Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Profesional, Tapi Matanya Bohong
Pagi itu, Surabaya seperti lupa caranya panas. Langit kelabu menggantung rendah di atas gedung-gedung, dan butiran hujan turun perlahan di balik jendela besar apartemen yang menghadap jalan utama kota. Tidak deras, hanya gerimis yang lembut — tapi cukup untuk menenangkan seluruh suasana.
Bulan berdiri di depan jendela ruang tamu, mengenakan kaos putih pendek dan celaan panjang abu. Tangan kirinya menggenggam cangkir kopi hitam, sementara tangan kanan sibuk menggambar garis-garis acak di kaca yang mulai berembun. Hening. Hanya suara tik-tik-tik hujan dan dengungan AC yang terdengar.
Di belakangnya, Liora masih menggulung diri di sofa dengan selimut motif garis, rambut berantakan, dan ekspresi setengah hidup. Ia menatap sahabatnya yang berdiri di depan jendela, lalu menggumam serak, “Jam berapa sekarang?”
“Setengah delapan,” jawab Bulan tanpa menoleh.
“Udah bangun dari jam berapa?”
“Dari jam enam.”
“Ngapain?”
“Diam aja.”
Liora mendesah panjang. “Tanda-tanda orang jatuh cinta, nih,” katanya pelan sambil merenggangkan tubuh.
Bulan memutar mata, masih menatap ke luar. “Ck, gue cuma gak bisa tidur.”
“Uh-huh. Gak bisa tidur gara-gara mikirin si dingin elegan itu?”
Bulan akhirnya menoleh, menatap Liora yang kini duduk setengah tegak di sofa sambil mengusap mata.
“Jangan mulai, Li.”
Liora mengangkat alis, wajahnya menyeringai kecil. “Ayolah. Dari tadi lo melamun kayak karakter di drama Korea yang nunggu pesan balasan dari oppa-nya.”
“Enggak.”
“Terus kenapa senyum sendiri dari tadi?”
Bulan terdiam. Senyum yang dimaksud Liora perlahan memudar — tapi sisa lembutnya masih menempel di wajahnya, seolah terekam dari sesuatu yang tidak ingin ia akui keras-keras.
Ia menatap keluar lagi, matanya mengikut tetes hujan yang jatuh pelan di kaca.
“Cuma kepikiran aja,” katanya akhirnya, suaranya rendah.
Liora mencondongkan tubuh, menatap penasaran. “Tentang?”
“Malam kemarin.”
Liora menatap dengan ekspresi aku-tahu- ini- arahnya - akan-ke-situ.
“Bhumi?” tanyanya pelan.
Bulan tidak membantah. Ia hanya menghela napas panjang, lalu duduk di kursi dekat jendela. Cangkir kopinya ia letakkan di meja kecil, uapnya masih menari pelan di udara.
“Waktu dia bilang kalau gue bikin rumahnya terasa hidup lagi…” Ia berhenti sejenak, menatap jari-jarinya yang saling bertaut. “Gue gak tahu harus gimana. Kalimatnya sederhana, tapi entah kenapa, rasanya berat. Berat, tapi hangat. Kayak... dada gue penuh, tapi tenang.”
Liora memiringkan kepala, nadanya lembut kali ini. “Berat gimana maksud lo?”
“Kayak sesuatu yang belum pernah gue denger sebelumnya,” jawab Bulan pelan.
“Kayak… akhirnya ada seseorang yang bener-bener lihat gue. Bukan cuma hasil kerja gue, bukan cuma apa yang gue bisa, tapi… gue-nya. Rembulan yang gak harus kuat setiap saat.”
Liora diam. Ia jarang melihat sahabatnya sejujur ini. Biasanya Bulan cuma tersenyum kecil, mengganti topik, atau pura-pura gak terlalu peduli. Tapi pagi itu… ada sesuatu yang berubah.
Bulan melanjutkan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Lucu, ya. Seseorang yang bahkan belum lama gue kenal bisa bikin gue ngerasa… gak asing. Padahal gue gak tahu apa yang ada di pikirannya.”
Liora menyandarkan tubuh ke sofa, menarik selimutnya lebih tinggi. “Mungkin lo gak perlu tahu semuanya sekarang, Bul. Kadang cukup tahu… kalau seseorang itu bikin lo tenang, dan itu aja udah cukup.”
Ia lalu mencondongkan badan, matanya berkilat kecil. “Jangan lari dari perasaan lo sendiri, Bul. Kalau rasa itu bikin lo nyaman, aman… kejar. Jangan lepasin.” Tangannya terangkat, menggenggam di depan dada dengan ekspresi penuh semangat khasnya.
Hening sesaat. Suara hujan terdengar makin lembut, tapi justru terasa lebih jelas di antara jeda itu.
“Nyaman, ya…” gumam Bulan pelan, matanya menerawang. “Dia punya caranya sendiri buat bikin gue nyaman. Tapi… di satu sisi gue juga ngerasa—kayaknya gue gak pantes.”
Liora langsung menegakkan punggungnya, wajahnya serius. “Pantes, Bul. Lo pantes. Lo layak buat siapa pun yang bisa liat lo segitu dalamnya. Termasuk dia.”
Bulan hanya tersenyum kecil — senyum yang lebih jujur daripada biasanya. Hujan masih turun di luar, tapi di dalam ruangan itu… hangatnya jauh lebih terasa.
Bulan memejamkan mata sebentar, membiarkan suara hujan yang menetes di kaca menjadi latar dari kekacauan hatinya sendiri. Tapi anehnya, kekacauan itu… gak lagi menakutkan.
Ia membuka mata pelan-pelan.
“Li…” panggilnya lirih.
“Hm?”
“Gue… pikir mungkin…” Bulan menelan napas kecil, berusaha merangkai kata yang selama ini dia hindari. “Mungkin gue tahu arahnya sekarang.”
Liora langsung diam. Matanya melembut — menangkap perubahan kecil tapi penting dari sahabatnya.
“Beneran?” bisiknya, seolah takut kalau suara terlalu keras bisa memecahkan momen itu.
Bulan mengangguk perlahan.
“Waktu gue lihat dia kemarin… cara dia lihat gue—” ia berhenti, dadanya naik turun pelan.
“Bukan kayak rekan bisnis. Bukan kayak ‘terima kasih sudah bantu proyek’. Tapi… kayak seseorang yang gak mau gue pergi terlalu jauh.”
Liora tersenyum kecil, penuh arti. “Dan lo gimana ngeliat dia?”
Bulan menunduk sejenak, lalu menatap tangannya sendiri. Jemarinya menggenggam satu sama lain, seperti memegang sesuatu yang rapuh tapi berharga.
“Gue… gak tau dari kapan,” ucapnya jujur. “Mungkin sejak pertama kali ngeliat dia pas meeting. Mungkin sejak dia pasangin jasnya di bahu gue. Mungkin waktu dia ngomong tanpa ekspresi tapi isi kalimatnya bikin hati gue gak bisa diem.”
Tangan Bulan menyentuh dadanya perlahan, seolah memastikan degupnya masih normal.
“Tiap dia deket, gue ngerasa aman tapi juga… gugup. Dan itu baru kejadian sama satu orang selama hidup gue.”
Liora mengangguk pelan. “Bhumi…”
Bulan mengembuskan napas panjang — napas yang terdengar seperti seseorang yang akhirnya berhenti melawan arus.
“Gue gak mau bohong lagi, Li.” Ia tersenyum tipis, senyum seorang yang akhirnya mengakui sesuatu pada dirinya sendiri. “Semuanya selalu balik ke dia.”
Suara hujan semakin lembut, seolah ikut mengerti.
“Gue gak ngerti kenapa,” lanjut Bulan, suaranya nyaris bergetar halus. “Tapi waktu dia deket, dunia gue kerasa… lebih tenang. Lebih pas. Dan itu hal paling aneh sekaligus paling jujur yang pernah gue rasain.”
Liora menatapnya dengan mata berbinar. “Jadi… lo udah tau arahnya ke mana?”
Bulan tersenyum—senyum yang penuh penerimaan.
“Udah.” Ia menatap keluar jendela, hujan memantulkan cahaya temaram ke wajahnya.
Liora memekik kecil, menepuk bantal di pangkuannya.
“Akhirnyaaa! Ya Tuhan, Bul! Gue udah nunggu berabad abad rasanya, akhirnya setelah sekian lama hati lo nyangkut juga!”
Bulan tertawa kecil, menutup wajah dengan tangan. “Stop, Li…”
“Gak akan! Ini momen bersejarah, Rem–bu–lan!”
Bulan tidak langsung menjawab. Lalu ia hanya memandangi hujan di luar yang makin rapat, sebelum mengangkat cangkir kopinya perlahan. Uap hangatnya menyentuh bibirnya yang sedikit bergetar.
“Gue bahkan gak tahu… bisa atau enggak,” ucap Bulan lirih.
Liora tersenyum kecil — senyum seseorang yang sudah mengenal sahabatnya terlalu lama.
“Tapi lo mau kan, Bul.”
Bulan menatapnya sejenak, lalu menunduk. “Mungkin… iya.”
Di luar, hujan turun lebih deras. Aroma tanah basah merembes masuk lewat celah jendela, bercampur dengan wangi kopi yang menghangatkan ruangan kecil mereka. Dari ketinggian apartemen itu, jalanan Surabaya terlihat hidup — mobil yang berlalu, motor yang menderu, dan payung-payung warna-warni bergerak seperti titik-titik kecil di bawah.
Liora menarik napas panjang, lalu tiba-tiba bersuara dengan nada yang kembali nakal.
“Ngomong-ngomong… Gue tuh masih kepikiran sama Pak Marvin tadi malam.”
Bulan menoleh, mengangkat alis tipis. “Kenapa lagi lo?”
“Dia tuh… dingin banget tapi keren. Tatapannya kayak—ya ampun, Bulan, kayak listrik. Kalau dia senyum dikit aja, jantung gue bisa langsung error 404.”
Bulan tertawa kecil, menutup mulutnya. “Lo tuh yaa, sumpah.”
Liora merengut manja. “Ya minimal gue jujur. Dan lo juga jelas banget, lho.”
“Jelas gimana?” tanya Bulan
“Keliatan, waktu Bhumi natap lo di stasiun.”
Ia menunjuk Bulan dengan telunjuknya. “Kalau Surabaya terasa adem waktu itu, gue yakin bukan gara-gara hujan. Tapi karena dua orang yang saling lihat liatan kayak slow motion drama Korea.”
“Li…” Nada Bulan lembut tapi mengandung peringatan.
“Oke, oke!” Liora mengangkat kedua tangan, menyerah pura-pura.
“Tapi gue serius, Bulan. Lo harus siap. Kadang bukan lo yang nyadar duluan… tapi orang itu.”
Ia mencondongkan badan sedikit, suaranya merendah. “Dan dari cara Bhumi ngeliat lo? Gue gak bakal kaget kalau dia yang ambil langkah pertama duluan, malah mungkin dia udah ngelakuin itu.”
Bulan terdiam. Ucapan Liora itu menggema lembut di kepalanya — menyatu dengan denyut hujan yang mengetuk kaca.
**
Langit Surabaya masih menyimpan sisa mendung sejak subuh, dan gedung Arjuno Grand Hotel berdiri megah di tengah lalu lintas yang padat. Di lantai dua puluh tujuh — ruang meeting utama milik Arjuno Group — udara terasa lebih dingin dari biasanya, mungkin karena AC yang terlalu kuat, atau karena ketegangan yang samar-samar menempel di ruangan.
Di ujung meja panjang kaca hitam, Bhumi Jayendra duduk dengan postur tegak sempurna. Setelan jasnya berwarna abu arang, kemeja putihnya nyaris tanpa kerutan. Dari jauh, dia tampak seperti sosok yang serius, presisi, dan berjarak — versi paling profesional dari seorang CEO yang terbiasa mengatur puluhan kepala dengan satu tatapan saja.
Namun pagi itu… sesuatu sedikit berbeda.
Arsen, asisten pribadinya yang duduk dua kursi di belakang, menatap bosnya dengan ekspresi sedikit bingung. Biasanya Bhumi tidak pernah muncul di rapat teknis semacam ini — apalagi rapat IT murni.
Tapi ketika ia melihat dua tamu dari PT Global Teknologi masuk ke ruangan, semua jadi masuk akal.
Rembulan Adreyna dan Liora Larasmita. Dua nama yang membuat suasana di ruang rapat tiba-tiba berubah… entah kenapa, jadi lebih hidup.
“Selamat pagi, semuanya.”
Suara Bulan terdengar tenang, tapi lembut. Ia berdiri di depan layar proyektor bersama Liora, menjelaskan rancangan new security layer untuk sistem database Arjuno Group. Gesturnya terukur, bahasanya lugas, tapi ekspresi matanya… fokus penuh.
Bhumi duduk di kursi tengah sisi kanan meja, pandangannya tertuju langsung ke layar — tapi setiap kali Bulan menjelaskan sesuatu, matanya sedikit bergeser. Bukan menatap layar, tapi menatap orangnya.
Bulan menyadari itu. Beberapa kali. Dan setiap kali Bhumi menatap, walau hanya sepersekian detik, Bulan seperti kehilangan urutan kata di kepala.
“Untuk enkripsi utama, kami gunakan dynamic algorithm lock yang bisa berubah sesuai pola ancaman,” ujarnya sambil menunjuk grafik di layar.
Bhumi mencondongkan tubuh sedikit ke depan, jemarinya mengetuk pelan meja kaca.
“Jadi pola proteksinya bisa adaptif tanpa harus di-reset?”
“Betul,” jawab Bulan cepat. “Sistemnya mempelajari perilaku ancaman, jadi tidak bergantung pada satu sumber data saja.”
Bhumi mengangguk, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi matanya… tidak. Mata itu berbicara sesuatu yang hanya Bulan yang menangkap — perhatian, rasa ingin tahu, dan sedikit kehangatan yang terlalu manusiawi untuk seorang Bhumi Jayendra.
Dari sisi meja, Liora mencatat sesuatu di tablet, tapi pikirannya jelas bukan di situ. Matanya bergantian menatap ke arah Bulan, lalu Bhumi.
‘Astaga,’ gumamnya dalam hati. ‘Dua orang paling dingin di ruangan ini ternyata bisa flirting pakai tatapan. Dan semua orang selain aku gak nyadar’
Suasana rapat berjalan seperti biasa: slide demi slide, laporan demi laporan. Tapi bagi Bulan, waktu terasa sedikit melambat setiap kali Bhumi bicara — suara beratnya, cara ia menyebut istilah teknis dengan nada yang stabil, dan… cara dia sesekali menatapnya saat diam.
Tidak terlalu lama, hanya cukup lama untuk membuat jantungnya kehilangan ritme.
Arsen yang duduk di belakang menatap layar laptopnya, tapi sudut matanya mengawasi bosnya dari refleksi kaca jendela. ‘Pak Bhumi ini kenapa? Biasanya rapat IT aja langsung suruh aku yang wakilin… Sekarang malah nyimak sampai detail begini?’
“Pak Bhumi,” panggil salah satu kepala tim IT. “Apakah sistem baru ini bisa langsung kami integrasikan minggu ini?”
Bhumi menatap pria itu sekilas, lalu berpindah ke Bulan. “Kalau dari pihak PT Global Teknologi sendiri, berapa estimasinya?”
Bulan menatapnya balik, sedikit gugup tapi berusaha tetap tenang. “Tiga hari. Kami bisa mulai integrasi malam ini.”
“Baik,” jawab Bhumi pelan. “Tiga hari, tapi pastikan tidak ada celah sama sekali. Saya gak mau kejadian kemarin terulang.”
Nada suaranya tenang, tapi nada itu punya bobot. Dan saat ia menyebut “kejadian kemarin”, tatapan mereka bertemu — hanya dua detik, tapi rasanya seperti ada arus listrik halus yang lewat di udara.
Liora, yang sadar betul akan momen itu, pura-pura batuk kecil sambil menatap catatannya.
‘Oke, itu bukan cuma gue yang ngerasa tegang barusan, kan?’
Rapat berlanjut sekitar empat puluh menit, sampai akhirnya semua anggota tim IT mulai berkemas.
Bulan dan Liora membereskan berkas serta tablet mereka.
“Terima kasih, Pak Bhumi, atas waktunya. Kami akan kirim laporan update sore ini,” ujar Liora ramah.
Bhumi hanya mengangguk, matanya sempat berhenti di Bulan yang sedang memasukkan laptop ke dalam tas.
Arsen memperhatikan diam-diam lagi.
‘Pak Bhumi, tolong deh… itu tatapan bukan tatapan kerja. Itu tatapan soft-launching flirting.’
Saat semua orang mulai keluar ruangan, Bhumi berdiri. “Rembulan.”
Bulan yang hampir mencapai pintu berhenti dan menoleh. “Ya?”
“Jangan pulang dulu. Ada yang mau saya bahas soal jalur koneksi data antar-server,” katanya datar — tapi dari cara Liora memutar mata, ia tahu itu cuma alasan yang sopan banget buat “ngobrol lebih lama.”
“Baik,” jawab Bulan pendek.
Liora mendekat, menepuk bahu sahabatnya pelan. “Aku tunggu di bawah, ya,” bisiknya dengan senyum menggoda. “Dan kalau aku balik ke kantor sendirian, tolong gak usah pura-pura kaget.”
Bulan hanya menatapnya sebal, tapi pipinya sudah memerah. Bhumi pura-pura gak dengar, tapi sudut bibirnya jelas sedikit naik.
Begitu pintu menutup dan ruangan kembali sepi, hanya tersisa dua orang itu. Hujan tipis di luar jendela gedung masih terdengar — samar, tapi cukup untuk mengisi jeda antara dua napas. Bhumi berdiri di sisi meja, menatap layar proyektor yang masih menampilkan diagram sistem.
“Maaf kalau aku terkesan terlalu detail waktu rapat tadi,” katanya pelan, tanpa menoleh.
“Tidak apa-apa,” jawab Bulan. “Itu bagian dari pekerjaan.”
“Profesional sekali,” gumam Bhumi, menoleh perlahan ke arahnya.
Bulan menatapnya, mencoba tersenyum. “Harus, dong. Kan namanya juga kerja.”
Bhumi tersenyum kecil — tipis, tapi ada sesuatu di matanya.
“Mungkin kamu bisa jaga sikap profesionalmu,” katanya pelan. “Tapi matamu… bohong.”
Bulan terdiam. Udara di antara mereka berubah — bukan panas, tapi cukup hangat untuk membuat napasnya sedikit tak beraturan. Ia menatap balik, mencoba membaca nada di balik kata-katanya.
“Mataku?”
Bhumi menatapnya lurus. “Mereka terlalu jujur.”
Hening sejenak. Hujan di luar makin deras, mengetuk kaca tinggi gedung dengan ritme yang lembut.
Bulan akhirnya menunduk sedikit, senyum kecil muncul di bibirnya. “Kalau begitu, kamu jangan lihat terlalu lama.”
Bhumi tersenyum samar. “Sulit.”
*
Suasana lantai dua puluh tujuh Arjuno Grand Hotel mulai sepi. Rapat sudah selesai, para staf sudah turun ke bawah, menyisakan hanya suara printer jarak jauh dan desiran pendingin ruangan yang halus. Di luar, hujan masih menitik lembut di dinding kaca yang membingkai pemandangan kota Surabaya dari ketinggian.
Rembulan berdiri di depan pintu kaca yang menuju balkon luar — sisi gedung yang biasanya hanya digunakan untuk coffee break sore. Udara yang masuk dari celah pintu terasa lembap dan dingin, membawa aroma khas hujan di atas beton.
Ia menatap langit abu-abu yang berat, lalu mengembuskan napas pelan. Kepalanya masih penuh dengan pikiran tentang rapat tadi — dan tentang kalimat Bhumi yang entah kenapa terus terulang di kepalanya.
“Profesional, tapi matamu bohong.”
Tangannya refleks menyentuh dada, mencoba menenangkan debar yang belum juga mereda.
Suara langkah pelan terdengar di belakang.
“Masih di sini,” suara berat Bhumi memecah keheningan.
Bulan menoleh cepat — refleks, seolah baru tertangkap sedang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. “Oh, iya. Aku cuma… mau lihat hujan sebentar.”
Bhumi mendekat pelan, langkahnya tenang tapi mantap. Ia berdiri di sebelahnya, menatap pemandangan kota yang diselimuti hujan. Lampu-lampu jalan memantul di genangan air, membuat dunia di bawah sana tampak seperti kanvas cahaya yang hidup.
“Udara di luar dingin,” katanya pelan. “Kamu gak kedinginan?”
Bulan menggeleng. “Enggak, kok.”
Tapi Bhumi tidak langsung percaya. Ia memperhatikan tangan Bulan yang diam-diam mulai menggigil halus — jarinya kaku, meski ia berusaha menahannya.
Tanpa banyak kata, Bhumi melepas jasnya. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Begitu Bulan sadar, jas abu arang itu sudah melingkari bahunya.
“Mas—”
“Diam.”
Suara itu lembut, tapi cukup untuk membuatnya berhenti bicara.
Bulan menatap ke depan, tapi detak jantungnya jelas terasa di telinga sendiri. Hangatnya jas itu tidak hanya dari kainnya — tapi dari wangi samar yang menempel di situ: campuran kayu, kopi, dan sesuatu yang lembut, khas Bhumi.
Bhumi berdiri di sampingnya, sedikit condong, tangan kirinya bertumpu di pagar balkon.
“Kalau kamu sakit, aku yang disalahin nanti,” katanya ringan, matanya tak lepas dari pemandangan kota.
Bulan tersenyum kecil. “Siapa yang nyalahin?”
“Liora,” jawab Bhumi cepat. “Dan mungkin separuh karyawan Global Teknologi.”
Bulan tertawa pelan, tapi matanya masih menatap lurus ke depan. “Ck, alasan kamu lebih terdengar kayak modus, tau gak?”
“Cuman sama kamu aja,” jawabnya pelan. Senyumnya tipis — bukan menyedihkan, tapi jujur.
Bulan menoleh sedikit, memperhatikannya. Angin sore membuat helai rambutnya bergerak, sebagian jatuh ke pipinya. Dari jarak sedekat itu, ia bisa melihat sisi lembut Bhumi yang jarang muncul — bukan CEO dingin dan tegas, tapi seseorang yang… perhatian dalam diam.
“Mas Bhumi,” panggilnya akhirnya.
“Hm?”
“Kamu selalu kayak gini ke semua orang?”
“Kayak gimana?”
“Kayak… bisa ngebaca situasi orang tanpa harus ngomong apa-apa.”
Bhumi berpaling sebentar, menatapnya — sorot matanya lembut, tapi juga dalam.
“Enggak. Gak semua orang.”
“Terus kenapa aku?”
Bhumi tersenyum samar. “Karena yang saya lihat cuman kamu.”
Hening. Suara hujan menjadi satu-satunya yang berani menyela percakapan mereka.
Bulan menunduk, memegang ujung jas di bahunya.
“Terima kasih,” ucapnya pelan.
“Untuk jasnya?”
Bulan menggeleng kecil. “Untuk semuanya. Untuk… bikin suasana kerja gak terasa kaku.”
Bhumi menatapnya sebentar, lalu berkata lembut, “Gak akan kaku kalau kamu ada di sana.”
Bulan terpaku. Pipinya memanas begitu cepat — seperti listrik halus yang menjalar dari tengkuk ke dada.
Ia mencoba menunduk, tapi senyum kecil sudah keburu terbit di wajahnya.
Bhumi menyadarinya, tapi tidak menambahkan apa-apa. Ia hanya berdiri diam di sampingnya, cukup dekat untuk mendengar napasnya, cukup jauh untuk tetap menjaga batas profesional. Namun di antara mereka, batas itu… mulai kabur pelan-pelan.
Angin malam kembali berembus, membawa sisa aroma hujan dan listrik dari gedung tinggi.
Bhumi menatap kota di bawah, lalu melirik sekilas ke arah Bulan yang kini memeluk jasnya lebih rapat.
“Udah, ayo masuk,” katanya akhirnya, suaranya lembut tapi tetap berwibawa. “Kalau sampai demam, aku yang repot.”
Bulan menoleh, matanya masih berkilau samar. “Kamu takut aku sakit?”
Bhumi menjawab tanpa berpikir panjang,
“Takut.”
Satu kata itu membuat udara di balkon seolah berhenti sesaat. Bulan terdiam, menatapnya lama. Lalu perlahan — dengan senyum kecil yang bergetar halus — ia menunduk, pipinya jelas mulai memerah.
**
tbc