Irsyad mendapat tugas sulit menjadikan Bandung Medical Center sebagai rumah sakit pusat trauma di Bandung Timur.
Kondisi rumah sakit yang nyaris bangkrut, sistem yang carut marut dan kurangnya SDM membuat Irsyad harus berjuang ekstra keras menyelesaikan tugasnya.
Belum lagi dia harus berhadapan dengan Handaru, dokter bedah senior yang pernah memiliki sejarah buruk dengannya.
Bersama dengan Emir, Irsyad menjadi garda terdepan menangani pasien di Instalasi Gawat Darurat.
Terkadang mereka harus memilih, antara nyawa pasien atau tunduk dengan sistem yang bobrok.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HODAD
"Dokter, jantung pasien berhenti berdetak!"
Dokter Faisal segera mengambil defibrilator yang bentuknya seperti food tongs. Alat kejut seperti ini digunakan untuk mengejutkan jantung yang terbuka.
Dokter bedah jantung itu menaruh defibrilator di kedua sisi jantung. Setelah posisinya pas, segera diberi kejutan.
"Beri epi dan naikan volume," titah dokter Faisal.
"Shoot!"
Kembali kejutan diberikan. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya jantung pasien kembali berdetak. Operasi pun dilanjutkan kembali. Handaru bersiap melanjutkan tindakan yang dilakukannya.
Emir terus memperhatikan sambil membantu dokter bedah digestif tersebut melakukan tugasnya. Terlihat sekali kalau Handaru sangat berhati-hati.
Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhirnya bagian paru yang rusak berhasil dibuang. Kini hanya tinggal membereskannya. Handaru terdiam sebentar. Dapat dia rasakan kalau tangannya kembali bergetar.
"Apa bisa lebih cepat, dokter? Jantung pasien tidak akan kuat jika berada terlalu lama di ruang operasi," peringat dokter Faisal.
Emir terus memperhatikan apa yang terjadi pada Handaru. Walau pria itu membalikkan tubuhnya, namun dia masih bisa melihat tangan dokter bedah pria itu yang bergetar.
"Apa anda baik-baik saja, dokter?" tanya Emir.
"Ya," jawab Handaru seraya membalikkan badannya.
Pria itu memegang erat alat operasi di tangannya. Walau sudah mulai berkurang, namun dia masih bisa merasakan getaran di tangannya dan itu tertangkap oleh Emir.
"Biar aku yang menyelesaikan," ujar Emir. Dokter residen bedah tahun kedua itu segera meminta alat pada suster yang membantu mereka.
"Apa kamu bisa melakukannya?"
"Tentu saja."
Tanpa menunggu persetujuan Handaru, Emir segera menyelesaikan operasi yang dimulai oleh Handaru. Pria itu terus memperhatikan tangan Emir yang terus bergerak. Harus diakui kemampuan bedah dokter muda tersebut sudah jauh meningkat.
"Kamu melakukannya dengan baik," puji Handaru setelah Emir menyelesaikan tugasnya.
"Tentu saja. Dokter Irsyad sudah mengajari ku dengan baik."
Tubuh pasien mulai dijahit kembali, menutup luka sayatan yang tadi dibuat saat memulai operasi. Handaru menghembuskan nafas lega. Setahun setelah pindah menjabat sebagai direktur rumah sakit ini, hari ini adalah pertama kalinya dia memasuki kembali ruang operasi.
Ketika dirinya dan Emir keluar dari ruang operasi empat, di saat bersamaan Irsyad keluar dari ruang operasi satu. Pandangan dokter bedah trauma itu langsung tertuju pada Handaru.
"Kamu masuk ruang operasi?" tanya Irsyad.
"Aku adalah seorang dokter bedah. Apa ada yang salah dengan itu?" kesal Handaru.
"Aku harap kamu tidak membunuh pasiennya."
"Pasiennya baik-baik saja!"
Dengan langkah cepat Handaru meninggalkan ruang operasi. Setelah kepergian Handaru, Irsyad melihat pada Emir.
"Apa benar dia melakukan semuanya dengan benar?"
"Ya, tapi aku yang menyelesaikan bagian akhirnya."
"Kenapa?"
"Tangannya.."
Mengerti apa yang dikatakan Emir, Irsyad hanya menganggukkan kepalanya. Nayraya yang berada di dekat mereka tentu saja dibuat penasaran. Ketiganya segera keluar dari ruang operasi.
Irsyad dan Nayraya segera mencari lift yang akan membawa mereka turun, sementara Emir hendak naik. Dia bermaksud menemui Ivana. Tadi Reynand mengatakan padanya kalau gadis itu ingin bertemu dengannya sebelum keluar rumah sakit.
"Dokter, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Nayraya ketika mereka sudah berada di dalam lift.
"Apa?"
"Aku sempat mendengar dari Ekon kalau dokter menyebut dokter Handaru HODAD. Apa maksudnya?"
"Hand Of Death And Destruction. Dia memang dokter yang banyak menyelamatkan nyawa. Tapi tidak sedikit juga pasien yang meninggal di meja operasi atau mengalami kondisi buruk pasca operasi."
"Apa itu yang membuatnya resign dari Ibnu Sina?"
"Bisa jadi."
"Apa dia pernah melakukan kesalahan pada orang terdekat mu?"
"Apa maksud mu?"
"Kehilangan nyawa pasien di meja operasi adalah salah satu resiko yang akan diterima seorang dokter bedah. Tapi sikap mu pada dokter Handaru sangat berbeda. Dokter seolah sangat membencinya."
Tidak ada jawaban dari Irsyad. Pertanyaan Nayraya barusan mengingatkan dirinya pada Talita. Dan memang sejak Talita meninggal di meja operasi, sikapnya pada Handaru mulai berubah. Pria itu masih menganggap kalau Handaru sebagai penyebab kematian Talita.
Melihat Irsyad yang hanya diam saja membuat Nayraya tidak bertanya lagi. Wajah pria itu juga terlihat tidak bersahabat. Sampai lift tiba di lantai dasar, tidak ada percakapan lagi dari keduanya.
Sementara itu Emir sendiri sudah tiba di lantai sepuluh. Ketika pria itu hendak menuju ruang perawatan Ivana, dia bertemu dengan Reynand.
"Apa Ivana sudah pulang?"
"Dia tidak jadi pulang."
"Kenapa?"
"Gerd."
"Gerd? Bukankah tidak terdeteksi sebelumnya?"
"Ya. Saat akan dipulangkan, tiba-tiba saja dia sesak nafas. Aku melakukan pemeriksaan, dan asam lambungnya naik. Aku pikir ini dipicu oleh stress. Setelah orang tuanya datang, Ivana memang sedikit berubah. Lebih pendiam dan cenderung menutup diri. Berbeda saat bersama Kakaknya."
"Apa kamu berbicara dengan orang tuanya?"
"Sudah. Tapi mereka malah saling menyalahkan. Aku jadi mengerti kenapa Ivana sampai stress. Keluarga yang awalnya harmonis berubah seketika, pasti itu membuatnya terpukul."
"Lebih baik kamu hubungi Kakaknya. Minta di kembali secepatnya."
"Oke."
Setelah berbicara dengan Reynand, Emir melanjutkan langkahnya. Pria itu mengetuk pintu kamar sebelum masuk ke dalamnya. Dia melemparkan senyuman pada Ibu Ivana yang duduk sendirian di ruang tunggu. Dokter spesialis emergensi itu langsung memasuki ruang rawat Ivana.
"Hai Ivan," sapa Emir.
"Ivan?" kening Ivana nampak berkerut.
"Nama mu Ivana, jadi aku bisa memanggil mu Ivan. Benar bukan?"
"Tapi aku tidak punya jakun."
"Hahaha.."
Emir menarik sebuah kursi lalu menaruhnya di dekat ranjang. Dokter muda tersebut mendudukkan diri di sana.
"Dokter Reynand bilang kamu belum bisa pulang."
"Ya. Sebenarnya aku senang bisa berada di sini lebih lama."
"Kenapa?"
"Karena aku bisa terus melihat dokter yang ganteng," Ivana tertawa setelahnya. Walau bukan itu alasan sebenarnya dia ingin tinggal lebih lama di rumah sakit.
Emir memandangi gadis yang berbaring di sebelahnya. Walau dia tertawa namun matanya menyimpan sebuah luka. Sosoknya yang ceria ketika ada Bayu bersamanya, sekarang seakan menghilang.
"Kamu ternyata menderita gerd. Apa kamu sudah mengalaminya sejak lama?"
"Aku tidak tahu. Setahu ku aku belum pernah ada masalah dengan lambung ku. Memang aku sempat merasakan tidak enak di bagian perut beberapa waktu belakangan ini. Perut ku terasa kembung, mual dan terkadang lidah ku terasa pahit. Tapi aku pikir hanya masuk angin saja."
"Itu salah satu gejala gerd. Gejala lainnya adalah rasa terbakar di bagian dada dan sesak nafas. Apa kamu pernah merasakannya juga?"
"Kalau sesak aku baru merasakannya tadi. Tapi kalau rasa terbakar di dada, belum pernah mengalaminya. Apa penyakit ini bisa hilang, dok?"
"Asam lambung atau Gerd itu masuk ke dalam penyakit kronis. Artinya tidak bisa dihilangkan, tapi bisa dikendalikan. Melalui obat-obatan atau pola hidup. Menjaga pola makan, menghindari minuman keras, rokok dan mengelola stress. Dan aku yakin, hal yang memicu asam lambung mu adalah stress. Stress itu juga yang membuat mu nekad meminum obat penenang sampai over dosis."
Tidak ada jawaban dari Ivana. Gadis itu langsung menundukkan kepalanya. Apa yang dikatakan Emir semuanya benar. Sejak mengetahui masalah kedua orang tuanya, Ivana memang terpukul dan stress melihat kondisi rumah tangga kedua orang tuanya.
"Kamu memendam semuanya sendirian dan tubuh mu mengirimkan sinyal. Kamu butuh pertolongan. Carilah orang yang kamu percaya untuk mengeluarkan keluh kesah mu. Jangan memendamnya sendirian. Akibatnya akan buruk pada tubuh mu sendiri."
"Apa orang tua dokter harmonis?"
"Alhamdulillah ya."
"Bagaimana kalau tiba-tiba mereka mengalami masalah? Bagaimana kalau mereka sudah tidak menjadikan rumah sebagai tempat untuk berpulang? Bagaimana kalau mereka bertahan tidak bercerai demi ego masing-masing?"
"Kamu bertanya pada ku atau sedang mengungkapkan kegelisahan mu?"
Ivana tak mampu menjawab. Sejatinya dia tengah mengeluarkan keluh kesahnya pada dokter tampan itu. Sikap Emir yang ramah, dan selalu mengajaknya bicara dengan lemah lembut sejak pertama dirinya masuk ke rumah sakit, sedikit banyak membuat gadis itu nyaman. Hingga dia bisa mengungkapkan apa yang menjadi kegundahan hatinya.
"Maafkan aku, dokter. Harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Maafkan aku."
Ivana mulai menangis. Airmatanya jatuh berderai begitu saja. Gadis itu memalingkan wajahnya, terlalu malu kalau Emir melihatnya seperti ini.
***
Apakah Ivan eh Ivana akan berjodoh dengan Emir?🤔
apa katanya gk takut dgn Dadvar....padahal ciut dlm hatinya pasti deh iya takut🫣
Bagus Davdar biar Sentanu mingkem, baru tau kalau dia bermasalah. Titip salam sama Sentanu, kalau dipulau Rinca butuh CMO kalau dia mau bisa tuh ngatur ngatur komodo, kali aja komodonya manut sama Sentanu😂😂😂