Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
“Christopher.”
Suara lembut Lusy terdengar saat memanggilnya, membuat pria itu menoleh cepat dengan wajah yang dipenuhi oleh rasa kekhawatiran.
“Ada apa? Apakah masih sakit?” tanya Christopher, matanya langsung tertuju pada tangan Lusy yang tampak memerah di dalam pelukannya.
Ia mengangkat tangan Lusy dengan hati-hati, lalu menatap kulit pucat itu seperti sesuatu yang amat berharga.
“Tanganmu masih merah…”
Lusy tersenyum tipis, mencoba meredakan kegelisahan pria yang ada di hadapannya.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya pelan. “Tapi… semua orang masih di sini dan menatap kita. Tidak baik jika kau terus memelukku seperti ini.”
Christopher terdiam sejenak, ia seolah enggan untuk melepaskan kehangatan yang ia berikan. Tetapi pada akhirnya ia mengangguk pelan, lalu melepaskan pelukannya dengan enggan.
“Baiklah,” katanya lembut. “Aku akan mengambilkan obat untukmu. Kau tunggu saja di sofa.”
Tanpa menunggu balasan, Christopher berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Lusy sendirian disana.
Begitu sosok Christopher menghilang di balik pintu, ekspresi Lusy langsung berubah. Senyum manisnya memudar, dan berganti dengan tatapan dingin dan penuh perhitungan. Ia berdiri, lalu melangkah cepat melewati tamu-tamu yang masih bergumam dalam ketegangan, menuju balkon di ujung aula.
Pintu kaca balkon terbuka perlahan.
Dari balik kegelapan, seorang pria berpakaian jas rapi muncul dan membungkuk dengan hormat.
“Nona,” sapa pria itu dengan suara rendah.
“Apa kau sudah melakukannya?” tanya Lusy tanpa berbasa-basi.
Pria itu mengangguk, lalu merogoh bagian dalam jasnya. Ia mengeluarkan sebuah kamera kecil, lalu menyerahkannya dengan kedua tangannya.
“Sesuai perintah Anda. Saya sudah merekam semuanya.”
Lusy meraih kamera itu dengan penuh kepuasan. Ia menyalakan layar kecil di samping perangkat tersebut dan memutar ulang cuplikan rekaman itu. Di dalam layar, terdengar suara Mia yang gemetar, terlihat ekspresi keterpurukannya, dan tatapan penuh kebencian dari para tamu.
Sempurna.
Kemudian Lusy tersenyum tipis, lalu sedetik kemudian menyeringai kecil.
“Aku akan mentransfer pembayaran yang sudah dijanjikan besok,” katanya tanpa menoleh. Matanya masih terpaku pada layar, menikmati setiap detik kehancuran Mia.
Perlahan, ia mematikan kamera itu lalu menyelipkannya ke dalam jasnya.
“Lee Mia…” bisiknya tajam, seolah nama itu adalah racun yang ingin ia ludahi.
“Kau pikir bisa seenaknya merebut segalanya dariku?” Ia melangkah maju, lalu berdiri di tepian balkon, matanya menatap langit malam yang gelap dan dingin.
“Aku akan menunjukkan padamu akibatnya jika kau berani bersaing denganku.”
Dan dengan itu, ia berbalik meninggalkan balkon. Langkahnya ringan, dan penuh percaya diri, seperti seorang pemenang yang baru saja mematahkan lawannya tanpa menyentuh satu jari pun.
Namun di balik kemenangan itu, ada sesuatu yang lebih mengerikan tersembunyi dalam senyumnya.
Sesuatu yang belum Mia ketahui tapi akan segera menghancurkan segalanya.
Di bawah balkon yang setengah tertutup tirai, Michael berdiri terpaku. Di tangannya, segelas anggur merah nyaris tumpah karena cengkeramannya yang mengencang. Tatapannya tertuju ke atas, ke arah balkon tempat Lusy barusan berbicara dengan seorang pria misterius. Kata-kata terakhir yang ia dengar masih terngiang-ngiang di telinganya.
'Lee Mia... Kau pikir bisa seenaknya merebut segalanya dariku?'
Michael bergumam pelan, “Jadi... Lusy... menjebak Mia?”
Ia menghela napas panjang, kepalanya sedikit tertunduk. “Aku tidak menyangka ini,” katanya lirih. “Kasihan sekali Mia...”
Namun sebelum ia sempat melanjutkan pikirannya, sebuah suara asing dan dingin berbisik tepat di belakang telinganya.
“Tuan, menguping bukanlah pekerjaan seorang pria sejati.”
Michael sontak terkejut. Kemudian ia berbalik dengan cepat dan—
BRUK!
Tubuhnya menabrak seseorang dengan cukup keras hingga gelas yang ada di tangannya hampir saja terjatuh.
“Aduh! Sakit…” Michael meringis sambil memegangi dahinya yang terbentur. Kepalanya menunduk sejenak sebelum ia menyadari ada retakan halus di kacamatanya. Wajahnya langsung memerah karena kesal.
“Kacamataku!” serunya, hampir setengah berteriak.
Di hadapannya, seorang pria berdiri tenang dengan senyuman kecil menghiasi wajahnya. Pria itu tampan, dengan aura santai yang terlihat begitu menyebalkan.
“Sungguh kebetulan sekali bertemu denganmu lagi,” ucap pria itu dengan nada ringan. Matanya menatap Michael seolah ia sedang menonton pertunjukan komedi.
Michael menyipitkan matanya, kemudian menatapnya tajam. “Kau memecahkan kacamataku! Aku akan membuatmu membayarnya!”
Namun alih-alih takut atau meminta maaf dengan sungguh-sungguh, pria itu malah mengangkat bahunya dengan santai. “Maafkan aku. Aku akan membelikanmu yang baru nanti.”
Nada suaranya terlalu ringan, seolah insiden tadi hanyalah percikan kecil di antara pesta megah malam ini. Bukannya meredakan amarah Michael, sikap tenang itu justru membuatnya semakin kesal.
Tanpa berpikir panjang, Michael melangkah mendekat dan—
BRAK!
Ia menginjak kaki pria itu dengan sengaja.
Namun yang membuat Michael semakin bingung, pria itu tidak mengeluh sedikit pun. Ia hanya berdiri dengan diam, dan menatap Michael dengan senyuman samar yang tetap terjaga di sudut bibirnya.
Michael tiba-tiba tersadar. Ia menarik kakinya mundur dengan perlahan. Apa yang sedang ia lakukan? Sikapnya barusan sungguh kekanak-kanakan. Ia mengerang dalam hati, lalu mengalihkan pandangannya dengan malu.
Tiba-tiba dari arah dalam rumah, terdengar suara seseorang telah memanggilnya.
“Michael!”
Kesempatan itu langsung ia gunakan. Tanpa menoleh ke belakang, Michael berbalik dan berjalan cepat menjauhi pria itu.
Pria itu adalah Jaeha, ia menatap kepergiannya dengan gelak tawa kecil yang tertahan. Kemudian ia mengangkat gelas anggurnya, lalu menyesapnya perlahan sambil menatap langit malam yang tenang.
“Ternyata malam ini lebih menyenangkan dari yang kukira,” gumamnya sambil tersenyum puas.
***
Mia berjalan sendirian menyusuri trotoar yang basah oleh hujan sore tadi. Langkahnya pelan dan goyah seperti tengah kehilangan arah. Rambut panjangnya terurai dengan berantakan, dan menutupi sebagian wajahnya yang tampak sembab. Mata itu... mata yang pernah bersinar cerah, kini redup dan penuh luka.
Mia mendongak ke langit, lalu menunduk kembali.
“Mengapa semuanya terasa begitu menyakitkan…?” bisiknya lirih.
Dadanya terasa sesak. Setiap helaan napasnya terasa seperti serpihan kaca yang menggores dari dalam.
“Chris… mengapa semuanya harus menjadi seperti ini…”
Tiba-tiba, dari seberang jalan, terdengar alunan melodi ceria yang dimainkan dari sebuah piano publik. Dua pelajar muda tertawa dengan lepas sambil memainkan nada-nada ringan, wajah mereka terlihat penuh dengan rasa kebahagiaan. Suara mereka menggema hingga ke tempat Mia berdiri. Ia tertegun.
Senyum itu dan suara tawa yang riang begitu mengingatkan Mia pada masa lalunya. Masa di mana segalanya terasa sederhana dan penuh warna.
Ia menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan isakan yang mulai pecah.
“Aku... merindukan hari-hari itu…” gumamnya pelan, seolah kata-kata itu dapat mengembalikan waktu.
Dengan gerakan pelan, Mia mengangkat tangannya dan melambaikan isyarat pada taksi yang melintas. Mobil berwarna kuning itu berhenti tepat di depannya. Sopir membuka jendela, menyapanya dengan ramah.
“Selamat malam, Nona. Mau ke mana?”
Mia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Tolong... antarkan saya ke bar terdekat.”
Sopir itu menoleh sebentar, lalu tersenyum sopan. “Baik. Saya tahu satu tempat yang cukup populer. Suasananya sangat nyaman, dan tidak terlalu ramai.”
Tanpa berkata, Mia mengangguk dan masuk ke dalam mobil.
***
Pintu bar terbuka perlahan, Mia berdiri sebentar di ambang pintu, pandangannya menyapu ke seluruh ruangan, memperhatikan interior yang hangat dan elegan. Lampu-lampu kecil bergelantungan di langit-langit, menciptakan cahaya redup yang menenangkan. Aroma kayu dan anggur merah menyambutnya, begitu pula musik lembut yang mengalun dari pengeras suara, memenuhi ruang dengan suasana melankolis.
“Tempat ini… sepertinya pernah kukunjungi sebelumnya,” bisiknya, namun ingatan itu sangat samar, tertutup oleh kabut emosi yang masih menyesakkan.
Ia melangkah menuju meja di sudut, lalu duduk dengan pelan. Kemudian seorang pelayan bar mendekat, lalu membungkuk ringan.
“Selamat malam, Nona. Ada yang bisa saya bantu?”
Mia mengangkat wajahnya yang lelah. “Satu gelas anggur merah, tolong.”
Pelayan itu mengangguk, lalu berlalu pergi.
Waktu telah berlalu, ditemani dengan gelas demi gelas anggur yang perlahan menghangatkan tubuhnya, tetapi tidak menyentuh hatinya yang kini telah membeku. Mia duduk terpaku di kursinya. Satu tangannya menopang kepalanya, sementara mata itu, mata yang dulu menyimpan banyak harapan, kini setengah terpejam, nyaris tak sanggup lagi menahan beratnya dunia.
Lagu melankolis terus mengalun dari pengeras suara, seakan mencerminkan isi hatinya.
“Dunia ini memang sangat kejam…” ucapnya lirih, hampir terdengar tanpa suara.
Ia memejamkan mata, merasakan nyeri itu menusuk kembali. “Selalu mengambil hal-hal yang paling aku jaga…”
Tangannya yang gemetar mengangkat gelas yang tersisa setengah isinya. Dengan satu gerakan, ia menenggaknya dengan habis. Cairan pahit itu mengalir deras di tenggorokannya, seakan membawa pergi semua kesedihan yang belum sempat ia ungkapkan.
Daniel melangkah masuk ke dalam bar, membiarkan matanya menyesuaikan dengan pencahayaan hangat dan remang. Hiruk-pikuk suara gelas dan musik lembut di latar belakang tidak dapat menyamarkan pandangannya yang langsung tertuju pada sosok seorang wanita yang duduk sendirian di sudut ruangan.
Lalu matanya membelalak.
"...Mia?" bisiknya, hampir tidak percaya.
Ia mengucek matanya guna memastikan penglihatannya tidak salah lihat. Tetapi sosok itu tidak berubah, bahkan dengan rambut acak dan mata sembabnya, ia tetap mengenali wanita itu. Dengan langkah tergesa, Daniel mendekat ke meja tempat Mia duduk.
"Kelinci kecil? Kenapa kau berada di sini?"
Mia menoleh pelan. Sorot matanya buram, diliputi kabut anggur merah dan kesedihan yang tidak mampu disembunyikan. Ia mengangkat gelasnya dan menunjuk ke arah Daniel dengan gerakan lemah.
"Kita bertemu lagi... Kebetulan macam apa ini..." gumamnya. "Mengapa kita selalu bertemu di waktu yang aneh seperti ini..."
Daniel segera duduk di sampingnya, ekspresinya penuh dengan rasa kecemasan.
"Kau mabuk? Apa yang terjadi, Mia?"
Mia tertawa pahit, lalu mengalihkan pandangannya ke arah gelas di tangannya.
"Semua orang telah meninggalkanku, Daniel... Aku hanya ingin melupakan semuanya, walaupun hanya sebentar."
Melihat kondisinya yang semakin tak terkontrol, Daniel dengan sigap mengambil gelas dari tangan Mia.
"Sudah cukup. Jangan minum lagi. Tubuhmu tidak akan kuat."
Mia menatapnya, kesal namun lemah. Ia mengerucutkan bibirnya dan mencibir.
"Ish... Jangan-jangan kau mengikutiku, ya? Kebetulan yang terlalu sering seperti ini... Aneh. Huh, menyebalkan."
Daniel segera menggeleng cepat, mencoba menjelaskan sebelum kesalahpahaman itu membesar.
"Bukan seperti itu! Bar ini milik temanku. Biasanya aku tidak datang ke sini. Tetapi hari ini istrinya sedang berulang tahun. Ia memintaku untuk menjaga tempat ini sementara waktu."
Mia mengangguk kecil, seolah mencoba mencerna penjelasan itu, meski pikirannya tampak jauh melayang. Dia teringat kembali pada acara ulang tahun Christopher.
Sunyi menyelimuti mereka sejenak. Hanya suara lembut musik yang terdengar samar, menyapu perasaan hampa di antara keduanya.
Daniel akhirnya bersuara.
"Aku akan mengantarmu pulang. Kau tidak bisa berada di tempat seperti ini terlalu lama."
Mia menunduk, "Kalau saja... aku bisa memutar ulang waktu... Aku ingin kembali ke masa saat Christopher tersenyum padaku... tanpa berpura-pura seperti tadi..." suaranya pelan dan terdengar pecah.
Daniel nyaris tak bisa menelan kata-katanya sendiri, hatinya mencelos.
"Mia..." panggilnya pelan.
Tiba-tiba, Mia bangkit dari duduknya.
"Aku seharusnya menemaninya di hari ulang tahunnya… Kalau tidak…" bisiknya penuh penyesalan.
Ia hendak melangkah maju, namun tubuhnya kehilangan keseimbangan.
"Mia! Hati-hati!" Daniel langsung menyambar tubuhnya, menangkapnya sebelum Mia jatuh menghantam lantai.
Mia meronta dengan lemah namun keras kepala.
"Lepaskan... Aku harus kembali... Aku harus ada di sana... Jika tidak... dia akan marah padaku..."
Daniel menggenggam pundaknya dengan kedua tangan.
"Tenanglah dulu... Siapa yang kamu maksud, Mia?"
Dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar, Mia menjawab, "Christopher... Hari ini ulang tahunnya... Aku harus berada di sampingnya..."
Ucapan itu membuat napas Daniel tertahan. Tatapannya menunduk, suara hatinya seakan tercekik oleh kenyataan yang baru saja ia dengar.
"Jadi... hari ini adalah ulang tahun Christopher..."
Ia melepaskan pelukan itu pelan-pelan, membiarkan Mia mengambil langkah mundur. Namun sebelum sempat berkata lebih jauh, Mia menggertakkan giginya, dan wajahnya berubah pucat seketika.
"A—ahh..."
Ia membungkuk, dan memegangi perutnya, tubuhnya gemetar hebat.
"Mia?!" Daniel panik. "Ada apa?! Wajahmu sangat pucat!"
Mia membuka mulutnya dan mencoba untuk mengucapkan sesuatu, namun hanya satu kata yang meluncur lemah dari bibirnya.
"Sakit..."
Tanpa ragu, Daniel segera mengangkat tubuhnya dalam pelukan.
"Jangan bicara apa pun! Bertahanlah! Aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang juga!"
Langkahnya tergesa menuju pintu bar.
"Panggilkan ambulans! Sekarang juga!" serunya pada staff bar yang langsung terlonjak kaget.
"Baik, Bos! Saya segera menelepon!" jawab staf itu sambil meraih telepon dengan tangan yang gemetar.
.
.
.
.
.
.
.
- 𝐓𝐁𝐂 -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah