Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Shinn dan Catalina.
Musik pesta bergema lembut dari panggung kecil di ujung ruangan—suara biola dan fluit yang lembut membentuk irama yang merdu, seperti nyanyian malam yang menenangkan. Cling… cling… cling… dentingan gelas kaca yang bertemu saling melengking di udara, bercampur dengan tawa para tamu yang riang “hahaha… hahaha…”. Aroma manis kue ulang tahun yang baru dipanggang—campuran coklat, vanili, dan buah ceri—memenuhi setiap sudut ruangan, membuat perut siapa saja terasa lapar dan hati terasa hangat. Lampu gantung kristal yang besar di tengah langit-langit memantulkan cahaya halus ke segala arah, menyinari rambut panjang Catalina yang putih bergelombang dengan gradasi pink di ujungnya—membuatnya tampak seolah diselimuti selimut cahaya emas dan merah muda yang lembut.
Catalina melangkah dengan langkah kecil yang hati-hati, tapak sepatu putihnya menghasilkan bunyi tap… tap… di lantai kayu mengilap. Dia sedang berjalan mendekati Kurumi yang berdiri di dekat meja kue, berbicara riang dengan Chins dan Hiro—Kurumi tertawa terbahak-bahak “hihihi…” saat Chins memberi dia sepotong kue berbentuk kucing. Tapi sebelum ia sampai setengah jalan, pandangannya tiba-tiba teralihkan—bukan oleh dekorasi pesta yang indah, bukan oleh suara anak-anak lain yang bermain, melainkan oleh sosok kecil yang berdiri tak jauh di samping Rui, anak perempuan Lynn dan Mike.
Shinn.
Rambut panjang silver gelapnya yang bergradasi merah tua jatuh rapi di kedua bahunya, disisir rapi sehingga tidak ada helai yang terlepas. Matanya merahnya memantulkan cahaya lampu kristal seperti kristal beku yang menyala, dan ekspresinya wajahnya datar—sangat datar, seolah dia sedang melihat sesuatu yang tidak menarik perhatiannya. Bahkan sebagai anak berusia lima tahun, aura dingin dan tenangnya terasa sangat kuat—persis seperti Shinn dewasa yang dia kenal di masa depan.
Catalina berhenti sejenak, tubuhnya sedikit membeku. Darahnya terasa mengalir cepat ke wajah, membuat pipinya dan telinganya memerah dengan cepat—seolah dia baru saja berlari cepat. Dia menggenggam ujung gaun putih yang dikenakannya sampai kain itu sedikit kusut, jari-jari nya memerah karena tekanan. Di dalam hati, dia berteriak keras: “Duhhh!! Bahkan waktu kecil aja dia sudah seganteng dan sedingin ini!? Kenapa dia tetep vibe-nya begitu!? Seperti es yang tidak pernah mencair!!”
Seolah mendengar isi hati yang riang dan cemas itu, Shinn menoleh—perlahan, sangat perlahan—seolah gerakan apapun akan membuatnya lelah. Pandangan merahnya yang dingin bertemu langsung dengan mata Catalina yang berbinar pink-merah. Lalu…
Ia menundukkan kepala kecilnya dengan sopan, gerakan nya lembut tapi tegas—seolah memberi salam hormat yang tulus.
Catalina benar-benar membeku, jantungnya berdebar kencang seperti “thump… thump… thump…” genderang perang yang kencang. Suara musik pesta terasa jauh dan tidak nyata, seolah dia hidup di dunia yang hanya dia dan Shinn. Di dalam hati, dia berteriak lagi: “KAHHHH—!! DIA SOPAN BANGET!!! GIMANA NGGAK GEMES!! Pipiku pasti udah merah kayak apel!!”
Berusaha sekuat tenaga terlihat normal, Catalina menyapu rambutnya ke belakang telinga dengan jari telunjuknya yang kecil—gerakan itu terasa kaku dan tidak wajar. Dia melangkah mendekati Shinn dengan langkah yang semula lambat, lalu semakin cepat karena kecemasan, sampai dia berdiri tepat di depannya. Wajahnya masih panas, dan dia harus menahan napas agar tidak terlihat terlalu tergesa-gesa.
Dengan suara sehalus mungkin—bahkan lebih lembut dari musik pesta—ia berkata, “Se—selamat malam… Siapa namamu?” Kata-katanya sedikit bergoyang, seolah dia gemetar, dan dia harus menundukkan kepala agar tidak melihat langsung ke mata Shinn.
Shinn mengangkat kepala perlahan, ekspresinya tetap datar seperti batu es—tapi ada sedikit kilau di matanya merahnya yang seolah dia juga memperhatikan Catalina. “Nama aku Arisu Shinn. Mereka di belakangku,” ia menunjuk tanpa menoleh ke arah Lynn, Mike, dan Rui yang berdiri di sudut ruangan, “adalah ayah, mama, dan kakak aku.” Suaranya terdengar serius dan jernih, seperti suara anak dewasa—tidak ada nada anak kecil di dalamnya.
Catalina mengangguk sangat anggun, gerakan badannya sedikit bergoyang sehingga rok gaun putihnya bergerak lembut seperti ombak “swish… swish…”. “Nama ku Catalina Rombert, putri dari Andras Rombert dan Leon Rombert. Salam kenal… Shinn.” Saat menyebut nama Shinn, suaranya sedikit bergetar, dan dia mengangkat mata sedikit untuk melihat wajahnya—hanya sebentar, lalu segera menunduk lagi.
Selama memperkenalkan diri, ia sebenarnya hampir pingsan. Di dalam hati, dia berteriak dengan penuh kegembiraan dan kaget: “ASTAGA SUARANYA SERIUS BANGET. DIA SERIUS BANGET. DIA BOCAH APA CALON SUAMI IDAMAN?? Nanti kalau dewasa, gimana ya—aku pasti langsung meleleh!!”
Di belakang mereka, Lynn tiba-tiba mendekat dengan langkah yang tegas—setiap langkahnya menghasilkan bunyi “tap… tap…” yang kuat di lantai. Rambut pendek bergelombang berwarna silver berpendarnya memantulkan cahaya lampu, membuatnya tampak seperti general yang siap memasuki perang. Aura dinginnya menyebar di udara, membuat suhu sekitar sedikit turun—bahkan Catalina merasa menggigil sedikit “gigil… gigil…”.
“Nak Catalina? Di mana mami-mu?” tanyanya dengan suara yang lembut tapi memiliki nada tegas di dalamnya, matanya merah nya menatap Catalina dengan tatapan yang cermat.
Catalina refleks menunjuk ke arah Andras, yang sedang berdiri di dekat meja minuman bersama Leon. “Bibi Lynn! Mami ada di sana!” suaranya terdengar ceria tapi sedikit ketakutan—dia tahu hubungan Lynn dan Andras selalu penuh ketegangan, seperti dua raja yang bersaing.
Hanya butuh satu detik bagi Lynn untuk menangkap Andras dalam radarnya. Senyum dingin terbentuk di wajahnya, dan tangannya mengepal “crack… crack…” seolah tidak sabar mau mengusili Andras. “Baiklah anak baik… Bibi ke sana ya…” katanya, lalu mengait lengan Mike yang berdiri di sampingnya. “Mike, ikut. Jangan biarkan aku sendirian ngadepin ‘Ratu Iblis Es’ itu.”
Lalu dia menunjuk ke Rui, yang sedang tersenyum melihat situasi. “Rui. Jaga adikmu dan Catalina. Jangan sampai hilang. Kalau ada apa-apa, panggil aku cepat.”
Rui melambaikan tangan dengan antusias, rambut hitam panjangnya dengan gradasi ungu pucat bergoyang riang. “Baikkk mama ~ Jangan khawatir, aku pasti jaga mereka dengan baik!” suaranya terdengar ceria dan penuh semangat.
Ketika Lynn dan Mike pergi menuju Andras, Catalina tiba-tiba panik. Tubuhnya sedikit menggoyangkan, dan dia menggenggam ujung gaunnya lebih erat. “Oke… sekarang tinggal aku, Rui, dan—Shinn. Aduh topik apa? Aku harus bicara apa sama bocah dingin yang bakal jadi pacar masa depan aku!? Dia cuma diam-diam, nanti aku jadi bodoh sendiri!!” dia gumam dalam hati, wajahnya semakin memerah karena kecemasan.
Untungnya, Rui menyelamatkan situasi duluan. Dia menghampiri Catalina dengan langkah yang cepat, senyum lebar terpatri di wajahnya—mata ungu nya bersinar penuh kegembiraan. “Dek Catalina! Kamu cantik banget hari ini!” katanya riang, tangan nya menekan bahu Catalina dengan lembut “thump…”. “Terakhir aku lihat kamu itu pas kamu pakai pedang kayu latihanku waktu umur tiga tahun! Kamu benar-benar berusaha ngangkat itu, loh—badanmu sempit sempit tapi tetap berusaha, sampe keringat meluruh!”
Catalina tertawa malu, menutupi mulutnya dengan tangan kecilnya. “Hehe… Pedang kakak berat banget waktu itu… Aku cuma bisa angkat setengahnya, lalu langsung jatuh ke lantai ‘thump…’! Papi ketawa banget melihatnya!” suaranya terdengar manis dan malu, pipinya masih memerah.
Shinn yang sejak tadi diam tiba-tiba mengangkat wajah. Ekspresinya tetap datar, tapi matanya merahnya menatap Catalina dengan lebih cermat. “Catalina,” katanya datar, tanpa nada emosi—tapi suaranya terdengar jelas di antara keramaian pesta. “Kamu sudah makan kue atau minum susu di meja itu?” dia menunjuk ke meja kue yang penuh dengan hidangan, gerakan jari nya singkat dan tepat.
Catalina—yang tidak menyangka akan ditanya oleh Shinn—langsung tersedak udara “cough… cough…”, tubuhnya sedikit membungkuk. Dia menggenggam lehernya dengan tangan kecilnya, mata nya membelalak melihat Shinn. “Eh—Shinn—kenapa tiba-tiba tanya begitu—?” katanya dengan suara yang tercekik, masih terkejut oleh pertanyaan itu.
Tapi kemudian, ekspresi centil yang selalu ada di dalam dirinya aktif. Senyum licik muncul di wajahnya, dan matanya pink-merahnya berkilat dengan nada menggoda. “Ohh, Shinn~ Apa kamu mau makan juga? Aku bisa suapin kamu kok, seperti kakakmu dulu pernah suapin aku bubur waktu aku sakit!” dia berkata dengan suara yang manis dan mengundang, merentangkan tangan kecilnya seolah siap mengambil sepotong kue.
Rui yang berdiri di samping mereka mengangkat alisnya dengan kaget. “Eh?” suaranya terdengar bingung, tapi dia segera tersenyum karena melihat sifat centil Catalina.
Shinn hanya berdiri diam, ekspresinya tetap datar—sangat datar, seolah tidak terpengaruh oleh kata-kata Catalina. “Cara bicaramu tidak seperti anak kecil… Catalina.” katanya dengan suara yang sama seriusnya, matanya merahnya menatap Catalina dengan tatapan yang bisa membaca segala hal.
Catalina benar-benar membeku, mulutnya terbuka tapi tidak bisa mengeluarkan suara. “…EHHH?!” dia gumam dalam hati, mata nya membelalak penuh kaget. Dia garuk kepala dengan jari telunjuknya, tersenyum kaku yang terlihat paksa. “Nggak kok!! Hehehe… heh… Aku cuma bicara kayak gitu aja… biar lucu!” suaranya terdengar tidak yakin, dan dia menundukkan kepala agar tidak melihat ke mata Shinn.
“GILAA!! INI ANAK DARI KECIL SUDAH TAJEM ANALISISNYA!? DI MASA DEPAN AJA DIA GAMPANG BACA EKSPRESI ORANG, TAPI KOK SEKARANG JUGA!? Aku pasti terlihat aneh banget buat dia!!” dia berteriak dalam hati, tubuhnya sedikit menggigil karena cemas.
Rui melihat Catalina yang panik, lalu menepuk lengan Shinn dengan lembut “thump…”. “Shinn… kata-katamu bikin Catalina takut, tahu. Dia cuma mau main-main doang,” katanya dengan suara yang lembut, menatap Shinn dengan harapan agar dia lebih lembut.
Shinn perlahan menatap Catalina lagi. Kali ini… ada sedikit—sangat sedikit—celah di ekspresinya yang dingin. Mata merahnya melembut tipis, seolah dia merasa bersalah. Ia mengulurkan tangan kecilnya ke arah Catalina, jari-jari nya sedikit membuka. “Maafkan aku… Catalina.” suaranya masih serius, tapi ada nada lembut yang tersembunyi di dalamnya.
Catalina terpana, jantungnya berdebar kencang lagi—tapi kali ini dengan rasa gembira yang mendalam. Wajahnya memerah lagi, bahkan lebih parah dari sebelumnya—seolah sudah disemprot dengan pewarna merah. Dalam sekejap, ia teringat momen masa depan: Shinn dewasa, berdiri di hadapannya, meminta maaf dengan cara yang persis sama—mengulurkan tangan dan berkata kata-kata yang sama. Perutnya bergejolak lucu, seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang di dalamnya.
“Ya Tuhan… Kecil aja udah bikin deg-degan… gimana nanti kalau dewasa lagi!? Aku pasti langsung pingsan!!” dia gumam dalam hati, mata nya berbinar penuh kegembiraan dan malu.
Catalina mengangkat wajah dan mencoba balas bermain, meskipun hatinya masih berdebar kencang. “Eh… nggak apa-apa kok, Shinn.” dia menggenggam lengan baju Shinn yang lembut, mendekat sedikit dengan senyum liciknya. “Shinn… ayo berteman… Nanti aku ajarin kamu main mainan terbang yang aku buat sendiri, ya!” dia berkata dengan suara yang mengundang, berharap Shinn akan tersipu atau menunjukkan ekspresi lain selain datar.
Setidaknya sedikit!
Tapi Shinn hanya menatapnya datar, sama sekali tidak berubah. Dia mengangguk perlahan. “Baiklah, Catalina.” suaranya tetap serius, tanpa nada emosi.
Catalina benar-benar membeku, wajahnya menurun menjadi cemberut kecil. “…DAHLAH!!!!!!” dia berteriak dalam hati, merasa seolah musik pesta berhenti sesaat dalam hatinya. Dia melepaskan genggaman nya dari lengan Shinn, menoleh ke samping dengan mulut sedikit terjepit.
Sementara itu, Rui menahan tawa sambil menutup mulutnya dengan tangan. “Dek Catalina… kamu lagi digulung adikku ya? Hihi… Dia selalu begitu, nanti kamu akan terbiasa,” katanya dengan suara yang ceria, tawa nya “hahaha…” bercampur dengan musik pesta.
Catalina cuma bisa memalingkan wajah sambil cemberut kecil—rasanya gemas, malu, sekaligus kesal. Tapi di dalam hati, dia tahu dia tidak bisa marah pada Shinn—bahkan sebaliknya, dia semakin gemas dengan sifat dingin dan sopan nya.
Dan Shinn… hanya berdiri di antara mereka, tenang seperti es, tanpa menyadari dia sudah menjadi sumber kekacauan hati Catalina sejak dua timeline berbeda—masa lalu dan masa depan yang saling terhubung oleh momen kecil ini.
“Tap… tap… tap…” langkah anak-anak lain yang bermain terdengar lagi, dan musik pesta kembali berjalan dengan irama yang merdu—seolah menyaksikan momen kecil yang manis dan lucu ini, sebelum kegelapan yang akan datang.