sekian tahun Tasya mencintai suaminya, selalu menerima apa adanya, tanpa ada seorang anak. bertahun-tahun hidup dengan suaminya menerima kekurangan Tasya tapi apa yang dia lihat penghianatan dari suami yang di percaya selama ini..
apakah Tasya sanggup untuk menjalankan rumah tangga ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon neng_yanrie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Tasya terdiam sejenak, sambil memikirkan
apa yang harus di lakukan. Devan semakin menunjukkan siapa jati dirinya, ia tidak lebih dari orang gila di matanya. Bisa setiap waktu merubah menjadi bak malaikat, kemudian setelahnya kasar seperti iblis.
Apa yang akan terjadi bila ia benar-benar terkurung di sini, mungkin Devan akan semena-mena padanya dalam segala hal. Tapi, Tasya yakin, Radit akan mencarinya bila dalam beberapa waktu ke depan, tidak ada pesan darinya. Devan membuatnya semakin gila, ia lebih mirip seorang psikopat.
Hening begitu terasa di rumah ini, detak detik jarum jam saja yang terdengar. Tasya mengedarkan pandamg, tidak ada yang berubah di tempat ini, foto pernikahan mereka masih terpampang sempurna pada dinding dengan cat berwarna putih, beberapa barang-barang miliknya pun masih ada di tempat yang sama.
Sementara Devan mendaratkan diri di sebuah sofa yang berada di lantai utama. Entah kenapa pikirannya begitu kacau tak menentu, sikap Tasya membuat emosinya meledak-ledak, meski pada awalnya, ia sama sekali tidak berbuat kasar.
Tidak berapa lama ibu dan adiknya datang di waktu yang selarut ini, mereka memang terbiasa selalu ke sini, apa lagi pada waktu-waktu meminta uang. Setelah kartu kreditnya Tasya blokir tempo hari, keduanya semakin liar dan membenci Tasya.
"Kusut sekali wajahmu, Kak?" ucap Bella yang juga turut mendaratkan diri pada sofa.
"Entahlah!" Devan menyandarkan diri memijat kepalanya yang tidak pusing.
"Kenapa? Ada masalah lagi sama Tasya?" timpal Ibunya.
"Masalahku belum selesai dengannya, Bu." balas Devan.
"Kalau kamu cinta dia, berat sama dia, merasa gak bisa jauh dari dia. Ingat, apa yang dulu pernah keluarganya lakukan padamu, pada kita. Sakit bukan?" jawab Ibunya.
Devan menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya kasar. Masa lalu yang keras sudah membuatnya menjadi begini. Hinaan yang di dapat tidak hanya tentang dirinya tapi keluarganya.
Ucapan Ibunya baru saja seperti sedang menegaskan apa yang sudah terjadi. Tidak ada cinta, apa lagi tangis perpisahan, yang ada hari ini adalah tentang dendam, pembalasan dan bagaimana cara Tasya merasakan sakit yang sama seperti yang sudah ia rasakan sejak dulu.
Klasik memang, tapi nyatanya luka memang tidak semudah itu hilang bekasnya. Apalagi luka itu menancap di hati. Sejak dulu, niat mendekati Tasya memang hanya untuk sebuah cerita yang akan di rangkai masa depan yang terbentuk dari kisah masa lalu.
Tidak di pungkiri, seiring jalannya ada getar yang selalu membuat jantungnya berdegup setiap kali berdekatan dengan Tasya, tapi jatuh cinta seolah sebuah kutukan. Ia tidak bisa membuat segala rasa itu berkembang.
Suara teriakan kembali terdengar dari kamar, membuat Bella dan Ibunya saling berpandangan karena terkejut.
"Mbak Tasya ada di sini?" tanya Bella.
Devan hanya mengangguk pelan. Tanpa berpikir panjang Bella langsung naik ke atas dan menemui kakak iparnya itu.
Bella membuka pintu kamar kakaknya.
cek lek.
Ia membuka pintunya dan menatap kearah kakak iparnya yang duduk di lantai, dengan wajah kusut dan rambut berantakan.
Tasya sedang mendekap lutut dengan rambut yang tidak beraturan. Ia terlihat kacau dan penuh rasa marah menatap Bella datang.
Keduanya saling menatap dengan tajam seolah ada benci yang menggebu di sana.
Bella pun segara mengunci kamar itu agar Tasya tidak bisa keluar, tapi perkataan Tasya membuat Bella urung untuk tidak menutup kamar dan membuka kembali.
"Sebenarnya mau kalian itu apa?" Tasya beranjak dari duduknya.
"Mbak tahu sendiri 'kan apa? Menurutku, dengan segala yang Mbak punya, kakakku tidak ada apa-apanya," balas Bella menjawab santai.
"Sepertinya dari awal, kebaikan kalian tidak pernah tulus ternyata," balas Tasya.
Bella mendekat hingga jarak antara mereka kini mungkin hanya sekitar satu jengkal.
"Mbak... Luka yang Mbak terima saat ini, dengan sakit yang kami dapat di masa lalu, itu tidak ada apa-apanya,"
"Maksud kamu?" Tasya mengernyitkan dahi tidak paham.
Bella tersenyum kecil sedikit membuang wajah.
"Aku pikir Mbak sudah mengerti, tapi sudahlah. Nanti pun waktu aku akan membuatmu paham."
Adik iparnya itu kembali menjauh, melangkah meninggalkan tempat ini. Tasya mencoba mengikuti agar bisa turut keluar dari tempat yang dulu begitu membuatnya nyaman, tapi saat ini begitu asing dan menakutkan.
Bella tidak membiarkan keluar, ia sedikit membanting pintu dan kembali menguncinya dari luar.
tok.. tok.. tok..
"Bella, buka pintunya. Aku ingin keluar," teriak Tasya dar dalam kamar.
Meski amarahnya sudah begitu memuncak, tapi kali ini Tasya sudah jauh lebih stabil. Ia mencoba menenangkan pikiran dan memaknai apa yang di katakan Bella tadi. Ia sama sekali tidak mengerti maksudnya.
Luka apa yang sudah ia berikan pada keluarganya.
*****
.
.
.
Waktu menunjukan pukul dua belas malam ketika hujan begitu deras mengguyur kota, Radit baru saja keluar dari kantornya, pekerjaan menumpuk lebih dari biasanya, ia sedikit berlari masuk ke dalam mobil, menembus kilat-kilat cahaya yang sesekali datang.
Parkiran sudah sepi, bajunya sedikit basah terkena rintik hujan. Segera Radit melajukan mobilnya untuk pulang ke apartemen.
Sementara Mbok Sumi tampak gelisah ketika sampai tengah malam seperti ini Tasya tidak kunjung datang, bahkan nomornya gak aktif, meski beberapa jam lalu masih dapat di hubungi dan tidak ada jawaban.
Wanita setengah baya itu akhirnya berpikir untuk menghubungi Radit, tempo hari ketika Tasya pindah ke apartemen, Radit sempat memberikan nomor ponselnya, untuk nanti menghubunginya bila saja terjadi sesuatu hal yang penting.
Panggilan pertama tidak ada jawaban, membuat Mbok Sumi semakin gusar. Radit memang membuat ponselnya dengan mode diam setelah hari ini bolak balik melakukan rapat. Tidak berhenti sampai di situ, Mbok Sumi kembali melakukan panggilan.
Radit mendaratkan diri ketika baru saja tiba di apartemen dan mengecek ponselnya. Ada pesan dari Tasya beberapa jam lalu, kemudian notifikasi dari Mbok Sumi yang menelponnya sampai berkali-kali.
Tanpa pikir panjang Radit segera menelpon balik.
.
.
.
.
.
"Halo, ada apa Mbok?"