Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“Tumben Dima nggak ke sini,” kata Bu Neneng melihat Jejen, Givan, dan Danu datang ke warungnya dan langsung mengambil gorengan yang sudah membatu karena tidak laku sejak digoreng tadi pagi.
“Ada urusan di rumahnya,” jawab Givan sambil menggigit rawit.
“Urusan apa?” tanya Bu Neneng penasaran.
“Ayahnya marah gara-gara dia berhasil ngambil motor dari preman,” jawab Danu yang langsung bersiap menyalakan game di ponselnya.
“Berhasil ngambil motor kok malah marah?” tanya Bu Neneng heran.
“Jangan tanya sama saya, tanya aja sama ayahnya Dima,” jawab Danu terkekeh. “Jen, main nggak?”
“Gue udah masuk!” sahut Jejen kesal, dia sudah menyalakan game di ponselnya sejak duduk di warung Bu Neneng.
Terdengar bunyi hape Givan.
Givan mengangkat telepon, “Halo?”
“Temen lo di mana?” tanya Bang Toyib yang teriak karena sedang ada di terminal angkot.
“Temen yang mana?”tanya Givan heran.
Jejen dan Danu memperhatikan Givan yang tampak teleponan dengan serius.
“Yang motornya kemaren dibegal orang!” jawab Bang Toyib seperti panik.
“Di rumahnya. Mang napa?” tanya Givan sambil menatap kedua temannya dan memberikan pandangan khawatir.
“Kalo bisa jangan ke mana-mana dulu. Motornya simpen di rumah. Kayanya ada yang nyariin!” jelas Bang Toyib.
“Waduh!” sahut Givan.
“Kenapa?” tanya Danu dan Jejen bersamaan.
–
Teh Santi memperhatikan Quin membuat racikan air soda ditambah dengan sirop jeruk ke dua buah gelas sambil tersenyum.
“Tumben, Neng Nisa dikasih minuman begini?” tanya teh Santi membuat Quin berhenti tersenyum.
“Orang bukan buat Nisa.”
“Terus buat siapa?”
“Dima,” jawab Quin sambil membawa minumannya ke teras rumah.
“Pantes nggak langsung ke kamar,” jawab teh Santi yang merapikan sirop dan botol soda ke dalam kulkas.
Dima duduk melamun melihat ke halaman sambil mengusap pipi kirinya. Seharian di sekolah, Dima berusaha tidak melakukannya, agar tidak ada yang memperhatikan pipinya yang merah.
Quin datang membawa dua gelas air minum soda jeruk dan menyodorkannya satu ke Dima, “Minum dulu, Dim.”
“Makasih,” jawab Dima yang bergegas menurunkan tangannya dari pipinya, lalu menerima gelas dari tangan Quin.
Tangannya tidak sengaja menyentuh tangannya Quin. Quin langsung menarik tangannya dan duduk di kursi sambil berpaling dan menyimpan gelas di meja.
“Pipi kamu kenapa?”
Dima yang baru saja meneguk air minum, tersedak, lalu batuk. Quin bergegas masuk ke dalam rumah dan keluar lagi membawa tisu.
Dima menerima tisu dari Quin lalu mengelap mulutnya yang basah, “Kenapa gimana?”
“Kaya agak sedikit merah,” kata Quin sambil memicingkan mata melihat ke pipi Dima.
Dima terdiam.
“Kalau nggak mau cerita, nggak apa-apa,” Quin mengambil gelas dan meminumnya untuk menutupi dirinya yang malu karena sudah berani bertanya sesuatu yang personal pada Dima.
“Ditampar ayah,” jawab Dima singkat.
Kali ini Quin yang tersedak lalu batuk, kaget mendengar Dima ditampar ayahnya. “Serius?”
“Nggak. Becanda.”
“Hah?”
“Iya, serius.”
“Gimana yang bener sih?” tanya Quin kesal sambil menepuk lutut Dima yang ada di hadapannya.
“Aduh! Nanti tumpah lagi nih!” kata Dima berusaha menahan gelasnya agar tidak goyang, lalu disimpannya di meja.
“Sori.”
“Kan bukan elu yang nampar, kenapa malah sori?”
“Ya, sori udah nanya.”
“Santai aja. Ayah emang gitu. Suka lupa diri kalo marah.”
“Emang marahnya kenapa?” tanya Quin yang lalu sadar, lagi-lagi dia terlalu ingin tahu. “Eh sori. Malah nanya-nanya lagi.”
“Gara-gara motor. Ayah jadi harus bayar utangnya, karena motornya udah gue ambil balik.”
Quin memiringkan kepala, berpikir karena heran, “Bukannya berarti bagus ya? Utangnya lunas, motornya balik?”
“Nggak tau lah. Kita mau latihan apa? Bener gue nggak usah ngambil gitar dulu?” tanya Dima mengalihkan pembicaraan.
“Nggak usah. Cuma bantuin pilih lagu aja. Aku bingung pilih lagu apa?” tanya Quin sambil mengikat rambutnya ekor kuda.
“Apa ya?” tanya Dima pada dirinya sendiri sambil melihat hapenya, dengan maksud agar tidak terlalu menatap Quin, karena terpikat.
“Kemaren tanteku bilang, nyanyi lagu juri aja. Biar makin dinotis.”
“Bisa juga sih,” Dima menjawab sambil masih melihat lagu-lagu di youtube playlistnya.
“Nggak mau! Aku nggak mau ngikutin tanteku! Dia itu apa-apa, biar kamu dinotis, biar orang tau kamu, biar kamu lebih sering disorot kamera! Nyebelin!” Quin nyerocos kesal.
Dima terkekeh, “Jadi dia yang semangat mau menang ya?”
“Nggak tau lah.”
“Sabar-sabar ya. Ngobrol sama orang tua harus sabar.”
“Ternyata lo bisa baik juga.”
Dima menatap Quin heran, “Apa tuh maksudnya?”
“Biasanya elu bawaannya ngajak ribut.”
“Eh, elu yang gitu. Gue cuma ngikutin doang!”
“Gue? Kan elu duluan yang mulai!”
“Eh, dulu waktu juara satu padahal nilai matematika gue sama kaya elu, kan elu yang marah!”
“Ya abisnya elu ngomong. Untung nama gue bukan dari Q!”
Dima terkekeh, “Ya emang lah. Untung alfabet gue duluan! Itu kan bukan salah gue, jadinya elu juara dua ujian matematikanya.”
“Iya sih,” Quin menunduk malu.
“Lagian abis itu, nilai gue nggak sebagus elu juga. Elu tetep aja sensi.”
Quin manyun, “Sori.”
“Sori melulu. Lagi lebaran apa gimana nih?” tanya Dima melihat sekeliling.
“Apa sih!” Quin menepuk lutut Dima lagi, tapi tangannya tetap ada di lutut Dima.
Dima bingung merespon tangan Quin yang ada di lututnya. Quin sendiri bingung, kenapa tangannya berhenti di lututnya Dima, padahal maksudnya cuma mau menepuk saja. Meski sedetik, mereka saling bertukar pandang.
Terdengar suara mobil berhenti di halaman.
Quin bergegas menarik tangannya dan duduk menjauh. Mamanya Quin turun dari mobil lalu masuk ke teras.
“Eh ada Dima,” kata mamanya Quin sambil memberikan paper bag berisi roti ke Quin. “Latihan?”
Dima salim ke mamanya Quin, “Iya, tante.”
“Bantuin Quin ya, supaya menang, Dim.”
“Iya, tante.”
“Ya udah, mama mau istirahat dulu,” Mamanya Quin masuk ke dalam rumah.
Dima dan Quin kembali berpandangan.
"Mama kamu kenal aku?" tanya Dima yang sepertinya belum pernah secara khusus berkenalan. Pernah bertemu memang, tapi ketika ada acara orang tua murid di kelas 10.
Mamanya Quin datang lagi menyimpan kue lapis di atas meja, "Kenal dong. Quin kan selalu ceritain setiap kamu ngajak dia debat. Ini ada kue dari Tante Uli."
"Mama!" Quin menatap mamanya dengan kesal karena sudah bicara terlalu jujur.
Mamanya Quin masuk kembali ke rumah, meninggalkan Quin yang menunduk malu sambil mengeluarkan roti dari paper bag.
“Jadi mau lagu apa?” tanya Dima sambil menaikkan kedua alisnya.
'Bisa udah nggak deg-degannya,' kata Quin dalam hati.
"Quin?"
"Kalau kata aku, mending kita bikin rencana video tiktok kamu biar voting kamu bisa cepet naik," jawab Quin tersenyum semangat menatap Dima lekat-lekat.
"Terserah ratu aja," jawab Dima gantian memerah pipinya.
Bersambung.
queen Bima
mantep sih