...

Tiba-tiba ponsel Raya berdering, menggema di dalam ruang hampa mobil. Raya melihat layar ponselnya dengan ragu. Nama yang tertera di sana membuat hatinya kembali bingung saat nama "Kak Arkana" tertera di layar ponsel nya .

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Raya mengambil ponselnya dan melirik sekilas ke arah Ryan. Ryan masih tidak menunjukkan reaksi, seolah tidak peduli dengan panggilan masuk itu.

" Iya.... " ujar Raya pelan.

Suasana di dalam mobil terasa semakin hening, dengan hanya suara Raya yang terdengar di dalam mobil, dan Ryan yang tetap dengan tatapan kosongnya, memfokuskan diri pada jalanan yang terus membentang di depan mereka.

"Lo di mana, Ray? Lo masih sama orang gila itu? Cepat pulang, gue bakal nungguin lo di sini!" ujar Arka dengan suara ngos-ngosan, terdengar panik dan terburu-buru.

"Kak... kamu kenapa? Kenapa suara kamu terengah-engah seperti itu? Dan ya, jangan tunggu aku. Aku nggak tahu kapan aku pulang, maafkan aku!" ujar Raya, merasa khawatir dengan kondisi Arka. Meskipun Arka pernah berbuat salah padanya dulu, mungkin Arka lebih baik dibandingkan dengan Ryan... setidaknya dia pernah peduli.

"Pokoknya cepetan balik! Gue nungguin lo di sini! Ngapain lama banget sama manusia jahanam itu?! Pokoknya cepetan balik, gue mau ngomong sesuatu sama lo!" ujar Arka, suara terdengar berbelit-belit, tidak jelas, seperti orang yang kesulitan berbicara.

"Apakah dia mabuk?" gumam Raya dalam hatinya, bingung dengan apa yang Arka katakan.

"Apa kamu mabuk, Kak? Kenapa meracau tak jelas seperti itu? Aku nggak mengerti maksud kamu," ujar Raya dengan nada khawatir.

"A... ak... aku mencintai...m...."

CKITTTTT... BRAKKHHH...

"Akhhhh....!" Raya meringis kesakitan saat dahinya membentur dasbor mobil, dan ponselnya jatuh terlempar ke bawah mobil. Tubuhnya sedikit terhuyung, mencoba untuk mengimbangi kekuatan benturan.

Raya mengangkat wajahnya yang sedikit pusing, menatap Ryan yang duduk di sampingnya. Ryan terlihat baik-baik saja, bahkan tidak ada sedikit pun raut wajah terkejut atau panik. Wajahnya datar, hampir kosong, hanya menatap ke arah ponsel Raya yang masih menyala, terus menyala, dan masih tersambung dengan panggilan dari Arka.

"Kamu atau ponselmu yang harus saya matikan?" ujar Ryan dengan nada dingin.

Raya menelan saliva-nya dengan susah payah. Namun dia tetap mengambil ponselnya dengan tangan gemetar. Dengan hati yang berdegup kencang, dia mematikan panggilan yang masih tersambung itu, tidak lupa mematikan teleponnya untuk memastikan tak ada lagi gangguan. Tangan Raya menggenggam ponsel itu erat-erat, seolah berharap bisa mengontrol ketegangan yang semakin melingkupi ruang dalam mobil.

"Berisik!!" ujar Ryan, suaranya dipenuhi penekanan yang tajam. Wajahnya masih dingin dan tak menampakkan sedikit pun emosi, hanya ada kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya penuh dengan kekuasan yang harus di patuhi oleh semua orang.

Namun, sayangnya, bukan menuju rumah Raya, mobil itu justru berbelok ke arah lain. Arah yang jelas tidak menuju ke rumah Raya seperti yang seharusnya.

"Kak... ini bukan jalan menuju rumah." ujar Raya dengan suara pelan, mencoba memberi tahu Ryan. Siapa tahu, mungkin Ryan melupakan alamat rumahnya.

"Lebih baik kamu diam... ocehanmu itu tidak penting." Ryan menjawab tanpa menoleh sedikit pun, nada suaranya masih ketus.

Langit sore yang memerah dengan semburat oranye yang hampir tenggelam di balik horizon membuat jalanan yang biasa saja tampak begitu indah. Namun, keindahan itu hanya terlihat samar di mata Raya. Matanya mulai berkaca-kaca, berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dia masih ada di sini? Kenapa dirinya tak bisa lepas dari semua ini? Tapi di luar itu semua, dia tetap diam, menatap jalanan yang entah kenapa menjadi begitu menenangkan, meskipun jiwanya terasa berantakan.

Perjalanan terus berlanjut, hingga kurang dari 30 menit setelah tragedi ponsel tadi. Mobil Ryan berbelok ke arah satu bangunan apartemen mewah di daerah Jakarta. Gedung tinggi itu tampak menjulang megah, dengan pencahayaan di bagian luar yang memancarkan aura kemewahan. Lampu-lampu jalanan di sekitar apartemen menciptakan bayangan panjang, memberikan kesan eksklusif dan sepi, seolah mengundang hanya mereka yang benar-benar diundang.

Ryan menghentikan mobilnya persis di depan lobi apartemen. Suara ban mobil yang berhenti di atas aspal terdengar di tengah malam yang tenang. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung membuka pintu dan mengajak Raya turun. Raya hanya bisa mengikuti kemauan calon suaminya itu, langkahnya terasa berat, namun tak bisa ditahan. Matanya sesekali melirik Ryan, yang berjalan dengan langkah tegas, seakan tahu tujuan berikutnya.

Keduanya menaiki lift khusus yang ada di apartemen tersebut. Keheningan menyelimuti mereka berdua, hanya terdengar suara dentingan halus saat tombol lift ditekan. Di dalam lift, ada aroma wangi yang elegan, khas tempat-tempat mewah, menambah ketegangan yang terasa di antara mereka. Setelah beberapa detik, lift itu akhirnya berhenti di lantai 25. Pintu lift terbuka, dan lagi-lagi Ryan keluar terlebih dahulu tanpa mengajak Raya. Raya, yang sudah paham, hanya bisa mengikuti dengan langkah perlahan, mencoba menenangkan diri, meski pikirannya penuh dengan kekhawatiran.

Mereka menyusuri lorong apartemen yang panjang dan sepi. Di sepanjang jalan, lampu-lampu temaram menyinari dinding-dinding berwarna netral, menciptakan suasana yang tenang namun juga sedikit dingin. Tidak ada suara lain selain suara langkah kaki mereka yang terdengar bergema. Saat sampai di ujung lorong, Ryan berhenti di depan pintu paling ujung yang terlihat berbeda dari pintu lainnya. Pintu itu lebih besar dan memiliki desain yang lebih modern, memberi kesan bahwa ini adalah pintu yang tidak biasa.

Ryan menempelkan kartu akses ke pemindai di samping pintu. Tidak butuh waktu lama, pintu itu terbuka dengan suara gesekan halus. Suara itu seakan mengundang mereka masuk ke dalam sebuah dunia yang jauh berbeda dari dunia luar.

Keduanya langsung masuk, dan Raya langsung terpesona begitu mata memandang isi unit apartemen milik Ryan. Mata Raya menyapu setiap sudut ruangan yang luas, dengan dekorasi yang begitu elegan. Setiap furnitur yang ada seolah dipilih dengan cermat serta berkelas, modern, dan mahal. Ruang tamu yang luas dipenuhi dengan sofa besar berwarna netral, lampu gantung yang menggantung megah di atas, dan dinding yang dihiasi dengan karya seni bernilai tinggi. Pijakan kaki Raya terasa lembut di atas karpet mewah yang menutupi lantai kayu gelap. Jendela besar di seberang ruangan menghadap ke pemandangan kota Jakarta yang gemerlap, dengan gedung-gedung tinggi yang bersinar di malam hari.

"Duduk!" ujar Ryan dengan tegas, matanya tajam menatap Raya yang masih terdiam di tempat. Kini, Ryan duduk santai di sofa single yang terletak di sudut ruang tamu.

"Mama bilang kita akan menikah dua minggu lagi. Saya tidak peduli dengan pernikahan ini. Tujuan saya hanya ingin membahagiakan kedua orang tua saya, dan kamu akan ikut berperan dalam ini. Jujur saja saya tidak menyukai kehadiranmu di dekat saya, tapi saya tidak bisa membuat ibu saya kecewa. Kamu pasti paham, kan?. Di hadapanmu ada kontrak perjanjian menikah. Kita akan menikah selama satu tahun saja. Setelah itu, saya akan menceraikanmu. Setelah perceraian selesai, kamu pergi dari Indonesia. Bila perlu, ubah kewarganegaraanmu… terserah negara mana yang kamu pilih, tapi yang pasti kamu harus menjauh dari saya dan keluarga saya selamanya," Ryan berbicara dengan nada datar, wajahnya kosong.

Raya hanya diam, terperangah mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut Ryan. Ia menatap nanar sebuah map yang terbuka di hadapannya, tidak mampu berkata-kata. Setiap kata yang Ryan ucapkan seolah seperti tamparan yang menusuk langsung ke hati.

"Kamu tenang saja. Saya bukan manusia tidak tahu diri. Setelah kepergianmu itu, saya akan menanggung biaya hidupmu untuk selamanya. Setiap bulan, saya akan mengirimkan uang padamu, dan itu berlangsung selama kamu hidup. Intinya, saya menanggung biaya hidupmu seumur hidup, kecuali jika kamu menikah dengan pria lain." Ryan melanjutkan, tetap dengan nada yang sama.

"Tentu nya dengan satu syarat, jangan pernah menampakkan wajahmu lagi di hadapan saya dan keluarga saya!, " lanjut pria tersebut lagi.

"Kak… pernikahan itu sebuah ikatan yang suci. Kenapa kakak membuat kontrak perjanjian nikah seperti ini? Ini bukan dunia novel yang bisa kau atur sesuka hatimu!" Raya berusaha bersuara, meski suaranya sedikit bergetar karena emosi yang terkumpul di dadanya.

"Anggap saja ini dunia novel. Saya penulisnya, dan kamu pemerannya. Saya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur alur hidupmu selanjutnya, dan ya, apapun yang terjadi pada seorang tokoh, maka itu pasti atas keinginan penulisnya." Ryan berkata dengan nada sombong, seolah-olah ia adalah Tuhan yang mengatur hidup Raya.

"Aku tidak bisa mempermainkan ikatan suci pernikahan seperti ini, aku menolak!" Raya menjawab dengan tegas, meskipun hati kecilnya masih penuh kebingungannya.

"Cepat tandatangani… saya tidak punya banyak waktu!" Ryan semakin memaksa, wajahnya mulai menunjukkan ekspresi kesal.

"Aku tidak mau, tolong jangan paksa aku, Kak. Aku tidak ingin menikah dengan siapapun, termasuk dirimu!" Raya melawan, matanya mulai berkaca-kaca, merasa terpojok.

"Apa saya memberikan kamu pilihan untuk memilih? Tidak kan?" Ryan menjawab dengan suara rendah dan datar, tetapi tetap terasa mengintimidasi.

"Tidak… biar aku yang akan bicara pada Tante Ashanty jika aku tidak setuju dengan pernikahan ini. Tidak perlu menunggu satu tahun, aku akan pergi sekarang juga!" Raya berdiri, mencoba untuk tegar.

"Jangan membuat saya kesal, Raya!! Cepat tandatangani dan semuanya selesai. Jangan mengundur-undur waktu! Kamu tahu saya tidak akan pernah menyetujui pikiran bodohmu itu!" Ryan meninggikan suaranya, wajahnya tampak serius dan marah.

"Tidak... aku tetap akan bicara pada Tante Ashanty jika aku ingin semuanya berakhir, kamu bisa mencari wanita lain untuk menuruti semua perintahmu itu," ujar Raya sembari beranjak dari tempat duduknya.

"Memangnya siapa dirimu berani menolak perintah saya, hah?" Ryan menarik tangan Raya dengan kasar, membuat Raya limbung dan kembali terduduk di sofa tempatnya tadi duduk.

"Akhhhhhhhhhhhhhhh..." Teriak Raya saat Ryan mencengkeram dagunya dengan kasar, menekan tulang pipi Raya hingga terasa sakit.

"Sudah saya katakan, jangan pernah membantah keinginan saya! Jadi manusia tuh tahu diri sedikit. Ibu saya sudah berbaik hati menyelamatkan nyawa manusia tidak berguna seperti kamu, dan sekarang dia dengan mudahnya memilih kamu untuk menjadi menantu nya! APA OTAK MU ITU TERLALU BODOH HINGGA TIDAK MAU MELIHAT KETULUSAN IBU SAYA?" ujar Ryan dengan marah sembari melepaskan cengkeraman tangannya, namun di saat yang bersamaan, dia melayangkan satu tamparan keras di pipi Raya.

"Sakit kak..." rintih Raya sembari memegangi pipinya yang merah akibat tamparan Ryan, wajahnya memerah dan air mata sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Sakit? Bukankah mulut lancangmu itu yang menyebabkan rasa sakit ini?" ujar Ryan dengan nada dingin sambil menggenggam erat dagu Raya, memaksanya menatap matanya yang penuh amarah.

"Ampun kak..." rintih Raya, gemetar, saat cengkraman tangan Ryan semakin kencang, merasakan tekanan yang menakutkan di bawah telapak tangan Ryan.

"Masih ingin pergi dan mengatakan pada Mama? Silakan lakukan itu, namun satu tetes air mata ibu saya akan saya balas dengan ribuan tetes air mata mu," ujar Ryan dengan suara yang terdengar begitu menyeramkan, menggetarkan Raya hingga ketakutan.

Raya menggelengkan kepalanya, menundukkan wajah, menyesal karena mengucapkan hal itu pada Ryan. Setiap kata-kata Ryan seperti pisau yang menghujam ke hatinya.

"Cepat tandatangani itu... saya tidak ingin membuang waktu lagi!" ujar Ryan, suara tegasnya membuat Raya merasakan tekanan lebih berat.

Dengan berat hati, Raya mengambil ballpoint tersebut dan mulai membaca beberapa poin paling atas dari kontrak pernikahan yang dipaksakan padanya, hingga akhirnya dia menghembuskan nafas kasar dan mulai menggoreskan tinta hitam itu di atas kertas putih yang sudah ditempel materai tersebut. Setiap goresan terasa seperti beban yang menambah keputusasaannya.

Seutas senyum tipis terukir di bibir indah milik Ryan, ya, tanpa disadari Ryan tersenyum, walaupun tipis, saat tanda tangan Raya sudah berhasil dibubuhkan di atas materai tersebut.

"Begitu saja, harus drama dulu," nyinyir Ryan, merasa semua ini terlalu mudah baginya.

"Aku ingin pulang," ucap Raya dengan suara pelan setelah dia selesai menandatangani kontrak pernikahannya itu. Ryan hanya mengangguk, tanpa menunjukkan ekspresi lebih, sembari meletakkan beberapa lembar uang di hadapan Raya. Lalu dia berbalik, berjalan menuju sebuah ruangan di dalam unit itu dengan kontrak yang dia bawa.

Hingga di sana hanya menyisakan Raya yang duduk termenung dan beberapa lembar uang yang tergeletak di atas meja tersebut.

"Kalian jahat padaku!!" ujar Raya lirih, suara itu hampir tak terdengar, namun penuh dengan kepedihan yang terpendam. Air matanya tak dapat ditahan lagi, mengalir deras di pipinya. Dia melirik sekilas ke arah uang yang diberikan oleh Ryan, namun entah mengapa, dia tidak dapat membawanya. Dia tidak menginginkannya. Dengan langkah pelan, dia bangun dan berlalu pergi meninggalkan unit milik calon suaminya itu dengan perasaan kacau.

Raya keluar dari apartemen itu, memesan taksi untuk kembali ke rumahnya. Tanpa diketahui oleh siapapun di keluarga Sudrajat, Raya diam-diam menjadi penulis novel online berbayar. Jadi, dia memiliki sedikit uang tabungan sendiri dari hasil karya novel yang dia tulis, meski jumlahnya tak seberapa.

Sekitar 15 menit menunggu, akhirnya taksi yang dipesan oleh Raya sampai juga, dan Raya pun benar-benar pergi dari sana, meninggalkan semua kenangan pahit dengan perasaan sedih.

Dia sama sekali tidak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi padanya. Dia menatap cincin berlian indah yang tersemat di jari manisnya, terlihat begitu indah, namun sayang keindahan cincin tersebut hilang saat mengingat siapa orang yang telah memasangkan cincin tersebut.

" Mbak... benar ini alamatnya? Kita sudah sampai," ujar sang sopir menghentikan mobilnya, namun Raya tetap tidak bergeming, masih terlarut dalam pikirannya.

" Mbak... (Your destination is on the left)," suara sopir yang diiringi oleh suara Google Maps, menandakan bahwa mereka telah sampai.

Raya baru tersadar dari lamunannya. Dia meminta maaf pada sang sopir, lalu turun setelah segala urusan selesai. Raya memasuki rumah yang telah diberikan oleh Liu padanya, dengan langkah gontai, dia masuk ke dalam rumah yang masih gelap. Hanya diterangi oleh cahaya lampu dari luar yang berasal dari rumah lain. Setiap sudut rumah terasa sunyi dan dingin, seperti mencerminkan perasaan Raya yang kacau.

Raya menaiki tangga menuju ke lantai atas, dalam keadaan temaram itu, tidak ada niat baginya untuk menyalakan lampu. Untuk saat ini, dia membutuhkan waktu untuk mencari ketenangan, meresapi segala kekacauan yang terjadi dalam garis takdir hidupnya yang kini terbalik.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!