Alma, Si anak baru di Sub Bagian SDM Rumah Sakit Harapan Hati mendadak terkenal di hari pertama masuk kerja. Alasannya yaitu wajahnya yang mirip dengan dr Ilman, Si tampan dari poli anak. Tidak hanya wajah, nama mereka juga mirip, Alma dan Ilman.
Gara-gara ini, banyak yang mengira bahwa keduanya adalah saudara, padahal bukan. Adik dr. Ilman yang sebenarnya juga bekerja di divisi yang sama dengan Alma. Tapi, karena suatu alasan, dia tidak mau mengakui bahwa Ilman adalah kakaknya sendiri.
...
"Saya izinkan kamu buat pamer kalau kita berdua bersaudara. Kalau bisa, puji saya tiap hari biar pekerjaan kamu makin gampang.” - Ilman -
“Hahaha... Dokter bercanda, ya?” - Alma -
“Saya serius. Sombongkan saja nama saya. Bukankah bagus kalau kamu jadi adik dari orang yang jenius dan ganteng seperti saya?”
Dih! Bisa ya, ada orang senarsis dan sesombong ini. Dokter pula. Pasiennya tidak apa-apa, tuh?
Tapi, anehnya Alma merasa pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eggpudding, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Diterima
Hani masih tertawa dan aku masih tersiksa gara-gara ocehan dr. Ilman yang menggelikan sekaligus menjijikan tadi.
Dokter ini kok bisa punya tingkah seajaib ini, sih? Dia benar-benar sudah mengubah persepsiku tentang dokter yang serba serius. Karena, ada juga dokter aneh bin ajaib macam dr. Ilman.
“Kayaknya cuma kamu yang berani teriakin Mas Ilman selain Ibuku. Cocok banget kalian! Hahahah!” celetuk si ngawur yang sepertinya belum ada tanda-tanda akan berhenti tertawa.
“Nah, kan! Dia itu memang cocok jadi adik kamu, Dek. Kan katanya kamu dari dulu pengin punya adik.” kata dr. Ilman sambil mengacungkan telunjuknya.
Duh, ingin kabur, tapi bagaimana caranya? dr. Ilman pasti psikopat. Masa dia bisa mengucapkan hal konyol sedari tadi tanpa tertawa.
“Mas, aku tuh lebih muda dua bulan dari Alma tahu!” sungut Hani.
“Oh, ya? Berarti dia kakak kamu sekarang, Han.”
“Ya, boleh lah. Punya kakak cewek kayaknya asik juga.”
Memangnya tadi aku sudah setuju untuk jadi saudara mereka? Kok seenaknya sekali!
Awalnya aku sempat ragu kalau mereka bersaudara. Tapi, sekarang aku sudah yakin kalau mereka berdua memang kakak-beradik. Soalnya, sama-sama aneh dan seenaknya.
“Aku gak mau jadi saudara kalian.” tegasku.
Akhirnya aku mendapatkan perhatian mereka berdua. Dokter Ilman menatapku dengan tatapan bingung, sementara Hani nampak kecewa dengan ucapanku.
“Kenapa?” tanya dr. Ilman.
Dari dulu aku sudah menolak mentah-mentah, sekarang malah tanya kenapa lagi.
“Satu, saya juga punya keluarga sendiri. Abang saya juga ganteng banget. Gak kalah sama dr. Ilman. Dua, saya gak punya alasan yang jelas buat jadi saudara kalian. Kalau kita udah kenal lama sih, mungkin saya mau-mau aja.” jelasku.
Keduanya mendengus secara bersamaan. Selama beberapa saat mereka terdiam membuatku merasa menang dalam perdebatan yang sudah berulang kali terjadi ini.
Namun, kemudian Hani bersuara, “Gimana kalau aku minta tolong? Soalnya, yang beneran butuh tuh sebenarnya aku.”
Hm… coba kudengarkan dulu deh, alasan sebenarnya.
“Kamu tahu kan, kalau kami itu anak dari yang punya RS Harapan Hati?”
Aku mengangguk.
“Nah, sebenarnya ini challenge dari Ibu dan Ayah. Mereka bilang bakal kasih aku salah satu bisnis mereka. Tapi, syaratnya aku harus bekerja di RS dengan usahaku sendiri selama setahun. Dan selama setahun itu, aku gak boleh ketahuan kalau aku anaknya Ayah.”
Ceritanya jadi mirip drama-drama. Tapi, melihat keseriusan di ekspresi Hani, sepertinya ini sungguhan.
“Emangnya harus aku banget ya?” selidikku.
Pokoknya jangan langsung percaya dulu. Ingat! Dua bersaudara ini jago bersilat lidah.
“Waktu wawancara, aku tuh sebenarnya udah bertekad kalau yang penting aku diam aja. Terus, aku lihat kamu yang mirip banget sama Mas Ilman. Rasanya tuh… wah!”
“Jadi, aku diterima karena wajahku mirip dr. Ilman maksudnya?” potongku.
“Nggak! Bukan! Aku tuh baru ketemu kamu pas hari pertama kita kerja. Ciyus!” sanggahnya.
Aku menatap Hani sinis.
“Terus, ada orang lain yang tahu gak kalau kamu itu adik dr. Ilman yang beneran?”
Hani kembali mengembangkan senyumnya. Aku yakin dalam senyumnya itu ada akal busuk yang dia sembunyikan. Dan benar saja, dia mengaku,
“dr. Dinda, Pak Surya, Pak Arif, sama Mbak Lia. Hehehe!”
Pantas saja tidak ada yang tahu kebenarannya, wong semua antek-antek SDM sudah bekerja sama!
“Gak ada lagi? dr. Hermawan misalnya?”
Hani menggelengkan kepalanya.
“Beliau itu gak terlalu ngurusin karyawan bawah kayak kita. Beliau juga gak kenal aku.”
Cerita Hani cukup meyakin kan sebetulnya. Dia sebagai anak orang berada harus belajar untuk masa depannya. Jadi, dia akan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Meski begitu, masih ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku.
“Kalau gitu, kenapa dia yang paling ngotot?”
Aku menunjuk pada dr. Ilman yang sedari tadi hanya mendengarkan. Dia nampak terkejut, namun masih diam saja seakan tengah berpikir.
Cih! Aku yakin dia tidak punya alasan khusus seperti Hani. Mungkin dia cuma ingin mengerjaiku, karena seru.
“Ng… Mas Ilman itu cuma bergerak atas kemauanku. Kan tadi aku udah bilang kalau dia itu sayaaang banget sama adiknya. Gitu kan, Mas?”
Cara Hani menjelaskan terlalu mencurigakan. Kalau memang itu alasan dr. Ilman, harusnya dia bisa menjelaskannya sendiri. Tapi, ini malah Hani yang bicara.
“Iya. Memang aku diminta sama Hani.” dr. Ilman membenarkan.
Mereka sepertinya masih berpikir kalau aku akan langsung percaya.
“Terus, kenapa gak ngomong ke aku dari awal, Han?”
“Kita kan gak begitu kenal waktu itu.” Hani minum sebentar, lalu lanjut berkata, “Terus, kukira kalau Mas Ilman yang ngomong kamu bakal langsung mau. Barangkali kamu langsung kepincut gitu. Hehehe!”
Hah!?
Ini penghinaan sekali. Dikiranya aku semudah itu tergoda dengan wajah tampan. Wajahnya saja semirip itu denganku, artinya dia masih berada di bawah Bang Salman yang gantengnya otherworldly banget.
“Jadi, gimana? Mau gak bantuin aku?” pinta Hani sungguh-sungguh.
Dia lalu lebih mendekat padaku dan menggenggam kedua tanganku erat-erat. Dengan mata yang berkaca-kaca, dia pun kembali memohon, “Mau ya? Aku bakal kasih apapun yang kamu mau, kalau kamu bersedia.”
“Sorry…” aku berniat untuk menolak, tapi kemudian Hani kembali berkata.
“Kamu tahu Indomich kan? Produk mi instant paling populer se-Indonesia dan Asia. Itu yang punya kakaknya Ibuku, loh. Aku bisa bantuin abang kamu dapetin projek iklan, sponsorship, atau semacamnya dari Indomich kalau kamu mau. Om Alif tuh sayang banget loh, sama aku! Pasti bisa langsung lolos.”
Aku ingat beberapa saat lalu Bang Salman sempat bilang kalau dia ingin banget disponsori produk makanan. Tapi, agensi dia cuma memberi dia sponsorship dari luxury brand.
“Beneran?”
Hani mengangguk mantap.
Bagaimana ini? Tawaran ini cukup menggiurkan. Tapi, harusnya aku tanya dulu ke Abang, sih.
Segera aku membuka ponselku, lalu menelfon Bang Salman. Ini masih sore, semoga saja dia bisa langsung menjawab panggilanku.
[Hallo, Dek! Gimana?] sapa Bang Salman begitu telfon tersambung.
“Bang, misalnya… tiba-tiba Abang dapat sponsor dari Indomich gimana?”
[Abang sih, bakal seneng banget. Kan kamu tahu, dari dulu Abang gak bisa hidup tanpa Indomich. Kenapa tiba-tiba tanya?]
“Gapapa, Bang. Tanya doang. Ya udah, ya. Aku tutup langsung.”
Setelah itu, aku langsung menutup sambungan telfon.
“Gimana?” tanya Hani penuh harap.
Tidak ada ruginya aku setuju dengan permintaan Hani dan dr. Ilman. Tapi, rasanya aku terlalu murahan kalau langsung setuju begitu dikasih iming-iming menggiurkan.
Ah, aku punya ide!
“Gini aja, aku gak akan bilang kalau kamu adiknya dr. Ilman.” putusku.
“Jadi, kamu setuju?”
Aku mengangguk pelan.
“YESS!” seru Hani sambil mengangkat kepalan tangannya.
Dia nampak begitu senang dengan keputusanku. Dokter Ilman juga ikut tersenyum lega. Semoga saja mereka tidak menyalahartikan keputusanku itu.