Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cocok Buat Jadi Sniper
Setelah menangani cedera kaki Salsa, atas saran dari Dokter Kinar dari ortopedi, Salsa juga diperiksa ke poli mata oleh seorang dokter spesialis mata bernama Dr. Reza Jayadi.
“Dokter ini jago banget, dia termasuk Dokter papan atas tingkat nasional,” jelas Dokter Kinar.
Salsa mendaftar untuk bertemu Dr. Reza, sempat khawatir karena “dokter top” biasanya ramai banget, tapi ternyata… nggak perlu antre sama sekali.
Hatinya makin dag-dig-dug saat memasuki ruang praktik.
Berbeda dari Dokter Kinar yang tinggi, kurus, dan berpenampilan lembut, penampilan Dr. Reza malah wow.
Dia berambut cepak rapi, tinggi, berotot, sampai jas dokternya terlihat sesak karena ototnya yang kekar. Tangan besar dan tegas memegang pulpen, urat-uratnya menonjol. Aura kuatnya seolah bilang, “Kalau pasien bandel, saya juga bisa ajarin bela diri.”
Salsa menelan ludah. Waduh… jangan-jangan ini dokter galak yang bikin pasien takut.
Tapi pas Dr. Reza menatapnya, suara dalam, berat tapi berkarakter, membuat Salsa ciut:
“Salsa Liani? Berdiri di pintu buat apa? Masuk sini.”
Matanya tajam, alisnya tegas, membuat Salsa merasa seperti sedang dipanggil wali kelas. Perlahan-lahan dia melangkah masuk.
Dr. Reza melihat Salsa kecil itu, lalu mencoba menenangkan nada suaranya:
“Maaf, saya mantan dokter militer, suara saya memang terdengar keras. Tolong maklum ya.”
Salsa mengangguk cepat. Maklum kok… siapa juga yang berani nggak maklum?
Dr. Reza membuka catatan baru, menatap Salsa, “Keluhan mata apa?”
Salsa menarik napas panjang, mencoba menjelaskan sejelas mungkin.
“Saya rabun jauh banget, plus silinder. Sejak SD sudah pakai kacamata.”
Dr. Reza menatapnya dengan serius, mata Salsa bersih dan jernih. Ia mengerutkan alis. Salsa menunjukkan juga hasil pemeriksaan lama.
“Lalu tiga hari yang lalu saya demam tinggi, dan pagi ini pas bangun… rabun jauh saya sembuh!”
“Sekarang jarak jauh bisa kelihatan jelas, Dok.”
Salsa makin semangat sambil menahan meja.
“Dok, apa saya ini saraf mata saya kebakar karena demam?”
Dr. Reza terdiam. Kalau benar, ini berarti… keajaiban medis.
Setelah menenangkan diri, dia berkata:
“Tenang, kita periksa dulu.”
Serangkaian tes mata dilakukan dan hasilnya bikin kaget.
“Wah…hasil dari kedua matanya 5.3,” gumam Dokter Reza sambil menatap layar.
Salsa menatapnya, mata membesar. “Apa maksudnya itu, Dok?”
Dokter Reza tersenyum. “Artinya matamu super tajam. Mata orang normal biasanya cuma sekitar 1.0 atau 2.0. Jadi… kamu bisa lihat detail dari jarak jauh, kalau orang biasa butuh zoom 5x buat dapetin hasil yang sama dengan yang bisa kamu lihat.”
Dr. Reza menahan kagetnya, tapi tetap serius.
“Mata kamu normal, sehat sekali. Secara global, belum ada catatan rabun jauh sembuh total seperti ini. Kalau bertahan… kamu bisa jadi kasus pertama dunia.”
Dia bertanya, “Hari ini mata kamu sempat berubah atau kabur lagi?”
Salsa ragu sejenak, tapi jujur:
“Ada dua kali sempat kabur sebentar… tapi setiap kali habis itu muncul… semacam halusinasi, terus mata saya normal lagi.”
Dr. Reza makin penasaran, “Halusinasi? Bisa jelaskan?”
Salsa menunduk, malu-malu, “Saya nggak ingat detailnya. Kalau muncul lagi, saya akan catat.”
Bukan karena bohong, tapi… siapa tahu ada organisasi misterius yang kepo kalau dia bilang bisa lihat musibah orang lain.
Dr. Reza menangkap ada yang disembunyikan, tapi tak memaksa. Dari sudut pandang medis, fenomena mata Salsa tetap keajaiban.
“Jujur… saya juga nggak menemukan penyebabnya.”
Dr. Reza menyerahkan kartu nama.
“Kalau ada gejala aneh, hubungi saya. Kita cek lagi dalam 10–15 hari.”
Salsa menerima kartu dengan sopan.
“5.3 itu super tajam, bisa lihat detail kecil dari jarak 500 meter. Cocok kalau kamu mau jadi sniper,” candanya sambil tersenyum nakal.
Salsa kaget setengah mati.
“Dok… saya cuma baru lulus Kuliah, bukan pendidikan tentara!”
Dr. Reza tersenyum, “Santai, bercanda aja. Tapi serius, jangan dipakai terlalu capek matanya. Sesekali latihan mata dengan lihat jauh dan istirahat yang cukup.”
Salsa mengangguk, mencatat saran.
Saat itu, telepon Dr. Reza berdering, Salsa pamit keluar.
Dia sempat mendengar Dr. Reza mengeluh kecil ke telepon, “Kenapa pasien nggak ada yang datang?”
Salsa menahan tawa.
Kembali ke kamar, Salsa akhirnya bisa santai sambil scroll HP.
Di ranjang sebelah, seorang ibu lanjut usia dibantu perawat masuk, ngobrol seru soal gosip rumah sakit.
“Tahu nggak, istri bos besar di RS Nusantara lagi di OBGYN, katanya baru melahirkan anak perempuan…”
“Eh, katanya dia sempat pendarahan hebat, masih rawan.”
Salsa cuma tersenyum, dunia memang penuh drama…
Salsa Liani mengingat pesan Dokter Reza agar matanya istirahat sejenak. Akhirnya dia meletakkan ponsel, memutuskan untuk santai, dan mendengarkan gosip-gosip di sekitarnya buat mengusir bosan.
Di ranjang sebelah, seorang ibu-ibu dan perawat ngobrol dengan antusias sampai alisnya terangkat-angkat.
“Biasanya urusan para konglomerat ini, dengernya bikin telinga kapalan!” celetuk si ibu.
Perawat itu menunduk, menebar rahasia, “Tapi bos RS Nusantara, Pak Dono, itu lho… susah dicari tandingannya, manisnya bikin semua orang iri.”
Ibu itu langsung menegakkan telinga, penasaran, “Gimana maksudnya, Sus?”
“Istrinya masih dalam masa pemulihan pasca melahirkan. Kalau ada waktu, beliau nongol di depan ruang perawatan, bahkan beberapa dokumen ditandatangani di luar ruang perawatan. Banyak yang lihat, lho!”
Perawat menurunkan suara, “Dan Pak Dono tuh nggak pilih kasih sama gender. Lihat istrinya yang mengalami pendarahan parah pasca lahiran, dia nangis di luar ruang perawatan sambil bilang nggak mau punya anak lagi.”
Salsa mengangkat alis, terkejut. Jarang banget lihat orang kaya yang romantis dan setia begini.
Ibu itu juga tercengang, anting emasnya bergoyang seperti bandul jam, “Wah, berarti harta mereka yang nominalnya sembilan digit itu, kelak jatuh ke tangan si bayi perempuan itu, ya!”
RS Nusantara memang salah satu rumah sakit swasta ternama di Jakarta. Pasien yang datang rata-rata dari keluarga mampu—orang biasa jarang bisa masuk, mahal!
“Anak itu benar-benar dilahirkan dengan keberuntungan, deh,” gumam si ibu sambil terkagum.
Lalu ia menoleh ke perawat, “Kayaknya harus cari menantu yang cocok buat keluarga kaya itu, ya?”
Perawat tersenyum, “Pasti menantu yang ‘pas banget’.”
Ibu itu memicingkan mata, membayangkan cucunya yang dua tahun, “Hmm… nggak tahu deh, kalau cucuku usaha keras, bisa nggak ya masuk kriteria.”
Obrolan mereka mulai melenceng, membahas anak-anak mereka masing-masing. Salsa pun kehilangan minat mendengarkan—hidupnya nggak akan tiba-tiba kaya mendadak. Dia dan orang-orang kaya itu seperti hidup di dua dunia berbeda.
Meski begitu, keluarga Salsa cukup hangat—ayah, ibu, dan kakaknya selalu mendukungnya. Itu saja sudah membuatnya merasa cukup.
Untuk mengisi waktu, Salsa mengeluarkan pensil dan buku sketsanya, Salsa mulai mengikuti kursus menggambar di situs belajar online.
Soal perlengkapan hidup selama di rumah sakit, Salsa nggak bisa pulang ke kontrakan. Untungnya Dokter Kinar sangat perhatian, bahkan bersedia membelikan kebutuhan yang ia tulis di daftar belanja. Termasuk alat gambar!
Salsa sempat ingin mentransfer uang, tapi Dokter Kinar menolaknya. Waduh, bagaimana cara membalas budi ini, ya?
Dengan suara “shhh” dari pensil di kertas, sketsa demi sketsa mulai terlihat. Kali ini kursus mengajarkan analisis tulang kepala, alias menggambar tengkorak.
Sketsa tengkoraknya hampir sama dengan contoh di video. Sejak kecil, banyak yang bilang Salsa berbakat menggambar, tinggal kesempatan saja untuk serius. Sayangnya, keluarganya tidak mampu menyekolahkan ke seni rupa.
Untunglah, ia berhasil masuk universitas negeri kelas dua, meski jurusannya keuangan, bukan seni.
Empat tahun kuliah mengajarkan Salsa bahwa jurusan keuangan nggak terlalu “dekat” dengan kehidupan nyata—banyak teman kuliahnya memang ditakdirkan meneruskan bisnis keluarga.
Dulu di kamar asramanya terdiri dari empat orang, tiga teman lainnya berasal dari keluarga mampu. Salsa berusaha akrab, tapi kadang mereka berkelompok dan membuatnya terasa sedikit tersisih.
“Ding-dong.”
Ponselnya berbunyi. Salsa melihatnya—ternyata pesan dari mantan teman sekamarnya, Lina.
“Salsa, tanggal 27 bulan depan jam setengah enam sore, kita ada kumpul-kumpul alumni. Ini pertama kali setelah lulus tiga bulan. Jangan telat, ya. Balas kalau bisa.”
Salsa mendengus pelan. Kaget juga, mereka nggak tanya dulu, langsung jadwalnya dikirim seperti briefing kerja.
Masih sebulan lagi, dan Salsa sendiri belum tahu apa yang akan terjadi hari itu.
Tapi kebetulan, Lina ini penggemar berat tim renang nasional.
Sejak awal kuliah, Lina nggak terlalu suka sama Salsa. Alasannya? Nama mereka sama-sama pakai huruf L, “Liani vs Lina” gitu, bikin kesan aneh di matanya.
Salsa sih santai saja. Nama yang ia punya, dipilih ibunya dari puisi lama: “Liani, hadiah dari musim semi”—simbol bahwa Salsa adalah hadiah dari Tuhan buat keluarganya.
Di hari perkenalan kelas, Salsa sempat cerita soal asal-usul namanya. Tapi begitu giliran Lina, ia malah menyinggung Salsa dengan cara nyinyir: katanya nama Salsa dicomot dari puisi bajakan, sok puitis, nggak berkelas.
Salsa sempat malu di depan teman sekelas, pengalaman pertama yang bikin serba salah. Empat tahun kuliah, hal-hal nyebelin macam ini sudah biasa ia hadapi.
Salsa hendak menutup ponsel, tapi Lina terus mengirim pesan. Ponsel Salsa bergetar berkali-kali.
“Aduh! Ada anggota baru tim renang nasional nih! Masuk daftar kejuaraan dunia!”
“Katanya ini bibit atlet terbaik, cowoknya paling cakep yang pernah aku lihat di dunia renang!”
Lina itu nge-fans banget, kalau lihat atlet baru pasti heboh. Salsa awalnya mau cuek, tapi begitu kata “tim nasional” muncul, hatinya nggak enak.
Dia membuka grup chat kamar. Ada screenshot dan video yang Lina kirim.
Screenshot itu menampilkan foto resmi atlet—dan saat Salsa klik, jantungnya deg-degan. Cowok itu… adalah Reyhan Pratama! Ya, Reyhan yang tadi pagi ia tolong dan mengantarnya ke mobil menuju RS Nusantara sambil bawa kostum kodok.
Video itu juga jelas menunjukkan momen Salsa digendong dan diantar ke mobil oleh Reyhan.
Tentu saja, banyak orang melihat kejadian itu. Tidak mengherankan jika Lina, fans tim renang nasional sejati, langsung mengenali Reyhan.
Dua teman Lina yang lain cepat-cepat menimpali chat, memuji Reyhan:
“Cakep banget! Kalau jadi selebriti, pasti meledak!”
“Lina, coba beli tiket kejuaraan dunia, lihat langsung Reyhan bertanding.”
“Beneran, sekarang fansnya masih sedikit. Dengan wajah cantikmu, ngejar dia cuma soal waktu!”
Salsa sedang minum bubble tea, hampir tersedak pearl karena membaca chat itu.
Ia menatap ponsel, entah kenapa penasaran dengan cara teman-temannya merespons.
hebaaaaaatt Salsa 👍👍👍
lanjutt thor💪
ganbatteee😍