NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cerita rora dan rami

“Hah?”

Semua orang terperanjat—Santara Group, Brahmana Ventures, Kirana Adinata, dan Rendra Tirtagraha menatap Suryo dengan campuran kaget dan tak percaya. Sementara Vincent dan Mahawira hanya diam, memasang wajah duka palsu sambil mencuri dengar.

Suasana seketika hening. Bahkan Vincent dan Mahawira sempat menahan napas.

Dan dari tatapan Suryo… terlihat jelas:

“Dengan siapa?” tanya Santara tegas.

Suryo menarik napas berat, mata memerah. “Aku tidak tahu. Tapi markas di batas kota… dibantai habis. Jasad Angga…” suaranya bergetar, “…sangat tragis. Mengenaskan.”

Brahmana segera menepuk bahu Suryo. “Sabar, Suryo. Semoga kita segera tahu siapa dalangnya.”

Kirana bertanya, “Apa tidak ada CCTV di markas itu?”

“Ada.” Suryo mengepalkan tangan. “Tapi semua dihancurkan. Rapi. Seolah pelakunya sangat paham cara menghapus jejak.”

Rendra mengangguk pelan. “Anakmu… apa dia ada masalah dengan seseorang? Maksudku, anak muda zaman sekarang kadang punya musuh tanpa orang tua tahu.”

“Itu yang membuatku bingung.” Suryo mengusap wajahnya. “Aku tidak tahu siapa yang sedang bermasalah dengannya…”

Di sudut ruangan, Vincent dan Mahawira masih diam. Mereka tidak menyelam sedikit pun dalam percakapan itu—dan hal tersebut langsung disadari oleh Santara.

“Kalian berdua dari tadi diam saja. Ada apa, Wira? Vincent?” tanya Santara lugas, menatap keduanya tajam.

Vincent tersentak kecil. “Tidak… tidak apa-apa. Kami hanya terkejut. Semua ini… terlalu tiba-tiba.”

Mahawira mengangguk menimpali, nada suaranya dibuat setenang mungkin. “Benar. Kami juga berduka. Apa pun yang terjadi, semoga pelakunya segera ditemukan. Aku sendiri tidak menyangka… terutama setelah mendengar anakmu ditemukan se—” ia menahan kata-katanya, “—setragis itu.”

Kirana ikut bersuara. “Iya. Aku kaget sekali. Kemarin aku masih lihat Angga baik-baik saja… dan tiba-tiba dengar kabar seperti ini… syok sekali.”

Percakapan mereka berlanjut, penuh duka dan ketegangan yang menekan. Namun di antara mereka, hanya dua orang yang benar-benar tahu apa yang terjadi—dan keduanya sedang berusaha mati-matian menyembunyikan rasa takut mereka sendiri.

Rumah Sakit

Di sisi lain kota, Fandi masih duduk di kursi persis di depan ruang ICU. Pakaiannya masih belum diganti—darah kering menempel di baju, celana, bahkan tangannya. Ia tak peduli. Matanya tak lepas dari pintu kaca ICU yang menutup Epi dari dunia luar.

Kei dan Alfin yang sudah pulih dari pusing akibat “neraka berkendara” Fandi, akhirnya masuk dan melihat Fandi duduk kaku.

“Fan… gimana dia?” tanya Alfin pelan.

Fandi menghela napas, suaranya rendah. “Kritis. Dia sempat kehilangan banyak darah. Tapi untungnya… rumah sakit ini punya stok yang cocok.”

“Bagus kalau begitu,” ucap Kei, jelas lega.

Alfin tiba-tiba menepuk dahinya. “Eh! Kita belum kabarin teman-teman. Mereka masih di rumah! Pasti panik bukan main!”

Kei mengangguk cepat. “Iya ya! Mereka nunggu kabar dari kita. Gimana tuh?”

Fandi menatap mereka, wajahnya dingin tapi lelah. “Kalian ke rumah saja. Jemput mereka. Jangan biarkan mereka bawa motor. Suruh ikut kalian naik mobil.”

“Kalau gitu kamu saja, Kei,” kata Alfin.

“Iyalah, sini kuncinya,” pinta Kei sambil mengulurkan tangan.

Alfin memberikan kunci itu. Kei segera berbalik dan berjalan cepat keluar rumah sakit, memasukkan kunci ke saku, lalu masuk ke mobil.

“Si Fandi kenapa sih…?” gumam Kei sambil menghidupkan mesin, wajahnya kesal sekaligus bingung. “Beda sekali. Kayak… kekasihnya sendiri yang koma.”

Ia menggelengkan kepala lalu langsung melajukan mobil. Tak butuh waktu lama hingga ia sampai di rumah Fandi. Kei turun, berjalan cepat masuk, dan melihat dua gadis masih duduk menunggu dengan wajah tegang.

“Hei! Kalian!” panggil Kei.

Rora dan Rami langsung berdiri.

“Bagaimana? Epi… apa ketemu?” tanya Rora buru-buru.

“Iya. Dia ditemukan. Sekarang di rumah sakit. Ayo, aku antar,” kata Kei singkat.

Kedua gadis itu langsung mengangguk dan mengikuti Kei masuk ke mobil.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di dalam kabin, hanya suara mesin yang terdengar. Kei melirik mereka lewat kaca spion.

“Kalian sudah makan?” tanya Kei.

“Belum. Tapi tadi dikasih cemilan sama mbak-mbak di rumah itu,” jawab Rora.

Kei mengangguk. Mendadak ia membelokkan mobil memasuki sebuah restoran cepat saji.

“Kalian tunggu di sini sebentar, ya,” katanya.

“Baik, Kak,” jawab mereka bersamaan.

Sekitar 25 menit kemudian, Kei kembali membawa dua kantong besar berisi lima kotak nasi. Ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Hening kembali mengisi kabin, membuat ketegangan semakin terasa.

Tiba-tiba—

“Kak… Epi nggak apa-apa kan? Maksudnya… apa dia terluka parah?” tanya Rami, suaranya kecil tapi sarat kecemasan.

Kei terdiam sebentar sebelum menjawab, “Soal itu… aku nggak tahu pasti. Fandi yang menemukan dia duluan. Pas kami datang, Fandi sudah gendong dia dan langsung bawa ke rumah sakit. Jadi… lebih baik kalian tanya langsung ke Fandi. Aku takut salah ngomong.”

Kedua gadis itu saling menatap, kemudian tertunduk diam.

Beberapa menit kemudian Kei kembali membuka percakapan, suaranya lebih pelan.

“Kalian ini aslinya dari mana? Memang tinggal di sini atau gimana?”

“Bukan asli sini, Kak. Kami merantau,” jawab Rora.

“Oh begitu. Sudah berapa lama di sini?”

“Kurang lebih lima tahun.”

“Lama juga. Kalian memang sudah kenal lama terus merantau bareng?” tanya Kei penasaran.

Rora menggeleng. “Nggak, Kak. Kami ketemu di Makassar. Dari desa yang berbeda. Kami sama-sama merantau ke Makassar, tapi tempat kerja kami lama itu gajinya sering telat. Jadi kami resign. Dapat kerjaan di Jakarta, tapi pas kami sampai… mereka bilang sudah dapat karyawan baru. Padahal kami cuma terlambat satu hari karena harus urus berkas.”

“Gila juga orang-orang itu,” gumam Kei. “Terus gimana? Baru datang malah di-PHP.”

“Ya… mau gimana lagi,” sahut Rora. “Kami nganggur sebulan. Terus kerja di warung makan, tapi berhenti karena nggak cocok, yang punya galak. Habis itu nganggur lagi. Terus dapat kerjaan di supermarket. Sampai sekarang masih kerja di situ.”

“Baguslah akhirnya dapat yang cocok,” kata Kei.

Rora dan Rami mengangguk kecil. Kei kembali fokus menyetir. Namun beberapa menit kemudian, ia mengerutkan dahi, menyipitkan mata menatap ke depan.

Sesuatu tidak beres.

Seketika—

Cyiiiittt!!

Mobil direm mendadak. Ban berdecit keras, memekakkan telinga. Tubuh Rora dan Rami serentak tersentak ke depan, hampir membentur kursi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!