NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24: KETIKA KEPERCAYAAN TERBAYAR**

# **

Jam 2 siang. Alara berdiri di depan cermin kamar dengan tangan yang gemetar merapikan blazer abu-abu—blazer yang sama dengan presentasi pertama yang gagal. Ia menatap pantulannya—mata yang masih sedikit sembab, wajah yang pucat walau sudah diberi make up, bibir yang ia gigit berkali-kali karena nervous.

*Lima hari. Lima hari aku dan Nathan bekerja tanpa henti. Dan sekarang... sekarang ini kesempatan terakhir.*

Ponselnya bergetar. Pesan dari Nathan.

**Nathan:** *Aku sudah di parkiran. Kita berangkat bareng. Kamu siap?*

Alara menatap pesan itu lama. Jemarinya gemetar mengetik balasan.

**Alara:** *Aku takut, Nathan. Bagaimana kalau aku gagal lagi? Bagaimana kalau—*

Sebelum sempat kirim, pintu kamarnya diketuk. Nathan masuk—tidak menunggu jawaban—dengan jas biru navy yang rapi, tapi wajahnya terlihat lelah. Bayangan hitam di bawah matanya—bukti ia juga kurang tidur.

Tapi begitu melihat Alara, ia tersenyum. Senyum yang menenangkan.

"Kamu cantik," katanya sambil berjalan mendekat.

Alara menggeleng. "Aku... aku nggak bisa berhenti gemetar. Aku takut—"

Nathan memegang kedua bahu Alara—genggaman yang tegas tapi lembut. Memaksa Alara menatapnya.

"Dengar aku," katanya—suara yang tegas tapi penuh kehangatan. "Kamu sudah kerja keras. Desainmu kali ini LUAR BIASA. Aku sudah review berkali-kali dan itu... itu karya terbaik yang pernah aku lihat."

"Tapi kamu bias karena kamu—"

"Aku nggak bias." Nathan memotong. "Aku CEO. Aku tahu mana desain bagus dan mana yang tidak. Dan desainmu... exceptional, Alara. Percaya diri."

Alara menatap mata Nathan—mata yang penuh keyakinan, yang membuat sebagian ketakutannya... mereda.

"Dan ingat," Nathan melanjutkan sambil mengusap pipi Alara dengan ibu jarinya. "Aku ada di sampingmu. Selalu. Kalau kamu lupa kata-kata, aku yang lanjutin. Kalau kamu nervous, lihat aku. Aku akan ada di sana."

Air mata Alara jatuh—tapi ia cepat mengusapnya. "Aku nggak boleh nangis. Nanti make up berantakan—"

Nathan tertawa kecil—tawa yang hangat. Ia mencium dahi Alara—ciuman yang lama, yang penuh doa dan harapan.

"Kita bisa," bisiknya di dahi Alara. "Kita akan buktiin mereka salah."

---

**RUANG KONFERENSI, LANTAI 28**

Alara berdiri di depan pintu ruang konferensi yang sama—ruangan yang lima hari lalu menjadi saksi kegagalannya. Tangannya mencengkeram USB berisi file presentasi—cengkeraman yang sangat erat sampai tangannya putih.

Nathan berdiri di sampingnya—tidak di depan, tidak di belakang, tapi di samping. Sejajar.

"Ready?" tanyanya sambil tersenyum tipis.

Alara menarik napas dalam—mencoba menenangkan jantung yang berdetak sangat keras.

"Tidak," jawabnya jujur. "Tapi aku akan coba."

Nathan menggenggam tangannya—genggaman yang hangat, yang memberi kekuatan.

"Itu sudah cukup."

Mereka masuk bersama.

Di dalam, Mr. Hartawan sudah duduk—wajahnya datar, tidak bisa dibaca. Di sampingnya, jajaran direksi Erlangga Corp termasuk Pak Hendra yang menatap Alara dengan tatapan... skeptis. Dan di pojok—Kiara duduk sebagai perwakilan divisi marketing, wajahnya tersenyum manis tapi matanya... dingin.

Alara merasakan tatapan semua orang itu seperti beban yang menekan dadanya. Tapi Nathan menggenggam tangannya lebih erat—memberikan kekuatan.

"Good afternoon, Mr. Hartawan," sapa Nathan profesional. "Thank you for giving us second chance."

Mr. Hartawan hanya mengangguk—tidak ramah, tapi setidaknya tidak langsung menolak.

"Miss Alara will present the revised design," lanjut Nathan sambil menatap Alara dengan tatapan yang bilang *kamu bisa*.

Alara melangkah ke depan dengan kaki yang gemetar. Ia colokkan USB, file terbuka di layar proyektor.

Slide pertama muncul—gambar render 3D Emerald Heights yang... memukau. Gedung 40 lantai dengan taman vertikal yang mengalir seperti air terjun hijau di setiap sisi, rooftop garden yang luas dengan solar panel yang terintegrasi artistik, dan desain yang... breathtaking.

Semua orang di ruangan itu terdiam—menatap layar dengan pandangan... terpukau.

"Emerald Heights," Alara mulai berbicara—suaranya gemetar di awal tapi perlahan stabil. "Konsepnya adalah 'Urban Oasis'—luxury living yang harmonis dengan nature. Bukan hanya eco-friendly sebagai gimmick, tapi sebagai core identity dari building ini."

Ia klik slide berikutnya—detail taman vertikal.

"Vertical garden di setiap lantai bukan hanya dekorasi. Ini berfungsi sebagai natural air purifier, reducing carbon footprint hingga 40%, dan menurunkan suhu building secara natural sehingga mengurangi penggunaan AC."

Alara mulai masuk ke zona—zona di mana ia lupa nervous, lupa takut, hanya fokus pada passion-nya. Tangannya bergerak menjelaskan setiap detail, matanya berbinar setiap kali menjelaskan inovasi yang ia masukkan ke desain.

Mr. Hartawan yang tadinya datar, mulai condong ke depan—interested. Pak Hendra yang skeptis, mulai mengangguk-angguk pelan.

Nathan duduk di samping dengan tangan terlipat di dada, tapi senyum tipis di wajahnya—senyum yang penuh kebanggaan.

"Rooftop garden," lanjut Alara sambil klik slide berikutnya—render yang menunjukkan rooftop dengan infinity pool, greenhouse, dan area komunal yang luas. "Ini bukan hanya amenities. Ini lifestyle. Urban people yang merindukan nature, bisa dapetin itu tanpa harus keluar kota."

Ia klik lagi—slide tentang sustainability features.

"Solar panel terintegrasi di façade building, rainwater harvesting system untuk irigasi garden, dan smart home system yang minimize energy waste. Ini bukan hanya luxury apartment. Ini future of living."

Alara selesai presentasi—30 menit yang terasa seperti 5 menit. Ia berdiri di sana dengan napas yang sedikit tersengal, jantung berdegup keras, menunggu reaksi.

Hening.

Hening yang sangat... panjang.

Lalu Mr. Hartawan berdiri—pelan, dengan ekspresi yang... serius.

Alara merasakan jantungnya hampir berhenti. *Dia akan tolak. Dia akan bilang ini tidak cukup. Dia akan—*

"This," kata Mr. Hartawan sambil menunjuk layar, "is EXACTLY what I've been looking for."

Alara membeku. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"The first presentation was... disappointing," lanjut Mr. Hartawan sambil berjalan mendekati Alara. "But THIS—this is exceptional. The concept, the innovation, the sustainability—everything. This is not just building. This is masterpiece."

Ia mengulurkan tangan ke Alara—tangan untuk jabat tangan.

"I'm impressed, Miss Alara. You have my full support."

Alara menatap tangan itu dengan pandangan tidak percaya. Tangannya gemetar saat menjabat—jabatan yang membuat lutut Alara hampir lemas karena lega yang luar biasa.

"Thank you, Mr. Hartawan," bisiknya—suara yang bergetar.

Mr. Hartawan tersenyum—untuk pertama kalinya. "I look forward to working with you."

Tepuk tangan pecah di ruangan—dari direksi, bahkan dari Pak Hendra yang tadinya sangat skeptis.

Nathan berdiri—matanya berkaca-kaca tapi ia tersenyum lebar. Ia melangkah maju, berjabat tangan dengan Mr. Hartawan.

"Thank you for the second chance, Mr. Hartawan."

"No, thank YOU for not giving up on her," kata Mr. Hartawan sambil melirik Alara. "She's talented. Very talented."

---

**SETELAH MEETING**

Semua orang keluar dari ruang konferensi—Mr. Hartawan dengan senyum puas, direksi dengan tepuk tangan dan selamat, Pak Hendra bahkan menghampiri Alara dengan tangan terulur.

"I was wrong about you," katanya—tulus walau terdengar tidak enak mengakui. "You proved me wrong. Selamat."

Alara menjabat tangannya—masih dalam shock.

Begitu semua orang keluar dan hanya tinggal Nathan dan Alara, Alara berdiri di sana—kaku, tidak percaya ini benar-benar terjadi.

"Alara," panggil Nathan pelan.

Alara berbalik—dan melihat Nathan berdiri di sana dengan mata yang... berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, Nathan menangis di depannya—tidak isak, hanya air mata yang jatuh pelan.

"Kamu... kamu berhasil," bisik Nathan—suara yang bergetar.

Dan sesuatu di dalam Alara pecah.

Ia berlari—berlari ke Nathan dan memeluknya dengan sangat erat. Menangis di dada Nathan dengan isak yang dalam—isak lega, isak bahagia, isak yang penuh emosi campur aduk.

"Aku... aku berhasil..." isaknya. "Nathan, aku berhasil..."

Nathan memeluknya erat—sangat erat—satu tangan di punggung Alara, satu lagi di kepala Alara, mengelus rambutnya dengan lembut.

"Aku bangga padamu," bisiknya di telinga Alara—suara yang bergetar penuh emosi. "Sangat bangga. Kamu... kamu luar biasa."

Alara menangis lebih keras—menangis karena kata-kata itu adalah kata-kata yang ia butuhkan. Kata-kata yang membuat semua perjuangan lima hari terakhir... terbayar.

"Terima kasih," isak Alara. "Terima kasih sudah nggak menyerah sama aku. Terima kasih sudah percaya—"

"Aku yang harus terima kasih," potong Nathan sambil melepas pelukan sedikit—cukup untuk menatap wajah Alara. Tangannya mengusap air mata Alara dengan ibu jari. "Terima kasih sudah nggak menyerah. Terima kasih sudah percaya sama aku. Terima kasih sudah... sudah ada."

Mereka menatap satu sama lain—tatapan yang penuh cinta, yang penuh perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Lalu Nathan mencium Alara—ciuman pertama mereka yang sesungguhnya. Bukan ciuman di dahi atau pipi. Tapi ciuman di bibir—ciuman yang lembut, yang penuh perasaan, yang membuat seluruh dunia terasa berhenti.

Alara membalas ciuman itu—tangannya memeluk leher Nathan, mencengkeram seolah takut Nathan akan hilang.

Mereka berciuman lama—sampai napas keduanya tersengal, sampai air mata Alara berhenti, sampai jantung keduanya berdetak bersama.

Ketika berpisah, Nathan menatap Alara dengan senyum yang... sempurna. Senyum yang membuat wajahnya terlihat sangat tampan, sangat... hidup.

"Aku cinta kamu," bisiknya. "Sangat cinta."

"Aku juga cinta kamu," balas Alara sambil tersenyum lebar—senyum yang paling bahagia dalam hidupnya.

Mereka berpelukan lagi—berpelukan dalam ruang konferensi yang sekarang hanya jadi saksi bisu kebahagiaan mereka.

Tapi di luar ruangan, di balik pintu yang sedikit terbuka, Kiara berdiri dengan wajah yang... pucat. Tangannya mengepal erat—kuku menancap di telapak.

Ia melihat semuanya. Melihat ciuman itu. Melihat Nathan menatap Alara dengan tatapan yang... dulu untuk Kiara.

Dan sesuatu di dadanya... hancur.

*Aku kalah. Aku benar-benar kalah.*

Tapi Kiara belum menyerah. Karena wanita yang putus asa adalah wanita yang paling berbahaya.

Dan rencana terakhirnya... akan segera dimulai.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 25]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!