Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Bulan Dikekang Malam
"Ma-aaaas Yudha ...." teriak Lengkara terputus-putus, napasnya terdengar sangat sulit dan sejak tadi tidak berhenti memukul dadanya. Mirisnya, Yudha hanya bisa menatap tanpa bisa bangkit.
Selemah itu Yudha sekarang, bukan tidak ingin merengkuh tubuh Lengkara yang kini seolah tanpa tenaga, tapi dia tidak mampu. Yudha juga tersiksa melihat jerit tangisnya, dia tidak tega. Histerisnya Lengkara sama persis seperti Bima sewaktu pertama kali mengetahui keadaannya.
"Kara ...."
Hanya itu yang lolos dari bibir Yudha, jangan ditanya bagaimana perihnya ketika melihat wanita yang dia cintai meraung dan berusaha meraihnya, jelas sakit luar biasa.
Ingin sekali dia meminta Lengkara berhenti menangis, semua itu hanya membuatnya semakin sakit. Lengkara yang tadinya bersimpuh, kini berusaha meraih jemari Yudha. Dia tidak sekuat itu untuk memeluk dan memilih menangis di pangkuan Yudha.
"Maafkan aku, Lengkara."
Yudha tidak pernah melihatnya sekacau hari ini. Memang dia cengeng dan kerap menjadikan tangis sebagai cara untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk yang kali ini berbeda.
"Jangan seperti ini, Ra ... mas tidak bermaksud membuatmu menangis," tutur Yudha perlahan menarik Lengkara agar berhenti tenggelam dalam pangkuannya, napas wanita itu yang dia khawatirkan.
"Ja-hat," ungkap Lengkara terbata-bata kala menatap mata sendu Yudha, jika ditanya hari terberat Lengkara kapan, mungkin hari ini.
"Hm, mas jahat memang ... kenapa bisa kesini? Sendirian? Izin sama suamimu belum?" tanya Yudha tersenyum getir seraya menyeka air mata Lengkara begitu lembut.
Bukannya menjawab, Lengkara justru semakin menangis. Tidak peduli sekalipun riasan di wajahnya kini luntur, yang jelas Lengkara benar-benar butuh meluapkan kekecewaannya.
Dia tidak lagi punya tenaga untuk marah, untuk bertanya ini dan itu karena memang sudah lelah. Hanya air mata, begitu saja yang bisa dia lakukan. Pertanyaan Yudha yang justru peduli soal suami membuat hati Lengkara tergores.
"Menangislah, tapi setelah ini sudah ... nanti kepalamu sakit, Ra," ungkap Yudha tanpa meninggi, walau jujur saja dia benar-benar ingin memaksa Lengkara untuk berhenti.
"Mas kenapa? Apa sudah tidak mencintaiku lagi? Janji-janjimu yang dulu kemana, Mas?" Suaranya mulai serak, kepala Lengkara sejak tadi sudah sangat sakit sebenarnya.
"Maaf, mas tidak bisa menepati janji-janji itu, Ra."
Dia tidak lagi memanggil Sayang setiap kalimatnya. Meski masih sama lembutnya, tapi Lengkara Yudha berbeda. Pria itu menghela napas kasar, dia meminta Lengkara untuk sedikit lebih tenang.
"Tenang? Bagaimana aku bisa tenang, Mas? Mas membuangku," pekik Lengkara masih sesenggukan dan air mata yang jua berhenti berderai di sana.
"Tidak, Lengkara ... sama sekali tid_"
"Tidak? Lalu yang Mas lakukan apa? Apa kamu pikir aku sebodoh itu? Sekecil itukah arti aku di sisimu sampai menyeret semua orang untuk membohongiku?"
"Tidak, Kara!! Mas begini karena kamu berarti bahkan kedudukanmu melebihi diriku sendiri!! Aku mencintaimu, sangat!! Tapi realistis saja, aku tidak bisa menepati janjiku padamu, Ra."
"Tidak bisa menepati janji lalu menyeret adikmu dalam hubungan kita ... meminta papa dan yang lain ikut menutup mataku dengan harapan aku akan utuh? Begitu, Mas?"
Kekesalan yang kemarin tertahan meledak juga pada akhirnya usai mendengar jawaban Yudha. Dia marah, rasanya lebih marah dari ini tidak ada. Keputusan sepihak yang Yudha pilih dan menyeret dirinya membuat Lengkara seakan ingin gila.
"Hm, aku terpaksa ... hanya Bima yang pantas dan bisa kupercaya."
"Hebat sekali, Mas memutuskan sesuatu tanpa berpikir bagaimana perasaanku? Mas tahu ... dengan cara yang begini tidak akan berhasil membuatku utuh, tapi hancur," lirih Lengkara melemah, terlalu dipaksakan berteriak membuat kepalanya terasa berat.
"Egois kamu, Mas," tambahnya kembali mencebik, fakta bahwa dia memang tidak bisa marah. Baru saja meluapkan amarah, kini sudah kembali melemah.
"Sini kamu dengarkan mas ... untuk saat ini mungkin terasa egois, kamu boleh marah dan mas akan terima. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu hidupmu masih panjang, mas tidak ingin mengekangmu dalam tangis yang pada akhirnya akan menyiksa diri sendiri."
"Kita tidak mungkin bersama, Ra ... mas tidak sempurna, apa yang kamu harapkan dari laki-laki sepertiku."
"Mas hanya lumpuh, bukan mati," celetuk Lengkara menatap tajam Yudha usai mengungkapkan kalimat itu, bahkan ketika sudah berada di hadapannya, Yudha tetap egois juga.
"Sebulan dua bulan kamu mungkin bisa menerima, tapi jika sampai mati mas begini bagaimana?Jangan menyiksa diri Lengkara, mas tidak menginginkan hal itu terjadi ... mas tidak tahu kapan bisa pulih, jalani saja takdir yang sudah ada."
"Aku tetap mau," sahut Lengkara menyeka air matanya kasar, seumur hidup mungkin hanya Yudha yang membuatnya rela mengemis demi bisa bersama.
"Mas yang tidak mau, Lengkara," tutur Yudha kemudian menghela napas panjang, pertemuan tak terduga ini benar-benar membuat hatinya terguncang, agaknya Bima gagal dan lengah ketika berada di sisi Kara.
"Tidak mau?" tanya Lengkara seolah tak percaya, ini bukan penolakan pertama, tapi di awal mereka pacaran juga Yudha sempat menolaknya.
Dalam keheningan Lengkara masih menunggu jawaban Yudha, dia tidak lagi menangis usai meluapkan semua kekesalan dan kekesalan dalam benaknya. Tanpa mereka ketahui, jika di luar kamar terhadap hati yang ikut merasakan sakit mendengar pertemuan mereka.
"Bima ... ini kotak bekalnya, baru ketemu," ucap ibunya menyerahkan benda itu pada Bima, mata sayu itu tampak paham apa yang tengah terjadi hingga sang ibu hanya mengelus pundak Bima perlahan.
"Hadapi, kamu juga bertanggung jawab dalam masalah ini, Nak."
"Diammu benar-benar menghanyutkanku, Lengkara," batin Bima memejamkan mata dan memijit pangkal hidungnya. Berawal dari kecurigaan Bima pada mobil yang parkir tidak jauh dari rumahnya, Bima memilih kembali dan firasat pria itu benar adanya, Lengkara memang sudah mengambil langkah tanpa dia duga.
.
.
- To Be Continued -