NovelToon NovelToon
Eternal Fog

Eternal Fog

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Sci-Fi / spiritual / Sistem / Persahabatan
Popularitas:841
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Kabut berbahaya yang disebut dengan Eternal Fog kerap kali menyerang kota. Tingkatan berbahaya dan jenis yang ditimbulkan kabut tersebut berbeda-beda. Ada beberapa warna yang membedakan jenis-jenis kabut tersebut. Ada pun penyebab Eternal Fog adalah semburan napas dari monster yang disebut Strano dan menghuni area di luar kota yang disebut Danger Mori. Oleh karena itu, keamanan kota dijaga oleh para Occhio. Sebutan untuk para pembasmi Strano dan Eternal Fog.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 24 Sky Caprio

Kotak tipis pada genggaman Kama menunjukkan dua titik ketika lelaki itu mengaktifkan dua buah nama dan melacaknya. Lokasi Soren dan Cora diperkirakan tidak kurang dari ratusan kilometer. Namun itu sungguh membuat Dean ingin berjingkrak-jingkrak saking senangnya. Akan tetapi bukan Dean namanya jika bersikap seperti itu.

Tak lama, Kama kembali mematikan data untuk Soren dan Cora agar para pencari tidak menemukan lokasinya.

"Bagaimana kamu bisa memegang data seluruh occhio?"

Kama tersenyum. Di malam yang berbeda, Dean dan Kama seperti biasa duduk di teras. Malam itu tidak terlihat bintang-gemintang seperti beberapa malam yang lalu.

Kama menarik lengan Dean seraya menerobos kegelapan. Ia tak menjawab pertanyaan Dean. Kemudian muncul sebuah benda mirip selancar terbang. Ialah furaisafin.

"Furaisafin, menuju kota Cape Pond!" seru Kama.

"Hei, jawab aku! Kenapa alat itu ada padamu yang bahkan hanya occhio tertentu yang boleh memegangnya?" Dean terbakar amarah karena Kama tidak jua menjawab pertanyaannya.

Pemandangan kota yang indah terlihat di malam itu. Bahkan di tengah malam pun kota itu masih ramai oleh penduduk. Selama tiga bulan terakhir, Dena dan Kama sudah berkunjung ke banyak tempat wisata. Ciri khas kota misi mereka yang bernama Sky Caprio itu adalah bentuk bangunannya yang unik-unik karena di sana kotanya para seniman.

"Setidaknya kita harus menemukan Cora dan Soren dulu, Dean. Tahan dulu rasa penasaranmu."

Wajah Dean semakin memerah namun ia tak dapat memaksa Kama lebih jauh karena dengan mengetahui Kama sangat membantunya pun itu sudah cukup.

Kendaraan canggih berupa furaisafin itu bisa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat. Kota tujuan bernama Cape Pond yang berjarak sekitar tiga ratus kilometer pun ditempuh dalam waktu lima belas menit.

"Kota ini bahkan sangat jauh dibanding tempat mereka menjalankan misi waktu itu. Artinya, selama tiga bulan terakhir mereka selalu berjalan." Kama berkata.

Kota Cape Pond merupakan kota yang paling sedikit penduduknya. Lebih banyak teman wisata berupa taman bunga dan buah yang melimpah karena kesuburan tanahnya. Jika mencari toko bunga dan tumbuhan yang paling banyak jenisnya, maka kota Cape Pond adalah jawabannya.

Tapi itu adalah tengah malam. Sehingga tidak ada seorang pun yang terlihat di jalan raya. Hanya lampu-lampu yang menyinari. Memperlihatkan kesuburan kota itu.

Dua lelaki itu turun setelah memarkirkan furaisafin. Lantas duduk di bangku panjang depan sebuah toko bunga. Suara serangga berderik terdengar.

"Hei, kenapa kita duduk?" tanya Dean tidak sabar.

"Lantas, kau mau ke mana?" Kama balik bertanya.

Dean terdiam. Benar.

Kama terlihat mengaktifkan kembali data milik Soren dan Cora, "Kita harus menunggu petugas lengah agar tidak menyadari bahwa data Soren dan Cora telah aktif."

"Bukankah mereka sudah dinyatakan meninggal? Kenapa mereka masih mencarinya?"

"Soren dan Cora alat perang yang berharga, Dean. Walaupun dalam umum mereka mengumumkan demikian, tapi di balik semua itu mereka diam-diam tetap mencari."

Dean mengangguk. Tidak banyak berkomentar. Yang penting ia bisa segera bertemu dengan dua temannya itu.

"Jarak kita hanya sekitar sepuluh kilometer dari mereka."

"Kenapa tidak menghubungi mereka dengan gelas tipis?"

"Ayolah, Dean. Mereka sudah hilang selama tiga bulan. Tidak mungkin daya alat komunikasi mereka bisa bertahan selama itu."

"Terserah saja."

"Ayo, kembali ke furaisafin."

"Hah, lalu untuk apa kita turun?"

"Aku hanya ingin memijakkan kaki di kota ini."

☆☆☆

Lima belas occhio terpilih untuk lulus dari kelas A itu sudah selesai mengemas barang. Di sebuah kamar, hanya Ginela yang mau dipeluk oleh Shajar dan teman-temannya. Sedangkan Shiroi dianggap tidak ada di sana. Ginela tidak bisa memaksa teman-temannya untuk bersikap baik pada Shiroi, karena bagaimana pun ia mengerti bahwa mereka sedang kecewa berat. Apalagi setelah bertahun-tahun tidak jua keluar dari kelas pelatihan atau kelas A tersebut.

Dini hari, lima belas occhio terpilih diberangkatkan menuju kota tujuan masing-masing.

Ketika di lift, Ginela terus merangkul Shiroi untuk menenangkan dan menghiburnya bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di bawah, mereka berpamitan pada staff yang bertugas di lantai itu. Namun, ketika hendak ke luar mereka malah bertemu dengan Lais. Pria itu tersenyum miring di sana. Tiga belas occhio di belakang Shiroi dan Ginela turut menatap bingung.

"Selain Ginela dan Shiroi, silakan berangkat duluan. Kalian sudah tahu nama kota Masing-masing, 'kan?" Lais bertanya.

Tiga belas occhio itu mengangguk. Lantas keluar setelah berpamitan sopan dengan Lais.

"Aku akan ikut mengantar kalian," ucap Lais.

Ginela dan Shiroi saling pandang. Lais? Ikut mengantar? Padahal occhio lainnya hanya pergi sendiri tanpa ditemani occhio elit.

"Maaf, selama ini bersikap tak peduli terhadapmu Shiroi. Kamu bisa mengangkat kepala dan jangan menunduk seperti aku hendak memaki habis-habisan." Lais meminta.

Perlahan, kepala tertunduk Shiroi terangkat dan memberanikan diri untuk menghadap Lais. Wajah ramah terpancar. Sebenarnya, wajah Lais tidak kalah bersahabat dengan Sunniva. Hanya saja tertutup sikap tegasnya yang menghipnotis itu.

"Terima kasih, Senior Lais," ucap Shiroi.

"Ah, tidak perlu formal begitu. Kita tidak sedang dalam kegiatan di aula. Panggil saja Lais."

"Baik, Lais."

Ginela tersenyum ke arah Shiroi. Seperti berhasil meyakinkan Shiroi bahwa semuanya benar-benar baik saja. Hingga pada akhirnya mereka sampai di kota tujuan. Ialah kota para seniman itu. Kota Sky Caprio.

Awalnya, semua terlihat normal. Sembilan occhio ke luar dan menyambut Lais beserta dua occhio baru di kota itu. Ginela melambai ketika melihat Archie. Kesenangannya benar-benar bertambah setelah mengetahui tempat misinya sama dengan seniornya yang melatihnya kala itu. Dean juga ada di sana. Ia kembali ke kota Sky Caprio dua jam yang lalu, dan belum tidur sampai sekarang.

"Mana satu lagi?" tanya Lais karena melihat ada occhio yang kurang.

Semua terlihat melihat-lihat satu sama lain untuk mengetahui siapa yang tidak ada. Kama!

Tiba-tiba, Lais memejamkan mata. Menambah kebingungan pada semua occhio di sana. Bahkan Ginela sampai tidak terpikirkan untuk meletakkan barang bawaannya yang berat itu.

"Pagi yang indah sebelum mentari terbit, anak-anak." Lais berkata setelah membuka matanya.

Terdengar suara langkah dari arah dalam. Kama. Ia tersenyum kepada Lais. Kemudian berhenti di bingkai pintu.

"Aku sangat terhormat bisa mengenalmu selam ini, Senior Lais." Kama berkata.

Tanpa ampun, Lais menarik salah satu barang Ginela dan mengeluarkan sebuah pedang. Kemudian waktu seperti terhenti karena pergerakan Lais yang seperti menghipnotis itu seolah membuat orang-orang di sana kehilangan kesadaran sesaat. Sampai pada akhirnya mereka menyadari apa yang terjadi dalam beberapa detik

Kepala Kama menggelinding di antara para occhio Darah menggenangi lantai. Cepat sekali itu terjadi. Tanpa aba-aba apa pun. Mereka tidak sempat mencerna apa yang terjadi.

Jeritan histeris langsung terdengar nyaring.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!