NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa -24

“Farah.”

Suara itu mengalihkan atensi Farah, perlahan ia menoleh mendapati Haris sedang berdiri menatapnya heran.

“Farah, eh maksud saya bu Farah,”ucap Haris pria itu telihat keheranan.

“Mas Haris? Kok disini?”tanya Farah.

Haris masih terlihat heran melihat Farah–gadis itu sedang berada di gedung apartemennya pada tengah malam.

“Saya tinggal di sini, Bu. Ibu ngapain datang di sini? Sudah jam dua belas malam, loh ini,” ujar Haris sambil melirik arloji di tangannya.

Farah gelagapan.“ Oh tadi habis jenguk teman kampus, dia tinggal disini Mas,”

Haris menelisiki wajah Farah heran. “Beneran bu,”

Farah mengangguk. “Beneran Mas Haris. Ini sudah mau pulang.”

“Dijemput pak Azzam kan bu?” tanya Haris.

Farah menggeleng pelan. “Nggak, saya pulang sendiri. Mas Azzam lagi sibuk.”

Haris semakin heran, apalagi setelah mendengar jawaban gadis di depannya itu.

“Kalau begitu, saya antar, Bu’. Sudah tengah malam, saya khawatir ibu pulang sendiri.”

Farah terkekeh pelan, tapi terdengar hambar. “Eh, nggak usah Mas. Saya bisa nginap di apart teman saya yang ada di lantai bawah,” pungkasnya.

Haris mengerutkan keningnya. “Bu Farah, baik-baik saja kan?”

Farah tergelak mendengar perkataan Haris. “Saya baik-baik saja, Mas. Kalau begitu saya pamit dulu ya, takut pintunya nggak dibukain karena orangnya sudah tidur.”

Haris tersenyum samar, diperhatikannya wajah gadis itu. “Iya Bu, hati-hati.”

Setelah berpamitan Farah pun bergegas pergi dari tempat itu, ia tidak ingin Haris semakin curiga kalau dirinya sebenarnya mengikuti Azzam sampai ke tempat ini, bisa-bisa Pria itu melaporkan semuanya pada Azzam.

Farah berjalan membelah malam Cannaregio. Kini sudah pukul satu dini hari waktu Venezia. Udara lembab kota kanal itu menggigit kulit, menusuk hingga ke tulang. Ia memeluk tubuhnya sendiri, hanya berbalut kaos putih tipis dan celana jeans longgar. Tak ada mantel, coat, atau syal yang melindungi.

Langkahnya cepat, menyusuri gang-gang sempit yang sepi tapi terasa aman, menyebrangi jembatan demi jembatan kecil yang membentang di atas kanal gelap, menuju apartemennya di Fondamente nove yang masih kawasan distrik Cannaregio.

Namun belum juga sampai, langkahnya tertahan. Farah menepi di tepi trotoar sempit, duduk di pembatas antara jalan dan kanal. Kakinya lurus, tubuhnya lelah, napasnya memburu.

Ia menatap air kanal yang tenang, diam. Hanya akan bergelombang jika perahu air melintas.

"Kamu terlalu bodoh, Fa. Bodoh. Sangat bodoh... Kamu terlalu percaya diri. Kamu lupa posisi kamu itu cuma istri kontrak," gumamnya. Suaranya menggantung di udara yang lembap.

Farah mengepal tangannya erat, buku-bukunya memutih. "Jangan pernah percaya satu hal, Fa... Cinta. Dan Tuhan. Dua-duanya cuma menghancurkan kamu." Lirih suaranya gemetar, terutama saat menyebut kata 'Tuhan'. Untuk kesekian kali, ia merasa enggan percaya lagi.

Ia bangkit. Baru saja akan melangkah kembali saat suara memanggilnya.

"Farah..."

Farah menoleh cepat. "Bang Almeer," sapanya dengan senyum yang entah datang dari mana.

"Kamu ngapain disini, tengah malam begini?" Almeer mendekat, memperhatikan Farah yang mulai menggigil.

Farah terkekeh pelan. "Lagi nyari angin, Bang."

Almeer ikut tertawa kecil, melepas mantel tebalnya dan menyampirkannya di pundak Farah. "Saya percaya kamu bener-bener lagi cari angin. Sampai menggigil begitu."

"Jangan, Bang..." Farah menolak halus. "Buat Abang aja. Saya sudah terbiasa nggak pakai mantel."

"Nggak apa-apa, Farah. Saya juga pengen tahu rasanya nggak pakai mantel di dingin kayak gini," katanya sambil tertawa khasnya.

Farah tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Abang masih ada kerjaan jam segini?"

Almeer menggeleng. "Enggak. Tadi dari apartemen, niatnya mau shalat tahajud di Masjid Al-Rahma," katanya sambil menunjuk arah masjid di seberang kanal. "Tapi lihat kamu, jadi saya samperin dulu. Khawatir."

Farah mengangguk samar. "Kalau begitu, Abang duluan, deh."

"Nggak apa-apa. Mungkin mau bareng ke masjid sekalian sholat? Setelah itu saya antar pulang."

Farah terdiam. Tadi ia mengutuk Tuhannya. Kini diajak kembali bersujud.

"Farah..." panggil Almeer lagi.

"I—iya, Bang."

"Ayo," ajaknya, kini beberapa langkah di depan.

Farah akhirnya ikut. Awalnya menolak dengan alasan bisa shalat di apartemen, tapi Almeer memintanya hanya menunggu sebentar sampai dia selesai.Mau tidak mau Farah akhirnya menurut dan mengikuti Pria itu.

Saat Almeer shalat, Farah duduk di pelataran masjid. Kakinya mengayun pelan. Tatapannya sesekali tertuju ke dalam, pada punggung Almeer yang khusyuk. Ada damai. Ada sesuatu yang memanggil jiwanya.

Dia tahu keutamaan shalat tahajud. Bahwa saat sebagian besar manusia terlelap, Allah turun dari Arsy-Nya dan mendengarkan hamba-hamba-Nya. Tapi kaki dan tangannya terasa berat. Bahkan terlalu berat.

Hampir setengah jam menunggu, pria itu akhirnya selesai menunaikan sholat. Ia keluar menemui Farah, wajahnya tampak segar, dengan sisa-sisa air wudhu masih menetes di rambutnya.

"Maaf nunggu lama,”ujar Almeer.

Farah tersenyum. "Nggak apa-apa, Bang."

Kini mereka berjalan kembali menyusuri lorong-lorong Cannaregio yang sepi. Cahaya lampu jalan memantul di permukaan kanal. Apartemen Farah menjulang, bangunan tua yang direstorasi dengan gaya klasik khas Venesia.

Farah melepas mantel yang dipinjamkan Almeer padanya tadi dan mencerahkan kembali.

"Makasih, Bang, sudah nganterin."

Almeer tersenyum, berkata pelan, "De gnente,"(sama-sama).membuat Farah terkekeh kecil.

"Saya masuk dulu, Bang."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Farah berbalik. Tapi sebelum benar-benar masuk, ia memanggil, "Bang Almeer."

Almeer menoleh. "Iya, Farah?"

Farah tampak ragu, lalu berkata, "Soal ajakan taaruf, Bang Almeer... Boleh kalau saya jawab setelah S2 saya selesai, Bang?"

Almeer tersenyum. Ada getir di sana. Tapi matanya tetap teduh. "Saya akan menunggu jawaban kamu, Farah. Kapan pun itu."

Farah tahu dia tidak boleh memberi harapan. Ia masih istri Azzam. Tidak boleh ada hati yang salah tempat.

Almeer pun berbalik pergi. Mungkin kecewa, tapi ia tak menunjukkannya. Farah menatap punggungnya hingga hilang di balik lorong.

Ketika Farah hendak berbalik masuk, matanya bertemu sosok Azzam. Berdiri bersandar di tiang gedung apartemen, tangan menyilang di dada, menatap tajam.

Farah tetap melangkah. Melewati Azzam begitu saja. Tanpa menyapa. Tanpa mengindahkan.

Yang perlu ia lakukan saat ini adalah menjaga jarak dari luka. Tidak meletakkan hatinya di tempat yang salah. Tidak lagi.

***

Hari-hari Farah kini dipenuhi garis-garis. Bukan garis hidup, tapi sketsa, denah, dan arsiran tata ruang kota yang membentang dari dinding ke meja. Tugas kuliah yang semakin padat menahannya dalam pusaran riset, hingga apartemen mewah di pinggiran Venezia tak lagi terasa seperti tempat tinggal—lebih seperti studio lapangan yang tidak pernah tidur.

Kampus IUAV pusat di Tolentini menjadi rumah kedua. Di sanalah Farah menghabiskan waktu, menyusuri lorong-lorong perpustakaan, menyentuh peta tua, menyimak siluet kota dari jendela tinggi yang terbuka ke arah kanal. Tangannya sibuk dengan pena, matanya lelah membaca, tetapi pikirannya tak berhenti memetakan dunia.

Sebagai mahasiswi arsitektur pascasarjana, riset bukan hanya beban, tapi juga semacam pelarian. Venezia, kota dengan sejarah dan luka di tiap sudut batunya, terasa begitu selaras dengan hidup Farah yang juga tengah retak dalam diam.

Hari ini pun tak berbeda jauh dari hari-hari sebelumnya.Ia baru saja pulang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Farah menjatuhkan tubuh ke sofa dengan sisa tenaga. Kepala terasa berat. Rasa pusing datang seperti tamu tanpa diundang, karena seharian berkutat dengan sketsa dan analisis pengembangan kota. Jemarinya masih bau tinta dan matanya merah karena kurang tidur.

Setelah berdiam beberapa menit, ia memaksa bangkit. Langkahnya berat menuju kamar. Air hangat dari pancuran hanya sedikit menenangkan syarafnya. Ia berharap bisa meredakan sakit kepala dan rasa lelahnya.

Namun saat ia membuka pintu kamar mandi, ia terkejut saat melihat Azzam—Pria itu tengah berdiri di sana. Diam. Memandangnya dingin.

"Kita perlu bicara," ucap pria itu dingin.

Farah menarik napas pendek. “Aku capek Mas, mau istirahat,” jawabnya singkat.

Suaranya datar. Ia berjalan melewati Azzam, masuk ke waroabe untuk berganti pakaian.

Azzam tak bergerak. Menunggu di sisi ranjang, duduk dalam sunyi yang kian tebal.

Beberapa menit kemudian, Farah keluar. Ia langsung menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Membelakangi Azzam.

Sejak malam itu, tak ada lagi sapa, tak ada lagi percakapan yang hangat. Yang tersisa hanya diam, seperti kanal di musim dingin—terlihat tenang, tapi dinginnya menggigit hingga tulang.

Azzam masih di posisinya. Ragu. Lalu ia ikut berbaring perlahan. Menatap punggung Farah.

Ia mengangkat tangannya. Pelan. Hendak menyentuh rambut istrinya.

Namun saat jemarinya nyaris menyentuh—

“ Stop … jangan coba-coba kamu sentuh aku… setelah menyentuh wanita lain,” Farah masih membelakanginya, tapi suaranya jelas. Tajam, dingin.

Azzam membeku. Tangannya perlahan turun. Jari-jarinya mengepal.

“Apa maksud kamu?”

“Jangan munafik.” Kata Farah menukik tajam, tanpa darah.

Dengan cepat, Azzam menarik tubuh Farah. Menindihnya. Mata mereka kini saling bertemu amarah terpancar dari netra keduanya.

“Lantas, apa sebutan yang pantas untuk seorang istri yang masih berhubungan dengan laki-laki lain?” ucapnya tajam menusuk.

Farah tersenyum sinis. Bukan menjawab, justru balik bertanya.

“Lantas… sebutan yang pantas untuk seorang suami yang bermesraan dengan wanita selain istrinya di dalam apartemen?”

Deg.

Hening mengeras di udara.

Azzam perlahan bangkit, melepaskan tubuh Farah. Farah pun duduk bersandar di headboard, matanya tak berkedip menatap dinding kamar yang kosong.

“Malam itu … Kamu?” bisik Azzam.

“Iya… aku tahu semuanya Mas, kamu tidak akan pernah meninggalkan wanita itu kan.” Farah menatapnya lurus. “Berhenti umbar rasa ke siapa pun… kalau Mas sendiri nggak bisa tanggung jawab sama apa yang Mas beri.”

Kalimatnya runtuh seperti palu di dada Azzam.

Azzam kembali mendekati Farah. “Saya bisa jelaskan semuanya.”

Smirk menghiasi wajah gadis itu. “Aku nggak butuh penjelasan kamu Mas. Aku sudah dengar semuanya.”

Sebelum melangkah keluar kamar Farah kembali berucap. “Cukup aku yang sudah kamu bodohi Mas. Mbak Sienna Jangan dia terlalu lemah untuk kehilangan kamu.”

Pria itu tak putus asa ia mengejar Farah, menarik lengan gadis itu agar mau mendengarkannya.

“Fa… dengarkan saya dulu. Yang kamu dengar malam itu, hanya untuk menenangkan hati Sienna,” ungkap Azzam.

Farah mendecit kesal. “Mau sampai kapan kamu memberinya harapan Mas? Nikahi dia Mas?!”

“Itu tidak akan terjadi Fa,” sahut Azzam, netranya tajam. Pria itu diam sejenak, lalu berucap, “Saya hanya menikah sekali saja. Hanya kamu istri saya, status kamu akan tetap sama sampai kapanpun.”

Farah mengeleng tidak percaya. “Aku mau kita pisah Mas!”

Dengusan sinis terdengar dari pria yang kini menatap Farah tajam. “Kamu dengarkan apa yang saya ucapkan. Sekali kamu masuk di hidup saya, kamu tidak akan pernah bisa lepas, Faradanilah Al Jannah. Jangan coba-coba pergi dari hidup saya.”

Farah melongo. “Gila kamu Mas!”

Azzam tersenyum miring. “Mau dengar hal lebih gila lagi yang sudah saya lakukan?”

Farah terdiam menunggu pria itu kembali berbicara.

Azzam mendekati Farah, menangkup kedua pipi gadis itu. “Saya sudah meresmikan pernikahan kita secara hukum dan negara. Kalau kamu berani menggugat cerai saya… Adhyaksa Corp resmi menjadi milik saya.”

Farah membelalak. “Mas!”

Azzam menunduk sedikit, senyumannya semakin dingin. “Jadi… sekarang, pilihan ada ditanganmu sayang, mau tetap jadi istriku atau—”

.

.

.

.

TBC

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!