Karena desakan Ekonomi, Rosa terpaksa harus menikah dengan pria yang sama sekali tak di cintainya. Bekas luka di tubuh serta hatinya kian membara, namun apalah daya ia tak bisa lepas begitu saja dari ikatan pernikahan yang isinya lautan luka.
seiring berjalannya waktu, Rosa membulatkan tekadnya untuk membalas segala perbuatan suaminya. bersembunyi di balik wajah yang lemah lembut nan penurut, nyatanya menyiapkan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Hem, gimana ya ceritanya. yuk simak kelanjutannya, jangan lupa tinggalkan jejak likenya, komen, subscribe dan vote 🥰🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Histeris
Di saat awan kehidupannya mendung, kini awan tak berganti putih untuk membawa matahari masuk menerangi bumi. Justru awan semakin menghitam, siap menerjunkan air dari atas, bahkan badai ikut turun membuat dunia porak poranda, guntur terus menggelegar membuat suasana semakin mencekam. Begitulah kehidupan Rosa saat ini, disaat rasa sakit menyelimuti justru sekarang rasa sakitnya bertambah seribu kali lipat, menatap dunia pun semuanya gelap dan Rosa pun hilang arah.
Asep dan Sumarni sudah selesai di kafani, kini tinggal menunggu Rosa sadar untuk membawa Jenazah menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Dharma dan Fatmawati datang bersamaan, keduanya begitu cemas dengan keadaan Rosa saat ini begitu tahu kabar duka. Lucy dan Bik Kokom ikut serta, keduanya berjalan mengikuti Dharma dan Fatmawati menuju ruang IGD.
"Jeremy, dimana Rosa?" Tanya Fatmawati.
"Rosa di bawa menuju ruang rawat, tadi ada banyak pasien baru yang datang akibat kecelakaan mengakibatkan IGD penuh, jadi Rosa di pindahkan." Jawab Jeremy dengan detail.
"Ayo, antar aku." Fatmawati bergegas pergi menemui Rosa diantar Jeremy.
Begitu sampai di ruang rawat, Fatmawati dan Dharma melihat betapa malangnya Rosa yang terbaring dengan tatapan mengarah keatas, dan tatapan itu Kosong. Rosa merasa hidupnya di dunia di permainkan oleh takdir, mendapat setitik kebahagiaan di gantikan dengan seribu penderitaan.
"Cucuku," Lirih Fatmawati.
Rosa tak menjawab setiap panggilan yang masuk ke telinganya, ia berdiam diri seperti mayat hidup dan hanya air mata yang menjadi jawaban. Tubuhnya diam, pikirannya saling berkejaran tanpa ada ujungnya. Separuh jiwanya telah pergi, bayangan-bayangan senyum manis kedua orang tua serta pelukan hangat seolah nyata.
"Jenazah sudah selesai di mandikan dan di kafani, t-tu..." Ucap Jeremy menggantung.
Lutfi menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya, Jeremy langsung menundukkan kepalanya mengerti dan langsung mengakui kalau dirinya salah.
"Nak," Panggil Fatmawati sambil mengelus pipi Rosa dengan lembut.
"Huaaaaa....!!! Aaaakkkhhh...."
Rosa bangkit dari tidurnya, ia duduk dan langsung berteriak sekeras mungkin sampai membuat semua orang di dalam ruangan syok. Kali ini, Rosa lebih histeris dari sebelumnya.
"AAAKKKHHHHH!!! HUAAAAA...!!" Rosa menjambak rambutnya sendiri, Lutfi dan Lucy berusaha menarik tangan Rosa yang semakin kuat mencengkram rambutnya.
"Rosa, hiks.. Jangan sakiti diri loe sendiri, gue ada disini dan loe gak sendiri." Lucy tak kuasa menahan tangisnya, ia memohon pada Rosa agar berhenti menyakiti diri sendiri, melihat Rosa histeris membuat Lucy ikut sakit.
Mata Kenny berkaca-kaca, ia mundur beberapa langkah ketika melihat bagaimana hancurnya Rosa, hal tersebut mengingatkannya pada kejadian sepuluh tahun lalu saat orangtuanya meninggal dunia.
Dokter membuka pintu dengan kasar, mereka langsung bergerak cepat dengan menyiapkan suntikan obat penenang agar Rosa lebih rileks.
Beberapa menit kemudian, cengkraman di rambutnya terlepas bersamaan dengan hilangnya kesadaran diri Rosa. Lutfi memeluk tubuh Rosa yang lemah tak berdaya, ia menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah malang perempuan yang baru-baru ini di kenalnya.
"Loe gak sendirian, masih ada gue." Lirih Lutfi.
"Rosa, cucuku," Lirih Dharma.
"Bawa jenazahnya ke rumah, sholatkan terlebih dahulu dan jangan di makamkan sebelum Rosa sadar." Perintah Fatmawati.
"Mak! Bagaimana kalau Rosa marah nanti? Tanpa persetujuannya kita gak boleh gegabah, itu hak dia, Mak." Tegur Lutfi.
"Aku juga seorang wanita yang kehilangan orangtua saat usia masih muda, aku lebih paham bagaimana perasaan Rosa!" Tegas Fatmawati.
"Saya akan urus semuanya, permisi." Jeremy pergi melaksanakan tugasnya dari sang nyonya.
Dharma berjalan mendekati ranjang Rosa, ia membelai pipi yang basah oleh air mata. Air matanya berjatuhan mengenai tangan yang terasa dingin, mencium punggung tangan Rosa berulang kalisebagai tanda betapa ia sangat menyayangi Rosa.
"Maafkan aku, Rosa." Lirih Dharma.
"Untuk saat ini, jangan ada yang membahas atau bicara hal yang membuat Rosa sedih maupun mengingat kesedihannya. Dan, untuk sidang perceraiannya mohon di tunda dulu mengingat Rosa masih berkabung, tolong jangan temui Rosa sementara ini, aku akan memberikan ruang untuk Rosa menenangkan diri."Ucap Lutfi menatap Dharma.
"Mengerti, aku sangat mengerti, terimakasih sudah mau membantunya." Balas Dharma.
"Sekarang kalian pergilah, biar aku dan Lucy yang menemani Rosa sampai sadar, setelah itu aku akan membawanya pulang." Ucap Lutfi.
Kenny menggandeng tangan Dharma, ia menuntun majikannya untuk segera pergi dari rumah sakit sesuai permintaan Lutfi. Sementara Fatmawati, ia membisikkan sesuatu di telinga Lutfi sebelum pergi.
"Baik, aku mengerti." Ucap Lutfi.
Fatmawati pun tersenyum, ia mengusap punggung cucunya kemdian pergi keluar dari ruangan Rosa.
Di alam bawah sadarnya. Rosa berada di sebuah taman, di taman tersebut banyak sekali kupu-kupu dengan warna yang berbeda-beda dan juga berbagai ukuran. Bunga-bunga bermekaran di berbagai titik, Rosa duduk di sebuah ayunan dimana di sampingnya ada kedua orangtuanya yang tertawa melihat ia bahagia saat ayunannya di dorong.
Perlahan tubuh kedua orangtuanya menghilang, wajah Rosa langsung berubah bingung, ia langsung turun dari ayunannya dan segera mencari ayah dan ibunya.
"Ibu, bapak! Kalian dimana? Ayo main lagi,"
Kaki Rosa terus melangkah, namun tidak ada tanda-tanda kalau kedua orangtuanya ada di taman. Rosa mulai ketakutan, ia berlari kesana kemari mencari kedua orangtuanya dengan gelisah, namun hari semakin gelap gulita.
"Rosa."
Suara sang ibu memanggil. Rosa membalikkan tubuhnya, dari jarak 3 meter ibunya melambaikan tangannya. Rosa tersenyum dengan mata berkaca-kaca, ia segera berlari menuju sang ibu. Namun, ia bingung karena secepat apapun ia berlari tangannya tak mampu menggapai tangan sang ibunda.
"Kami pergi dulu ya, jaga dirimu baik-baik." Ucap Asep sambil merangkul istrinya, keduanya tersenyum dengan tangan melambai-lambai.
"Kami menyayangimu, sangat menyayangimu." Ucap Sumarni.
"Bapak, ibu! Jangan pergi." Rosa berlari ingin menahan, tetapi bukan jarak yang membuatnya kesulitan menggapai, namun bayangan yang semakin menghilang.
Tubuh Rosa kehilangan keseimbangannya, ia pun terjatuh.
"IBU, BAPAK!!" Rosa histeris.