Lucinda de Vries mengira acara wisudanya akan menjadi hari kebahagiaannya sebagai sarjana kedokteran akan tetapi semua berakhir bencana karena dia harus menggantikan kakak kandungnya sendiri yang melarikan diri dari acara pernikahannya.
Dan Lucinda harus mau menggantikan posisi kakak perempuannya itu sebagai pengantin pengganti.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Lucinda de Vries nantinya, bahagiakah dia ataukah dia harus menderita ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 SAPAAN DI AWAL PAGI HARI
Lucinda terbangun dari lelapnya tidur, dia terduduk termenung sembari menatap kosong.
Lama dia terpekur diam tanpa bersuara, hanya terdengar helaan nafasnya setiap kali dia bernafas.
Lucinda beringsut turun dari atas kasur kecil yang tersedia di kamar mewah ini.
Berjalan tanpa ekspresi ke arah kamar mandi yang tersedia di ruangan mewah itu.
Lucinda membasuh wajahnya dengan air lalu menyekanya dengan handuk kering kemudian menggosok giginya sembari menatap kosong ke arah cermin.
Air kran mengucur deras ketika dia melakukan kegiatan diawal paginya.
Wajanya tetap tenang namun tak ada emosi pada sorot matanya, semua berjalan datar seolah-olah kejadian kemarin tidak pernah terjadi dan Lucinda telah lupa.
Lucinda mulai mengisi air di dalam bak mandi, dan bersiap-siap untuk mandi.
Lagi-lagi tanpa ekspresi dia melakukannya dengan datar hingga rutinitas di awal pagi hari dia selesaikan.
Lucinda mengganti pakaiannya dengan pakaian casual agar terlihat santai.
Sejenak dia terdiam lalu memalingkan muka ke arah tempat pembaringan Kevin Jansen, dipandanginya tempat tidur itu datar.
Lucinda bergumam pelan tapi tidak bersuara kemudian dia duduk di sofa dengan tenang.
Semua terjadi dengan biasa, sepertinya Lucinda tidak mengingat apapun juga yang telah terjadi kemarin.
Pintu kamar dibuka dari luar, seorang pelayan masuk sembari membawa baki, dia mengangguk hormat pada Lucinda lalu meletakkan baki ke atas meja.
Tidak ada suara sapaan dari pelayan itu, setelah menaruh baki dia langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Pintu kamar kembali tertutup rapat, tinggal Lucinda duduk termenung di sofa.
Diliriknya meja didekatnya kemudian dia mengambil secangkir susu coklat dari atas baki.
Sarapan pagi, pikir Lucinda sembari mengunyah roti sandwichnya dengan lahap.
Semua kegiatan awal pagi, dikerjakannya dengan tenang, biasa saja dan terlihat normal.
Lucinda terdiam sejenak, mencoba mengatur nafasnya tetap tenang kemudian dia berjalan ke arah jendela kamar mewah itu dan membukanya.
"SREEE... !"
Jendela berlapis terbuka lebar, udara segar langsung berhembus masuk ke dalam ruangan kamar.
Angin menerpa wajah Lucinda yang bening serta memainkan helai-helai rambutnya yang basah oleh siraman air tadi.
Ujung bibirnya membentuk lengkungan tipis, dia tertawa pelan sembari meregangkan kedua tangannya.
"Hari yang cerah... !"
Lucinda menggerakkan badannya seperti melakukan sedikit gerakan senam.
"Ah, segarnya..."
Lucinda berseru lalu berdiri diam di dekat jendela berlapis serta membiarkan wajahnya terkena hembusan angin pagi.
"KRIEEET... !"
Pintu rahasia terbuka, terdengar suara langkah kaki masuk ke ruangan kamar mewah.
Namun Lucinda tetap tenang seakan-akan dia tidak mendengarkan suara-suara itu kemudian seseorang menyapanya ramah.
"Selamat pagi... !"
Lucinda berbalik lalu menjawab dengan ceria.
"Selamat pagi... !"
Senyumnya merekah manis di sudut bibirnya yang berwarna merah muda segar.
"Bagaimana harimu, nyonya Lucinda ?"
"Sangat baik, terimakasih sudah menanyakan kabarku".
Lucinda membalas sapaan itu dengan senyuman termanisnya.
"Pagi ini, suster perawat akan mengcheck kondisi Raden Kevin, anggap saja itu merupakan rutinitas sehari-hari dan nyonya tidak perlu merasa sungkan".
"Oh, ya, aku mengerti"
"Kalau begitu saya akan pergi karena harus melakukan pekerjaan lainnya, jika tidak ada lagi yang nyonya tanyakan maka saya akan segera pergi dari sini"
Lucinda menggeleng pelan sembari tersenyum manis.
"Tidak ada yang saya tanyakan, saya akan disini sampai suster perawat selesai"
"Baik, kalau tidak ada yang perlu ditanyakan lagi"
"Yah..."
Lucinda menyahut ramah seraya tersenyum lembut.
"Saya pamit pergi dulu, jika butuh sesuatu tinggal cari saya atau pelayan disini, nyonya"
"Ya, aku akan memperhatikan saranmu"
"Baiklah, saya pamit pergi, semoga hari anda menyenangkan, nyonya".
"Terimakasih..."
Panembahan Sugeng melirik hati-hati ke arah Lucinda de Vries sepertinya dia sedang mengawasi sikap Lucinda dengan cermat.
"Apa anda baik-baik saja, maksud saya, apakah anda tidak merasakan sesuatu ?"
"Yah, apa ?''
Lucinda menjawab dengan tenang, wajahnya datar tanpa emosi.
"Oh, tidak apa-apa, baiklah kalau begitu saya mohon permisi, mau melanjutkan pekerjaan lainnya".
"Oh, ya, baik, silahkan".
"Permisi..."
Sugeng berjalan ke arah pintu rahasia yang ada pada dinding kamar mewah ini.
"Tu-tunggu !"
Cegah Lucinda pada Sugeng sehingga panembahan itu menghentikan laju langkah kakinya.
Sugeng berbalik badan lalu berkata dengan nada menekan.
"Ya ?"
"Eh, ada yang terlupakan !"
"Oh, ya, nyonya... ?!"
"Tunggu sebentar, aku akan mengambilkannya untukmu, panembahan !"
Lucinda segera mendekati meja di dekat kasur kecil seraya mengangkat baki yang ada disana.
"Tolong titip baki ini, baru saja aku selesai sarapan pagi, aku tidak tahu harus kemana menyerahkan sisa sarapanku ini, jadi aku titip padamu, panembahan !"
Lucinda menyerahkan baki ditangannya kepada Sugeng. Dia tersenyum simpul sembari menatap lembut.
Namun Sugeng tersentak kaget ketika dia menerima baki sisa sarapan milik Lucinda karena dia sama sekali tak menyangka kalau Lucinda akan seberani bersikap seperti itu padanya.
Kening panembahan keraton Jawa itu mengerut rapat, dia terlihat waspada dengan perubahan sikap Lucinda, tapi tak ada yang bisa dia lakukan selain menerima baki tersebut.
"Ya, baik, nyonya, tidak masalah".
"Mohon maaf, dan sekali lagi aku ucapkan terimakasih padamu..."
"Ya, nyonya... ?!"
Sugeng mengangguk pelan namun sorot matanya tetap tajam menusuk dalam lantas Lucinda berkata kembali.
"Bukannya kau mau pergi ? Kenapa masih disini, panembahan ?"
"O, ah, iya, saya hampir lupa..."
Jawab Sugeng dengan tawa hambar seraya mendongak.
"Silahkan... !"
"Ya, baik..."
Lucinda berdiri sembari tersenyum lebar, sikapnya tetap tenang sedangkan Sugeng pamit pergi.
Tiba-tiba langkah kaki panembahan terhenti tepat di tengah-tengah jalan menuju pintu rahasia.
Sugeng memutar badannya hingga menghadap lurus ke arah Lucinda lalu berkata.
"Saya juga lupa menyampaikan sesuatu pada anda, nyonya..."
"Ya, apa itu ?"
Lucinda menjawab sembari menaikkan alisnya ke atas.
"Lainkali jika anda selesai sarapan atau makan siang, nyonya bisa mengembalikan baki bekas makanan anda ke dapur atau ke ruangan pantry di rumah ini"
Lucinda mengerling pelan seraya berpikir untuk menjawab.
"Tapi apa aku boleh keluar dari kamar ini ?"
"Oh, tentu saja boleh, kenapa tidak daripada nyonya hanya berdiam diri tanpa melakukan suatu pekerjaan penting, silahkan saja anda jalan-jalan seputaran didalam rumah ini sekedar melihat-lihat atau bersantai, diperbolehkan".
"Apa itu legal boleh kulakukan ?"
"Ya, tentu saja legal dan boleh, selama nyonya tidak pergi tanpa pamit maka semuanya dibolehkan, nyonya".
"Mmm..., baiklah, kalau begitu aku akan melakukan sesuai anjuranmu..."
"Baiklah, kalau anda mengerti maka saya bisa pergi sekarang"
"Silahkan... !"
"Terimakasih"
Sugeng tersenyum terpaksa sembari mengangkat baki bekas sarapan kepunyaan Lucinda lalu dia melanjutkan lagi langkah kakinya menuju ke pintu rahasia.
Tampak Lucinda terdiam tanpa menunjukkan suatu perasaan emosi dan hanya memandangi kepergian panembahan Sugeng dengan wajar.
Lucinda tak menoleh sedikitpun pada tempat pembaringan Kevin, dia bersikap dingin lalu duduk kembali di sofa.
"BRAAK... !"
Panembahan Sugeng meletakkan baki bekas makanan pagi milik Lucinda dengan dibanting keras ke atas meja setelah dia keluar dari kamar mewah dimana Raden Mas Ningrat Kevin berada disana.
"Dasar wanita sialan ! Lancang sekali dia menyuruhku membawa baki sisa makanannya, kurang ajar !"
Ucapnya kesal sembari mendengus emosi lalu membuang muka.
"Sudah tahu disuntik formalin baru kau diam, nyonya ! Ini masih permulaan buatmu karena berani mematikan lampu kamar tidur Raden, kau pikir kamera pengawas tidak tahu hal itu !"
Panembahan Sugeng berlalu pergi sembari berjalan dengan kepala agak terangkat ke atas melewati jalan koridor di area ruangan rumah mewah, kediaman Raden Mas Ningrat Kevin Jansen.