Anaya White memaksa seorang pria asing untuk tidur dengannya hanya untuk memenangkan sebuah permainan. Sialnya, malam itu Anaya malah jatuh cinta kepada si pria asing.
Anaya pun mencari keberadaan pria itu hingga akhirnya suatu hari mereka bertemu kembali di sebuah pesta. Namun, siapa sangka, pria itu justru memberikan kejutan kepada Anaya. Kejutan apa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irish_kookie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Truth or Dare
Suara musik berdentum kuat seolah sanggup menembus jantung. Sekumpulan anak muda berusia 20an tahun sedang asik berdansa mengikuti irama musik tersebut sambil sesekali melompat-lompat kegirangan.
"Nay, aku mau duduk!" seru salah seorang wanita muda sambil menangkupkan tangannya membentuk corong di depan temannya.
Dengan wajah memerah , napas tersengal-sengal, dan senyum cantik yang memukau, temannya itu menoleh kemudian mengangguk dan mengangkat ibu jarinya. "Oke, aku masih mau di sini. Kau duluan saja."
Wanita muda itu pun mencari tempat duduk dengan langkah gontai. Sementara, temannya masih terus melompat-lompat sambil berteriak ketika musik yang dimainkan oleh DJ semakin menghentak.
Setelah lebih dari 15 menit melompat-lompat, gadis itu pun memutuskan untuk berhenti dan menyusul temannya.
"Wah, Nay, kau gila malam ini!" kata salah seorang temannya yang lain sambil berjalan bersamanya menuju meja yang sudah disiapkan.
Gadis muda yang disapa Nay itu hanya menyeringai. "Hehehe, duduk dulu, yuk! Aku tidak bisa bernapas."
Teman wanita mereka yang tadi sudah duduk lebih dulu, menyambut mereka dengan gelas kecil berisi minuman. "Kalian hebat!"
"Hahaha! Cheers!" Mereka mengangkat gelas dan saling membenturkan gelas kecil itu, lalu, meminumnya dalam sekali tenggak.
Tak lama, suasana di meja itu mulai hidup. Mereka berceloteh ramai membicarakan bagaimana serunya mereka berdansa tadi.
"Ayo, main!" ujar salah seorang gadis yang berada di lingkaran meja itu.
Gadis lainnya menatap temannya itu. "Main apa? Kau mau main, Nay?"
Nay mengangguk. Tangannya cepat mengambil botol kosong yang ada di meja. "Truth or dare tapi kita pakai putar botol. Bagaimana?"
Yang lain mengangguk. "Good idea. Siapa mau putar botolnya lebih dulu?"
Semua menatap Nay menunggu jawaban. Ya, gadis yang daritadi disapa Nay bernama Anaya White.
Dia adalah pewaris tunggal dari salah seorang pengusaha ternama di kota itu. Otomatis, segala privelege dengan mudah bisa dia dapatkan.
"Kau yang memutar botolnya, Rin." Anaya mengambil botol minuman kosong itu dan memberikannya pada seorang temannya yang bernama Airin.
Airin menerima botol itu sambil menyeringai lebar. "Oke! Aku akan putar sekarang."
Botol itu berputar dengan cepat dan semakin melambat sampai akhirnya berhenti tepat di depan seorang pria muda berwajah kemerahan.
"Tim, truth or dare?" tanya Anaya dengan mata berkilat senang.
Pria bernama Tim berpikir keras, lalu, "Truth!"
Teman-temannya yang lain bersorak sambil bertepuk tangan.
"Di antara kita di sini, adakah wanita yang kau sukai?" tanya teman Anaya yang lain yang bernama Jane.
Wajah Tim yang sudah memerah, kini semakin memerah seperti kepiting rebus.
Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu perlahan dia mengangguk. "Ya, ada."
Suara riuh rendah dan sorak sorai kembali memenuhi meja mereka. "Waaaahhhhh! Siapa, Tim?"
"Apa aku harus sebut namanya?" tanya Tim gugup.
Anaya mengangguk cepat. Sementara yang lain mulai berdesis kencang. "Sebut! Sebut! Sebut!"
Tim terlihat salah tingkah. Namun, dia menyebutkan satu nama dengan suara yang sangat pelan. "Airin."
"Waaaaaaa! Hahahahaha! Congrats, Rin!" Teman-temannya yang lain kembali menyoraki Tim dan Airin yang wajahnya kini sama seperti Tim, bersemu kemerahan.
"Jangan salah sangka! Aku suka dia hanya karena dia baik dan beberapa kali menolongku sampai dia bertengkar dengan kekasihnya hanya karena terlambat datang," kata Tim malu-malu.
Tiba-tiba saja, Airin menggebrak meja dengan kencang. "Stop! Kenapa kau baru jujur sekarang?"
Dia maju mendekati Tim dan melumat bibir pria itu dengan panas. "Aku juga menyukaimu, Tim! Pacarku yang bodoh itu sudah kubuang ke tempat sampah!"
Anaya dan teman-temannya semakin bersorak kencang melihat adegan panas itu.
"Satu pasangan siap launching! Hahaha!" kata Jane sembari menepuk meja dengan telapak tangannya.
Anaya kemudian mengambil botol dan meminta teman-temannya untuk tetap fokus bermain. "Oke, next! Kita lanjutkan mainnya!"
"Tim, putar botolnya!" Anaya menyerahkan botol itu kepada Tim dan pemuda itu dengan cepat memutar botolnya.
Botol itu kembali berputar dan berhenti tepat di depan Anaya.
Sama seperti sebelumnya, para remaja yang ada di sekeliling meja itu kembali bersorak-sorai. "Wow, Naya! Truth or dare, Nay?"
Anaya mengernyit. "Hmmm, aku sedang tidak ada cerita atau apa pun itu, so, dare."
Teman-temannya berbisik-bisik dan mereka saling mengangguk sambil terkikik pelan.
"Guys, come on. Kenapa harus bisik-bisik?" tanya Anaya tak sabar.
Jane dan Airin menyeringai lalu memberikan tantangannya pada Anaya.
"Kau sedang single, kan? Kau juga bilang akhir-akhir ini sedang suntuk dan bosan. Jadi, malam ini, kami mengizinkan kau untuk sedikit nakal," kata Jane tanpa meninggalkan seringai di wajahnya.
Kening Anaya berkerut, tetapi jantungnya berpacu dengan cepat. Wajahnya manisnya terlihat sumringah karena tak sabar menanti tantangan dari teman-temannya.
"Apa itu?" tanya Anaya penasaran.
"Pilihlah satu pria yang ada di tempat ini. Pilih saja random sesuai dengan kriteriamu, lalu, ajak dia berkenalan dan minta nomor handphonenya. Kau sanggup?" tanya Jane.
Tak lama, Airin menambahkan, "Kalau kau masih berada di bawah pengaruh alkohol, pastikan kau mendapatkan satu ciuman pertama darinya, hihihi."
Anaya menimbang-nimbang tantangan itu, lalu, dia mengangguk. "Oke. Aku jalan sekarang!"
Dengan diiringi lambaian tangan meriah dari teman-temannya, Anaya pun berjalan dengan penuh percaya diri.
Dia memerhatikan semua pria yang ada di tempat itu, tetapi tidak ada satupun yang menarik hatinya.
Gadis berambut pirang itu terus berjalan sampai pandangannya berhenti pada satu pria yang sedang duduk termenung di meja bar.
Anaya mendekati pria yang terlihat lebih tua itu. "Selamat malam, Om."
Pria itu menoleh dan mendengus sambil menyeringai. "Huh! Om? Apa aku terlihat setua itu?"
"Oh, maaf. Saya lancang memanggil Anda dengan sebutan om. Berapa umur Anda kalau begitu?" tanya Anaya tanpa malu-malu.
Pria itu menggelengkan kepalanya dan tidak menjawab.
Anaya menoleh ke meja tempat teman-temannya duduk dan dia melihat mereka sedang memberikan semangat untuknya.
"Well, namaku Anaya. Aku baru pertama kali ke klub ini. Apa di sini tempat yang berbahaya?" tanya Anaya.
Pria itu kembali mendengus dan menoleh. Matanya melihat Anaya dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu, dia tersenyum. "Kau lebih bahaya, Gadis Kecil."
"Lihat pakaianmu! Kau seperti tidak memakai baju dan apa yang kau tutupi? Semua bagian tubuhmu terlihat jelas seperti itu!" lanjut pria itu.
Pandangan matanya tak bisa bohong, dia sempat menikmati pemandangan yang disajikan Anaya di hadapannya.
Seorang gadis muda dengan gaun berbelahan rendah yang memperlihatkan aset kembar yang indah, belum lagi lekuk tubuh gadis itu yang mengundang dirinya untuk tidak berpaling dari Anaya.
Anaya menunduk memandangi gaunnya, lalu, dia tersenyum menggoda. "Oh, apa menurutmu ini berbahaya? Coba lihat, mana yang lebih berbahaya, aku atau tempat ini?"
Pria itu meneguk minumannya dalam sekali tenggak.
Anaya dapat melihat dengan jelas kalau pria itu berusaha menghindarinya.
Gadis itu pun tak ingin pulang dengan tangan kosong. Dia bersandar di lengan kokoh pria berumur itu. "Bisakah kau melihatku? Aku sedang kacau malam ini."
Tiba-tiba saja, pria itu menyentak Anaya dan membuka jasnya, lalu dia pakaikan jas itu kepada Anaya.
"Pulanglah! Kau membahayakan dirimu sendiri. Aku ini pria dewasa dan kau memancingku! Aku bisa melakukan apa pun kepadamu!" ujar pria itu tanpa menoleh ke arah Anaya lagi.
Tak mau kalah, Anaya menyelinap di antara kedua lengan kekar pria itu dan berdiri tepat di hadapannya. "Apa yang bisa kau lakukan denganku? Ayo, kita lakukan hal dewasa! Aku siap!"
"Kau gila! Pulanglah, Gadis Kecil!" sentak pria itu lagi dengan wajah memerah.
Anaya menggeleng. Lalu, entah dorongan darimana, dia menyentuh wajah pria itu dan mengecup bibir pria itu. "Lakukan itu denganku malam ini!"
Pria itu tersenyum dan menarik Anaya ke dalam ciumannya lebih dalam lagi.
Dalam hitungan detik, malam itu seolah menelan mereka berdua, lampu klub yang berpendar memantulkan cahaya di mata Anaya, menari di antara desir napas dan degup jantung yang berpacu.
Pria itu masih menatapnya dengan campuran marah dan bingung, tapi di balik tatapan itu ada sesuatu yang lebih liar, lebih jujur daripada kata-kata.
"Aku tidak main-main," bisik Anaya di tepi bibirnya. "Kalau kau takut padaku, berarti kau sudah kalah."
"Ikuti aku!" Anaya menarik tangan pria itu, menggenggam erat seperti seseorang yang menemukan arah di tengah badai.
Tak ada penolakan, hanya desahan berat, nyaris seperti pengakuan.
Di luar, lampu jalan menyapu tubuh mereka dengan bayangan yang panjang, berlari menuju hotel terdekat di tengah kabut malam.
Begitu pintu kamar tertutup, udara berubah menjadi lebih pekat.
Detak jam di dinding seolah berhenti.
Anaya menatap pria itu, menatap garis wajahnya yang keras, rahang yang menegang, dan tatapan mata yang menghindar namun tak benar-benar pergi.
"Berhenti menahan diri," bisik Anaya pelan, langkahnya mendekat, jarak di antara mereka melebur bersama aroma alkohol, parfum, dan gairah terlarang.
Jari-jari lentik Anaya menyentuh pipi pria itu. Sentuhan itu seperti api kecil yang menjalar ke seluruh ruangan.
Tanpa ragu, pria itu membalas apa yang sudah dilakukan Anaya.
Dia bahkan tidak membiarkan satu helai napas keluar dari bibir Anaya. "Kau yang meminta, Gadis Kecil! Ini permainan orang dewasa dan jangan menyesal!"
Anaya menggeleng di tengah-tengah desahannya. "Nope! Aku tidak akan menyesal! Berikan yang terbaik darimu! Aku juga akan membuatmu tidak dapat melupakanku, hehehe."
Setiap desahan, setiap gerakan, setiap jeda terasa seperti pengakuan dosa yang indah.
Mereka saling menempel satu sama lain dan melebur dalam satu gerakan.
Ketika fajar menjelang, langit memudar menjadi jingga pucat.
Anaya terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang hangat oleh sisa semalam. Seprai putih berantakan, aroma pria itu masih melekat di bantal dan kulitnya.
"Om?" Dia menoleh, tempat di sebelahnya kosong.
Tidak ada suara langkah, tidak ada pintu yang terbuka. Hanya sunyi, dan gaun merah miliknya yang sudah rapi dilipat di kursi.
Di meja, ada secangkir kopi yang sudah dingin dan sebuah catatan kecil tanpa nama dan tanpa nomor handphone.
("Thank you for the wonderful crazy night, Little Girl.")
Anaya menggenggam catatan itu erat, merasakan denyut di dadanya yang semakin cepat.
Dia tersenyum getir dan menunduk melihat kembali catatan kecil itu.
“Anaya bodoh!” bisiknya pada bayangan di cermin. "Bisa-bisanya kau jatuh cinta pada om-om tua itu, Nay? Hahaha! Gila!"
***