sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Sampingmu, Tanpa Syarat
Bintang kembali tertidur tak lama setelah dokter memeriksanya. Ruangan rumah sakit terasa sunyi, hanya suara AC dan bunyi monitor detak jantung yang lembut.
Bio duduk di kursi paling dekat dengan ranjang, tubuhnya condong ke depan. Satu tangan tetap menggenggam tangan Bintang yang kecil dan dingin. Ia memperhatikannya lama… seolah takut Bintang menghilang jika ia berkedip sedikit saja.
Pipi Bio masih memerah bekas pukulan Rama. Tapi rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan penyesalan yang menumpuk di dadanya.
“Kalau aku nggak mikir yang aneh-aneh… kamu nggak bakal kayak gini,” gumamnya pelan.
Ia menunduk, mencium punggung tangan Bintang—gerakan kecil, tapi penuh rasa bersalah.
“Aku beneran minta maaf, sayang”
Bintang tidak menjawab. Gadis itu tidur pulas, napasnya pelan, wajahnya masih terlihat pucat. Namun justru itu membuat Bio makin yakin bahwa dia telah menyakiti seseorang yang seharusnya ia jaga.
................
Diluar Ruangan,
Rama bersandar di kursi lorong, tangan terlipat di dada. Ekspresinya masih kesal, tapi jelas ada rasa cemas di matanya.
Ibnu duduk di samping, mencoba meredakannya.
“Rama… Bio bukan nggak sayang sama Bintang. Mereka berdua saling salah paham”
Rama menatap lurus ke depan.
“Masalahnya bukan sayang apa nggak. Masalahnya dia nggak mikir panjang. Yang kena imbas siapa? Bintang.”
Ibnu tidak membalas. Ia tahu Rama tidak sepenuhnya salah.
Tak lama kemudian, Oma Rosmawati keluar dari ruangan dokter. Ia tampak seperti biasa—anggun, tegar, tapi ada sedikit kelelahan di wajahnya.
Rama langsung berdiri.
“Oma, boleh tanya sesuatu?”
Rosmawati mengangguk sekali. “Silakan.”
Rama menarik napas dalam. “Kenapa Oma tiba-tiba nggak suka Bio? Selama ini Oma nggak pernah masalah sama hubungan mereka.”
Sorot mata Rosmawati berubah. Masih tegas, tapi tidak sekaku tadi.
“Karena aku lihat sendiri bagaimana cucu aku jatuh sakit begini… hanya karena masalah kecil yang dibesar-besarkan Bio.”
Rama menelan ludah. “Tapi itu bisa diperbaiki, Oma.”
“Bisa,” Rosmawati menjawab. “Tapi kalau Bintang terus-terusan luka? Apa itu masih pantas disebut hubungan yang sehat?”
Rama memijat tengkuknya.
Ia mengumpulkan keberanian.
“Oma mau jodohin Bintang dengan orang lain, kan?”
Rosmawati terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan.
“Iya. Aku mempertimbangkan itu.”
“Padahal Bintang sayang banget sama Bio, Oma.”
Ekspresi wanita itu melembut sedikit.
“Itu yang aku takutkan,” katanya lirih. “Perempuan yang terlalu mencintai… seringnya malah jadi pihak yang paling terluka.”
Rama tidak bisa menyangkal. Ia hanya menghela napas panjang.
“Kalau Bio bisa buktiin dia berubah… Oma mau kasih kesempatan?”
Rosmawati menatap Rama lama, lalu berkata pelan,
“Kita lihat dulu. Aku tidak akan menutup pintu. Tapi aku juga tidak akan membiarkan Bintang jatuh untuk kedua kalinya.”
................
Bio menatap Bintang dan tidak sadar dirinya mengelus kepala gadis itu. Sentuhan kecil itu dilakukan tanpa pikir panjang—lebih seperti refleks alami seseorang yang benar-benar takut kehilangan.
Saat itulah Bintang menggerakkan jari-jarinya.
Bio langsung mendongak.
“Bintang?” suaranya pelan tapi cepat.
Bintang membuka mata perlahan. Tatapannya sedikit buram, tapi ia mengenali siapa yang duduk di sampingnya.
“Bio…?” suaranya serak.
Bio langsung berdiri sedikit, mendekat.
“Iya, sayang. Aku di sini.”
Bintang menatap wajahnya yang lelah, rambut berantakan, pipi merah bekas pukulan. Dan meski tubuhnya masih lemah, ia tersenyum kecil.
Bintang mengusap pelan bekas merah dipipi itu sehingga menghasilkan sebuah ringisan pelan.
"Pasti ulah Rama kan?"
Bio menggeleng dan menggenggam tangan yang mengusap pipinya tadi.
"Ini setimpal sayang, untuk apa yang udah aku lakukan sama kamu" kata Bio.
Bintang menghela nafasnya pelan.
“Kamu… nggak pulang?”
“Mana mungkin aku tinggal kamu sendirian,” jawab Bio cepat.
Ia meremas jemarinya lebih lembut. “Aku salah, Bintang. Banyak banget. Aku harusnya percaya sama kamu.”
Bintang menggeleng pelan.
“Enggak… kita dua-duanya salah paham.”
“Tapi yang bikin kamu nyari aku sampai kayak gini… itu salahku,” Bio menunduk.
“Aku janji… aku nggak akan kabur lagi. Nggak akan mikir yang buruk-buruk lagi.”
Bintang mengangkat tangan yang masih lemah dan menyentuh pipi Bio.
“Yang penting… kamu ada di sini.”
Bio menutup mata sebentar, seolah sentuhan itu saja cukup untuk melegakan seluruh dadanya.
“Mulai sekarang, aku bakal jaga kamu bener-bener.”
Bintang tersenyum, matanya kembali berat.
“Kamu jangan kemana-mana, ya?”
“Aku nggak bakal pergi.”
Bintang kembali tertidur perlahan, masih memegang tangan Bio.
Dan malam itu, Bio tetap di kursi yang sama, memandang wajah gadis yang ia cintai dengan penuh rasa bersalah… dan niat untuk berubah.
****************