Sya yang merupakan fresh graduate tahun ini telah diterima bekerja di PT Santoso Group. Di hari pertamanya bekerja dia dikagetkan dengan seorang bocah berusia 3 tahun yang memanggilnya " Bunda".
" Dunda.. Dunda.. Kendla mau pipis. " seorang bocah laki-laki menarik celana kerjanya saat Sia berdiri di lobi kantor.
Maureen Calisya Putri ( 23 )
Sungguh mengejutkan ternyata bocah yang memanggilku Bunda adalah anak dari pemilik perusahaan tempatku bekerja.
Raditya Diko Santoso ( 30 )
Kamu hanya akan menjadi ibu sambung untuk anakku karena dia menginginkannya.
Bagaimana perjalanan kisah mereka disaat salah satu diantara mereka melanggar perjanjian yang sudah disepakati?
Akankah terus bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggi Dwi Febriana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Turun!
Sia POV~
Aku begitu terkejut saat melihat Pak Radit dan Kendra berdiri didepanku. Kendra tersenyum sangat manis sedangkan Pak Radit seperti biasa hanya menampilkan wajah datarnya saja.
" Apa aku terlambat untuk kembali turun keruanganku? Aku tidak mau satu mobil lagi dengannya." Ucapku dalam hati.
" Dunda... " Suara Kendra menyadarkanku akan realita dunia nyata.
" Iya, kenapa sayang." Ujarku tersenyum kearah Kendra.
" Dendong Dunda." Bocah kecil ini merentangkan tangannya kearahku. Langsung saja aku meraihnya kedalam gendonganku.
" Kok Kendra belum pulang? Ini sudah malem lho." Aku ingat jika Kendra di kantor sudah dari siang. Kenapa Pak Radit tidak mengantarkan Kendra pulang terlebih dahulu? Bukankah kasian jika Kendra malah disini, dia bisa saja kelelahan.
" Kendla tunggu Dunda pulang kelja." Jawab Kendra polos.
" Kenapa nungguin Tante Dunda?" Tanyaku pada Kendra.
" Kendla mau pulang sama Dunda, telus kita maem baleng di tempat ayam goleng kakek." Jawab Kendra sambil mentoel-toel pipiku.
" Ayam goreng kakek? Dimana? " Tanyaku bingung.
" KFC." Jawab Pak Radit datar.
Aku baru tau jika KFC itu bisa disebut ayam goreng kakek, sungguh anak ini memang ada-ada saja. Terlalu kreatif.
" Haha.. Kenapa jadi ayam goreng kakek? " Tanyaku tertawa.
" Kalena gambalnya kakek-kakek." Jawab Kendra polos.
Aku hanya tertawa mendengar jawaban dari Kendra.
" Kita keruangan saya dulu ambil barang-barang Kendra." Ucap Pak Radit tiba-tiba. Dia langsung berbalik arah berjalan ke arah ruangannya.
Aku mengikuti langkah Pak Radit dari belakang. Terlihat dilantai ini sudah sepi, meja Lisa dan ruangan Andre terlihat sudah kosong.
" Mas Andre sudah pulang ya Pak? " Tanyaku pada Pak Radit.
" Yang kamu lihat gimana? " Jawabnya datar. Dia memang selalu begitu, jadi aku sudah terbiasa
berbicara dengannya tanpa banyak tanggapan.
" Sepertinya ruangannya sudah kosong." Jawabku singkat.
" Kalau sudah tau kenapa malah bertanya. " Jawabnya ketus.
" Iihhh, Bapak tuh ya, saya tanya baik-baik. Kenapa jawabnya malah begitu." Jawabku juga jutek.
Pak Radit hanya diam saja. Dia sibuk membereskan barang-barang milik Kendra.
Aku duduk disofa bersama Kendra yang tampak menempel denganku.
" Mungkin kalau ada orang yang melihat kita akan seperti adik dan kakak." Aku terkekeh geli membayangkan jika aku memiliki adik sekecil ini. Mungkin setiap hari akan aku jadikan mainan.
" Kamu kenapa tertawa sendiri begitu? " Ujar Pak Radit merusak imajinasiku saat ini.
" Apaan sih Pak, suka-suka saya dong mau ketawa atau nangis, apa urusannya sama bapak? " Ucapku ketus.
" Kamu makin kesini tambah berani ya membangkang saya." Jawabnya dengan wajah serius.
" Kan sekarang jam kantor sudah selesai Pak. Kalo diluar saya sudah bukan karyawan Pak Radit lagi dong. " Jawabku tersenyum mengejek.
" Tapi sekarang kamu masih ada dikantor saya." Jawabnya lagi.
" Eehhh, emang kalo di kantor tapi waktu kerja sudah habis masih terhitung karyawan ya? " Tanyaku kaget.
" Ya menurut kamu saja." Jawabnya singkat.
Aku hanya diam saja tidak lagi membalas ucapannya.
" Kendra jalan kaki aja ya, kasian Bunda kalau harus gendong kamu. Kendra kan udah besar, udah besar juga." Ujar Pak Radit dengan suara lembut kepada Kendra.
" Mau sama Dunda." Kendra semakin mengeratkan pelukan tangannya di leherku.
" Kendra... " Panggil Pak Radit lagi.
" Tidak apa-apa Pak, biar saya gendong saja. Saya juga sudah menganggap Kendra seperti adik saya sendiri. " Ucapku kepada Pak Radit.
" Adik? Kamu sudah terlalu tua untuk memiliki seorang adik sekecil Kendra. " Jawabnya datar.
Apa katanya tadi? Aku terlalu tua untuk mempunyai adik seperti Kendra? Yang benar saja kalau bicara.
" Saya masih muda yah Pak, umur saya masih 23 tahun, dan menurut saya sah-sah saja jika saya punya adik seperti Kendra." Jawabku jutek.
" Tapi buktinya Kendra panggil kamu Bunda. Itu artinya muka kamu emang sudah tua."
Benar-benar ya ini orang, kalau tidak ada Kendra rasanya ingin aku timpuk dia dengan remot AC didepanku.
" Bukan karena muka saya tua, tapi karena saya cantik. Kendra sendiri yang bilang begitu." Jawabku ngotot.
" Intinya kamu lebih cocok jadi Bundanya Kendra dari pada jadi kakaknya Kendra." Jawabnya tersenyum mengejek.
" Serah dah serah, males ngurusin omongan Bapak." Jawabku melotot galak.
Sedangkan dia hanya tertawa geli melihat ekspresiku.
" Ini orang emang agak kurang sesuatu deh kayaknya. Aku lagi marah, lah dia malah ketawa. Dasar orang aneh. " Ujarku dalam hati.
" Kendra gendong Ayah aja yah, kasian kalo Bunda yang gendong, nanti Bunda keberatan terus sakit gimana? " Ujar Pak Radit membujuk Kendra.
Setelah terdiam sebentar, Kendra akhirnya mengulurkan tangannya kearah Pak Radit.
" Dendong Ayah. " Ujarnya pelan.
Pak Radit segera meraihnya kedalam gendongannya. Dia memberikan tas milik Kendra kepadaku.
" Kamu bawa ini." Ujarnya singkat.
Aku menerima tas itu, tas bulu bergambar spiderman. Segera aku pakai, dan ternyata muat dipundakku.
" Hahaha... Dunda lutu pake tas spidelmennya Kendla." Kendra kerkikik geli menutup mulut dengan kedua tangannya saat melihatku memakai tas miliknya.
" Tante Dunda cocok ya pake tas Kendra, boleh aku minta nggak? " Ujarku mencoba untuk menggoda Kendra.
" Boleh, nanti Ayah belikan lagi tas balu buat Kendla." Jawab Kendra tersenyum.
Aku mengacak rambutnya gemas saat mendengar jawaban Kendra. Ingin rasanya aku bawa pulang anak ini.
Pak Radit keluar ruangan dengan Kendra di gendongannya, dan seperti biasa aku mengikutinya dari belakang.
" Pak, kenapa motor saya dibawa ke kosan, memang Mas Andre tau yah kosan saya. Tau dari mana coba? " Tanyaku kepada Pak Radit.
" Buat cari alamat kamu itu gampang. " Jawabnya singkat.
" Jangan-jangan Mas Andre nge-stalking saya lagi." Ucapku terkekeh geli.
" Memangnya kamu siapa sampe Andre buang-buang waktu buat nge-stalking kamu." Jawabnya ketus.
" Kenapa Pak Radit malah marah-marah begini, aku kan cuma tanya doang. Efek udah tua kali ya." Ujarku dalam hati.
" Ayah malah sama Dunda? " Tanya Kendra tiba-tiba.
" Eehh, enggak. Kata siapa Ayah marah sama Bunda." Ujar Radit kaget.
" Iya tuh, Ayah Kendra marah-marah terus sama Tante Dunda." Ujarku mengadu kepada Kendra.
" Ayah tidak boleh malah-malah. Nanti Dundanya nangis, Kendla sedang tidak punya perlmen stlobeli buat Dunda." Jawab Kendra dengan wajah serius.
Aku dan Pak Radit seketika tertawa mendengar penjelasan Kendra. Ya Tuhan, kenapa anak ini lucu sekali.
Kendra yang tadinya berwajah serius tiba-tiba saja ikut tertawa saat melihat aku dan Pak Radit tertawa.
Kita tiba di parkiran basement.
" Padahal tadi pagi aku sudah berjanji tidak mau naik mobil bersama Pak Radit lagi." Ujarku dalam hati.
Pak Radit mendudukkan Kendra dikursi belakang. Kemudian berjalan menuju kursi supir. Sedangkan aku duduk disebelah Kendra.
" Turun." Ujarnya tiba-tiba.
" Haa..? " Aku bingung mendengar ucapan Pak Radit. Bukannya tadi dia yang mengajakku untuk pulang dengannya. Tau akan begini lebih baik aku pesan gr*b tadi.
" Saya bukan supir, cepat turun! Duduk disebelah saya. "
selalu ngalamin itu, karena nama asli saya juga panjang banget 😂
kali ini Lo salah sya, gimana kalau keadaannya di balik?
mengingat sifatnya diawal bagaikan freezer 😂