Giselle mengira menikah dengan Gibran adalah pilihan terbaik dalam hidupnya. Sosok pria yang mau menerima kekurangannya dan melengkapinya. Akan tetapi, semua angan dan impian Giselle berubah menjadi pahit, ketika dia tinggal satu atap dengan mertuanya.
"Jadi wanita bisanya cuma bekerja, gak tahu dapur, gak tahu kerjaan rumah tangga. Sudah begitu, kamu menikah lama dan tidak memiliki anak. Jangan-jangan kamu mandul, Sell?"
Perkataan pedas, tudingan miring, ditambah dengan ketidakberdayaan Gibran kian menambah runyam suasana. Dapatkah Giselle bertahan dengan konflik batin yang dia alami setiap harinya? Akankah pondok mertua yang tak indah ini perlahan-lahan menjadi rumah yang bisa menerimanya dan memanusiakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Pramudya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Orang Tua Giselle ke Bandung
Hari ini ada yang berbeda dengan keluarga Winantha karena hari ini keluarga Wardhana yang sedang mendapatkan proyek bisnis di Bandung menyempatkan diri untuk mampir ke rumah besannya. Sekaligus mengunjungi Giselle. Walau jarak dari Bandung ke Jakarta tidak begitu jauh, tapi karena kesibukan sendiri-sendiri Giselle dan Gibran juga jarang ke Jakarta.
Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu, jadi Giselle dan Gibran tidak perlu izin dari tempat bekerjanya. Kendati demikian Giselle sudah berusaha memasak kesukaan Mama dan Papanya. Sembari berharap bahwa ibu mertuanya kali ini tidak terlalu judes dengannya.
Melihat aneka olahan seafood yang dimasak Giselle, Bu Rosa pun mengamati semua menu itu. Lantas berbicara dengan nada bicara yang terdengar begitu judes.
"Oh, jadi orang kaya itu sukanya makanan seperti ini. Gak suka dengan Sayur Terong atau Sayur Asem," ucap Bu Rosa.
Jika ibu mertuanya sudah membuka mulutnya dan bersuara, seakan Giselle enggan untuk bisa memberikan respons dan jawaban. Namun, jika hanya diam juga itu akan membuat Giselle menjadi tidak sopan kepada ibu mertuanya.
"Giselle hanya memasak yang Mama dan Papa sukai, Bu," balasnya.
"Udang Balado, Cumi Goreng Tepung, Ikan Asam Manis. Semuanya yang serba mahal," balas Bu Rosa.
Sebenarnya memang harga boga bahari lebih mahal itu karena protein tinggi yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, niat hati Giselle memang hanya untuk memasakkan apa yang disukai orang tuanya saja. Tidak ada niat apa pun. Lagipula, semua bahan Giselle beli sendiri dengan uangnya, tidak mengganggu jatah bulanan yang selalu dia berikan untuk Ibu mertuanya.
"Ada tempe goreng dan Kangkung juga yang murah kok, Bu. Tidak melulu semua yang mahal," balas Giselle.
Bagaimana pun Giselle juga ingin menunjukkan bahwa keluarga kaya pun juga mau dengan Tempe dan Sayur Kangkung. Tidak melulu yang mahal. Sampai akhirnya menjelang makan siang keluarga dari Jakarta pun tiba.
Bu Rosa turut menyambut besannya. Sungguh, Bu Rosa benar-benar bermuka dua. Tadi dia memarahi Giselle dan menyudutkan bahwa keluarga kaya hanya mau olahan seafood. Namun, sekarang Bu Rosa yang paling bersemangat untuk menyambut besannya dari Jakarta. Mama Diana, Papa Jaya Wardhana, dan Kanaya yang datang ke Bandung siang itu.
"Assalamualaikum Ibu Winantha," sapa Mama Diana dengan lembut begitu memasuki rumah besannya itu.
"Waalaikumsalam, mari silakan masuk," balas Bu Rosa.
"Sehat kan, Bu?" tanya Mama Diana lagi.
"Alhamdulillah sehat," balas Bu Rosa.
Sampai akhirnya Giselle begitu senang dan terharu bisa memeluk Mama dan Papanya. Ada juga Kanaya, sosok wanita hebat yang dulu adalah menantu keluarga Wardhana, tapi hanya mampu menjalani pernikahannya selama dua bulan saja, setelah itu Kanaya memutuskan bercerai dari kakak kandung Giselle yang bernama Darren. Kanaya sendiri sekarang sudah hidup bahagia bersama suaminya yang bernama Bisma, yang berprofesi sebagai Dokter Spesialis Anak.
"Sehat, Sell?" sapa Kanaya dengan memeluk Giselle yang sudah dia anggap sebagai adik sendiri.
"Sehat, Mbak ... sendirian, Mas Bisma tidak ikut?" tanya Giselle.
"Mas Bisma ikut, siang ini baru berangkat dari Jakarta," balas Kanaya.
Kanaya pun sangat senang karena Giselle berhasil menurunkan berat badannya. Sekarang, adiknya itu sudah kelihatan kurus. "Jadi, tambah cantik loh sekarang ... turun berapa kilogram nih?" tanya Kanaya sembari berbisik kepada Giselle.
"Total sih sudah 25 kilogram, Mbak ..., tapi masih pengen lima kilogram lagi," balas Giselle.
"Semangat yah kalau ada niat pasti bisa," ucap Kanaya. Itu juga karena dulu Kanaya juga memiliki berat badan yang besar. Dia berhasil menurunkan berat badannya, sekarang bertransformasi menjadi wanita yang cantik dan memiliki tubuh proporsional.
Keluarga Wardhana datang kala itu bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan membawa oleh-oleh untuk Bu Rosa. Terlebih Kanaya yang membawakan banyak kue dari Jakarta. Mendapatkan banyak kue dari Jakarta yang pastinya enak dan mahal, Bu Rosa tampak senang. Oleh karena itulah, dia menanggapi dengan baik kehadiran keluarga besannya.
Kini, semuanya makan siang bersama. Tentu Mama Diana dan Papa Jaya sangat senang karena semua masakan di sana adalah kesukaan mereka. Seolah penawar rindu karena begitu lama tidak bertemu.
"Kerjaan lancar, Bran?" tanya Papa Jaya kepada menantunya.
"Lumayan, Papa. Asalkan mau bekerja keras, lama-lama akan kelihatan hasilnya," balas Gibran.
Papa Jaya merespons dengan tersenyum dan menganggukkan kepala. Menantunya itu memang sosok bekerja keras, walau memang harus meniti karir dari bawah. Namun, itu adalah nilai positif dari Gibran, dia adalah seorang yang menikmati proses.
"Kalau kamu sudah siap, nanti bisa membantu Mbak Naya di Jaya Corps," ucap Papa Jaya.
Bu Rosa yang tidak begitu tahu dengan perusahaan, tapi dia tahu bahwa Jaya Corps adalah perusahaan besar. Oleh karena itu, jika bisa bekerja di Jaya Corps pastilah akan mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar.
"Boleh dicoba itu Gibran ... kapan lagi bisa meningkatkan karir," sahut Bu Rosa.
"Benar, Gibran. Lagipula, kamu lulusan luar negeri. Dari Singapura. Bisa untuk meningkatkan karir," balas Papa Jaya.
Namun, bagaimana pun Gibran adalah Gibran. Dia lebih suka tantangan dan berproses dengan sendirinya. "Maaf, Papa ... tapi sekarang belum, tapi di lain waktu," balas Gibran.
"Baiklah, tapi jangan sungkan ya, Gibran. Menantu kan juga anak Papa sendiri. Kamu sama seperti Giselle untuk kami, anak laki-laki di rumah menantunya."
Mendengar ucapan dari Papa Jaya, Giselle tersenyum. Keluarganya bisa memperlakukan menantu seperti anak sendiri. Namun, pada kenyataannya Giselle diperlakukan tidak baik di rumah mertuanya.
"Mumpung di Bandung, kalian ikut kami menginap di hotel. Kalau kami bisnis, kalian silakan berbulan madu. Menikmati hidup, nanti kalau sudah momongan akan susah untuk bersenang-senang," ucap Papa Jaya.
"Papa, tapi ...."
Gibran menyahut, dia merasa sungkan. Ingin rasanya menolak tawaran dari Papa mertuanya.
"Tidak ada tapi-tapi. Pasti dibolehin kan Bu?" tanya Papa Jaya secara langsung kepada Bu Rosa.
Akhirnya Bu Rosa pun menganggukkan kepala. Tidak enak rasanya jika menolak permintaan dari besannya. "Tentu boleh," balas Bu Rosa yang sebenarnya hanya setengah hati saja. Siang itu juga, Giselle dan Gibran akan mengikuti keluarga Wardhana ke hotel. Sedangkan, Keluarga Wardhana rupanya juga memberikan sejumlah uang untuk Bu Rosa.
"Sedikit Bu Rosa, untuk menambah beli garam dan gula," ucap Mama Diana.
"Tidak usah, Bu ... duh, jadi repot-repot," balas Bu Rosa.
"Tanda kasih sayang saja, Bu Rosa. Lain hari silakan main ke Jakarta. Biar bisa lebih dekat dan bersilaturahmi," ucap Mama Diana.
Merasakan genggaman Rupiah di tangannya tebal, tentu Bu Rosa tersenyum di dalam hati. Keluarga kaya raya jika memberi juga begitu banyak. Uang kertas itu jumlahnya pasti banyak karena begitu tebal.
"Ya sudah, Giselle dan Gibran gak usah buru-buru. Nikmati waktu kalian berdua," ucap Bu Rosa.
Tentu saja Bu Rosa menjadi baik karena usai mendapatkan apa yang dia mau. Tidak masalah jika Gibran dan Giselle menikmati waktu berdua dengan keluarga Wardhana. Toh, ada tambahan cuan untuk kebutuhannya di rumah.
sedih kalo berada di posisi Gisel semuanya serba salah