Kim Tae-min, seorang maniak game MMORPG, telah mencapai puncak kekuatan dalam dunia virtual dengan level maksimal 9999 dan perlengkapan legendaris. Namun, hidupnya di dunia nyata biasa saja sebagai pegawai kantoran. Ketika dunia tiba-tiba berubah akibat fenomena awakening, sebagian besar manusia memperoleh kekuatan supranatural. Tae-min yang mengalami awakening terlambat menemukan bahwa status, level, dan item dari game-nya tersinkronisasi dengan tubuhnya di dunia nyata, membuatnya menjadi makhluk yang overpower. Dengan status dewa dan kekuatan yang tersembunyi berkat Pendant of Concealment, Tae-min harus menyembunyikan kekuatannya dari dunia agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Di tengah kekacauan dan ancaman baru yang muncul, Tae-min dihadapkan pada pilihan sulit: bertindak untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran, atau terus hidup dalam bayang-bayang sebagai pegawai kantoran biasa. Sementara organisasi-organisasi kuat mulai bergerak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taman Hiburan Terbengkalai
Angin sore berembus, membawa aroma karat dan debu dari wahana-wahana tua di taman hiburan yang terbengkalai ini. Ji-Ah menggenggam tongkatnya erat-erat, sementara Min-Jae menghunus pedangnya dengan wajah waspada.
Aku, tentu saja, cuma bersandar santai di tiang berkarat sambil menguap lebar. "Kalian kenapa tegang banget sih? Ini cuma taman hiburan, bukan arena perang. Santai aja, siapa tahu penulis cuma mau kita liburan di sini."
Dae-Su mendesah, nggak menutupi kekhawatirannya. “Liburan ya liburan, tapi tempat ini kayak punya suasana yang... enggak enak.”
Aku menatapnya sambil menyeringai. “Yah, mungkin bener, mungkin enggak. Tapi kan, hidup butuh kejutan biar enggak gitu-gitu aja.”
Tiba-tiba, dari arah kincir ria yang udah berkarat, terdengar suara gemeretak. Roda besar itu mulai berputar pelan, nyala lampu redupnya bikin suasana makin mencekam.
Min-Jae melangkah mundur. “Perasaanku enggak enak.”
Aku mengangkat bahu, masih santai. “Tenang aja. Kalau ada yang mau muncul, kita sambut aja, ‘kan?”
Ji-Ah melirikku sambil menaikkan alis. “Sambut... apa maksudmu?”
Aku cuma menunjuk ke arah kincir ria yang berderit itu. Dari balik bayangan gelap, muncul sesosok makhluk raksasa, tingginya hampir dua kali lipat dari kami, penuh otot dan bekas luka yang disambung logam kayak patung hidup dari besi yang siap ngamuk.
“Wah, akhirnya keluar juga bos taman hiburannya,” aku menepuk tangan, nyengir lebar. “Oke, siapa duluan?”
Dae-Su melirikku sekilas. “Hey, nggak mau bantu, tuh?”
Aku mengangkat bahu sambil nyengir. “Kenapa buru-buru? Aku kan di sini buat nonton dulu. Ini acara seru kalian, aku cuma jadi cameo di pojoka,.”
Sementara itu, makhluk itu langsung melangkah maju dengan langkah berat, tubuhnya yang kokoh mengeluarkan suara gemeretak seperti pelat logam yang dipaksa bergerak. Mata merahnya menyala terang, penuh amarah yang siap meledak.
“Siap-siap, ini bakal jadi keras!”
Min-Jae maju lebih dulu, menghunus pedangnya yang berkilat dalam cahaya redup. Dia melompat, mengarahkan tebasan ke bagian bahu si makhluk itu. Namun, tebasan itu hanya menimbulkan percikan api kecil, tak cukup dalam untuk menembus lapisan logamnya.
Makhluk itu langsung membalas, mengayunkan lengan besarnya yang padat ke arah Min-Jae, memaksa dia mundur secepat mungkin.
"Astaga, tebal banget!" Min-Jae meringis sambil menyeka keringat. "Ini bukan manusia biasa."
“Kurasa itu jelas,” aku mencibir ringan, lalu melambaikan tangan. “Ayo, lanjutkan. Aku mau lihat aksi kalian.”
Ji-Ah, yang berdiri di belakang, sudah merapal mantra. “Ini pasti berhasil...” katanya, dengan tekad bulat.
Bola api berukuran besar tercipta di telapak tangannya, menyala dengan panas yang bisa aku rasakan meskipun berdiri jauh dari sana. Dengan satu gerakan, dia melepaskan bola api itu langsung ke kepala si makhluk itu.
Blaar! Ledakan itu mengguncang tanah, mengepulkan asap tebal di sekitar si makhluk itu.
Min-Jae mengangkat kepalan tangan, penuh antusias. “Yes! Kita berhasil!”
Tapi suara dentingan logam mengiringi kemunculan sosok besar itu dari balik asap, seakan ledakan itu cuma gigitan nyamuk baginya. Tubuhnya masih utuh, dan hanya ada sedikit goresan di lapisan besinya.
“Astaga…” Ji-Ah menelan ludah, sementara tangan kanannya gemetar.
Dae-Su maju, mengangkat pedang besar di kedua tangannya. “Baiklah. Kalau nggak bisa dilukai, kita tinggal mencari titik lemahnya.” Dia melompat ke depan, mengayunkan pedang dengan kedua tangan ke arah lutut makhluk itu, berharap menekuk sendinya.
Namun, makhluk itu seperti mengantisipasi serangan Dae-Su. Dengan kecepatan yang nggak sebanding dengan ukuran tubuhnya, ia menangkap pedang Dae-Su tepat di udara, lalu menekannya hingga bilah pedang itu terhimpit. Benturan keras terdengar, memaksa Dae-Su mundur sambil terhuyung.
“Gawat... bahkan kekuatan brute-force pun percuma,” gumam Dae-Su, napasnya mulai berat.
Aku hanya bersandar di tiang, berdecak sambil mengamati. “Tenang, masih banyak opsi, ‘kan? Atau sudah lelah?”
Ji-Ah menoleh, penuh kemarahan. “Kalau kau enggak membantu, setidaknya jangan mengejek!”
Aku hanya mengangkat tangan, mencoba tenang. “Baiklah, baiklah. Tapi jujur, kalau kalian lebih serius mungkin udah selesai dari tadi.”
Min-Jae menguatkan diri, kembali menyerang dengan gerakan cepat yang mencoba memotong sambungan di antara pelat logam makhluk itu. Namun, begitu pedangnya menyentuh pelat, makhluk itu berbalik dengan kecepatan kilat, menghantamkan lengannya ke Min-Jae dan membuatnya terpental ke belakang. Min-Jae terbanting ke tanah dengan keras, hampir saja pedangnya terlepas dari tangannya.
Ji-Ah mulai panik, tapi tetap mencoba meluncurkan beberapa mantra lain. Dia memanggil petir yang menembus udara dan menyambar tubuh logam makhluk itu. Sekali lagi, hanya percikan api yang muncul makhluk itu bahkan tampak semakin marah dan mulai bergerak lebih agresif.
Dae-Su, meski terluka, nggak mau menyerah. Dia bangkit, mengambil ancang-ancang untuk sekali lagi menghantam makhluk itu dari belakang. Tapi sebelum dia bisa menebaskan pedangnya, makhluk itu menoleh dengan sorot mata dingin, lalu menendang Dae-Su dengan kekuatan penuh. Tubuh Dae-Su melayang ke belakang, menabrak wahana permainan yang berkarat.
Aku cuma berdecak pelan. “Kalau begini terus, kapan aku bisa turun tangan, sih?”
“Ini… bukan saatnya bercanda!” Ji-Ah menjerit, wajahnya penuh kekhawatiran sambil melihat Dae-Su yang kesulitan bangkit. Min-Jae berusaha untuk berdiri lagi, tapi terlihat kelelahan, dan langkahnya mulai goyah.
Makhluk itu terus maju, setiap langkahnya menghancurkan sisa-sisa puing di bawahnya. Aku mengangkat bahu sambil menghela napas, seolah sedikit kecewa.
"Yah, oke... sepertinya udah waktunya aku turun tangan. Lagi pula, kasihan juga kalau kalian habis sebelum pertarungan sesungguhnya dimulai."
Mereka bertiga menatapku dengan pandangan penuh harap atau mungkin penuh amarah, susah juga melihatnya di tengah pertempuran. Tapi ya sudah, siapa suruh nggak langsung minta bantuan?
Aku mulai melangkah maju, sambil menggulung lengan bajuku sedikit.
“Bawaanku lagi bagus hari ini,” ujarku, masih dengan nada bercanda, “jadi aku kasih kalian pemandangan yang bagus. Siap-siap ya.”
Langkahku semakin mendekati makhluk logam raksasa itu. Bentuknya kokoh dan besar, jelas terlihat seperti penantang di pertarungan level elit. Tapi di mataku… ah, aku cuma melihat potongan besi yang sombong.
Min-Jae, Dae-Su, dan Ji-Ah tertatih-tatih berdiri di belakangku, napas mereka terdengar berat. Mereka memandangku penuh harap dan sedikit rasa dendam sepertinya.
Aku melambai santai. “Nonton yang tenang, ya. Awas nanti lupa tepuk tangan.”
Makhluk logam itu berderak, melangkah maju lagi dengan berat. Aku meliriknya, sengaja menganggukkan kepala penuh hinaan sambil memasang ekspresi datar.
“Hei, kalian tahu, dia ini kayaknya saudaraan deh sama rongsokan besi di bengkel kampung sebelah. Lihat, dari tatapan matanya aja udah kosong, kayak belum diisi bensin.”
Makhluk itu menggeram, seolah paham. Mata merahnya menyala terang, lalu dia mengayunkan lengannya yang keras ke arahku dengan kecepatan tinggi.
“Waduh! Pelan-pelan, Big Rusty,” ujarku sambil dengan santai miring sedikit, menghindari ayunan itu yang meleset di sebelah wajahku.
Dia tampak kesal kalau saja potongan logam bisa menunjukkan ekspresi. Aku mendongak ke arah wajah logamnya, lalu menyeringai penuh tantangan. “C’mon, aku tahu kalian mesin tua itu cepet rusak. Eh, atau mungkin lebih baik aku panggil kamu... ‘Kaleng Berjalan’? Gimana, lebih cocok?”
Kali ini, aku sengaja menunjukkan gestur come here dengan jari, jelas mengundangnya menyerang. Big Rusty (ya, aku panggil dia begitu sekarang) tampak tambah marah, lalu mengangkat tangannya tinggi dan menghempaskan satu kepalan logam itu ke tanah dengan kuat.
Aku dengan santai melompat mundur dan menepuk-nepuk tangan.
“Serius? Itu tadi usahamu? Kalau ini pertandingan UFC, kamu udah di-DQ, Bro! Timing-nya buruk banget!”
Aku berputar ke belakang, menatap Min-Jae, Dae-Su, dan Ji-Ah yang tampak terkejut. “Hey, ini kali terakhir kalian bakal nonton hal ini gratis, oke?”
Kembali ke Big Rusty, aku mengangkat tanganku, lalu dengan penuh sarkasme menunjukkan jempol, yang langsung berubah jadi jempol ke bawah.
“Nggak lolos, makhluk kaleng. Kamu cuma...”
Belum sempat aku selesai ngomong, Big Rusty mencoba menyerang lagi dengan kecepatan yang tiba-tiba bertambah. Ah, dia marah, rupanya. Tangannya melesat ke arahku, tapi kali ini aku sengaja menyambutnya dengan satu lengan, menahan pukulan itu tepat di tengah udara. Dengan sengaja, aku tersenyum sombong sambil menahan kekuatannya.
“Tenang… tenang aja, Besi Rongsok,” gumamku santai. “Nggak usah terburu-buru kayak mau belanja diskon di pasar.”
Satu tangan makhluk itu tertahan di tanganku, aku memiringkan wajah, menatap matanya yang merah. Kemudian, dengan kekuatan penuh, aku menarik tangannya ke arahku dan krek!
Terdengar suara logam yang patah saat aku memuntir tangannya, membuatnya berderak dan retak di sepanjang sambungan. Tangan kanannya yang besar dan kokoh itu aku putuskan, lalu aku kibaskan ke udara, menahan diri dari tawa.
“Huh, berat juga,” ujarku, lalu menepuk-nepuk tangan logam itu dengan santai. “Coba tebak, Big Rusty. Aku mau kasih kamu nama baru sekarang… Si Kepompong Pincang.”
Dia mengeluarkan suara bising, mencoba menyerangku lagi dengan tangan satunya yang tersisa. Aku mengelak lagi, lalu dengan cepat menyerang balik. Tinju logam yang dia lepaskan terbang tepat ke arahku, tapi aku menyambutnya dengan satu tangan, mematahkan pergelangan tangannya yang tersisa dengan gerakan cepat, lalu melayangkannya ke belakang.
Big Rusty kehilangan keseimbangan, tubuhnya yang berat sedikit miring ke samping. Aku menatapnya dengan penuh kebosanan, lalu berjalan ke arah tubuhnya yang roboh sedikit.
“Ya ampun, kamu beneran tipe yang lambat ya?” Aku mendengus, menatap wajah tanpa ekspresinya yang mulai memanas karena marah. Aku mengambil potongan logam kecil di lantai dan mengetuk-ngetukkan ke dadanya. “Eits, jangan berharap terlalu tinggi. Dengar, Besi Berjalan, kamu nggak lebih dari sekedar target latihan bagiku.”
Aku bergerak cepat, lalu memukul wajahnya dengan satu tangan sambil menahan tubuhnya agar tetap di posisi.
“Dan sekarang, aku bakal kirim kamu ke pengepul logam.”
Dua pukulan telak mendarat, menghancurkan sebagian wajahnya yang berlapis besi. Pecahan logam beterbangan, dan Big Rusty mulai goyah. Tubuhnya yang besar terlihat lebih rapuh.
Min-Jae dan yang lain tampak tercengang melihat pertarungan ini. Aku menoleh, melemparkan senyum nakal.
“Hey, bukannya aku suka pamer, tapi ini bakal jadi cerita yang bagus buat kalian nanti.”
Big Rusty mengeluarkan bunyi decitan terakhir, mencoba bergerak lagi, namun aku menghentikannya dengan cepat. Aku menarik salah satu kakinya dan krek! mencabutnya hingga lepas dari engsel. Makhluk itu akhirnya jatuh, nggak lagi bisa bergerak.
Aku melipat tangan, menatapnya dengan sorot mata puas.
“Begitu aja udah habis tenagamu, Big Rusty? Apa aku harus mulai manggil kamu ‘Scrap Metal’ sekarang?”
Terdengar suara desahan napas terakhir dari mesin itu, seakan bunyi akhir hidupnya. Aku menggelengkan kepala, merasa bosan.
“Jujur, ini nggak menghibur. Kalian yang lain, nggak usah khawatir… cukup kalian nonton dan ambil catatan, kali aja butuh tips.”
Aku melempar potongan terakhir dari makhluk itu ke tanah, lalu kembali menghampiri Min-Jae, Dae-Su, dan Ji-Ah. Mereka bertiga hanya bisa memandangku dengan sorot kagum yang disembunyikan oleh sedikit rasa tidak percaya.
“Udah selesai, ya?” tanyaku dengan ringan, mengibas-ngibaskan tanganku yang berlumur debu.
Ji-Ah akhirnya angkat bicara, tampak kehabisan kata-kata.
“K-kamu… benar-benar… tidak normal…”
Aku hanya tersenyum, memberikan anggukan penuh sarkasme.
“Well, apa yang kalian harapkan? Kalau aku normal, mana mungkin aku bakal ada di novel ini.”
dah gitu aja.
kecuali.
dia punya musuh tersembunyi. demi nemuin musuhnya ini dia tetep low profile gitu. atau di atas kekuatan dia masih ada lagi yang lebih kuat yang membuat dunianya berubah makannya untuk nemuin harus tetep low profile dan itu di jelasin di bab awal. jadi ada nilai jualnya.