Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?
Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kitchen Island II
...୨ৎ R E M Yજ⁀➴...
Aku duduk di seberang Carbie, mengecek jadwal armada yang sedang berlayar di laut.
“Kiriman dari Braun bakal sampai tepat waktu, kan?” tanyaku.
Carbie mengangguk santai. “Iya. Selasa sebelum makan siang, udah tiba.”
Orang ini mirip banget sama aku, serius, pendiam, dan hidupnya kayak orang yang pertapa. Tapi dia setia, kerja keras, dan itu sudah cukup buat aku.
HPku bergetar. Begitu aku lihat, ada pesan masuk dari Benny.
...📩...
^^^Benny: Kita hampir selesai, Bos. Ree tanya boleh enggak mampir ke rumah lamanya buat ambil bahan-bahan Cannoli?^^^
Aku mendesah pelan. Amilio masih di rumah sakit, dan aku jelas enggak mau Rainn tahu, apalagi dekat-dekat rumah Amilio.
Aku: Enggak usah. Jangan biarin dia ke sana. Ajak aja belanja.
^^^Benny: Siap, Bos.^^^
Aku masukkan lagi HP ke saku, mataku sempat menemukan pandangan Carbie, terus aku menceletuk, “Ngomong-ngomong, aku udah nikah.”
Kedua alisnya langsung naik tinggi. “Seriusan?!”
Aku menyeringai tipis. “Aku pernah becanda?”
Dia menggeleng pelan. “Enggak pernah. Ya udah, selamat deh. Semoga pernikahannya lancar.”
“Thanks.”
Kami lanjut kerja lagi. Begitu semua kapal selesai dicek statusnya, aku berdiri dan bilang, “Terusin, good job!”
Dia mengangguk. “Kapan kamu pergi bulan madu?”
Aku sempat bengong. “Bulan madu?” Ide itu bahkan belum sempat terpikirkan di kepalaku. “Enggak ada bulan madu. Tapi aku bakal bawa istriku ke Langkawi. Biar dia kenal keluargaku.”
“Oke, kabarin kalau kamu udah di luar negeri.”
“Pasti.”
Aku berdiri, jalan ke arah pintu. “Sampai ketemu minggu depan.”
Begitu keluar dari gudang pengiriman, Big Jonny sudah menunggu di samping mobil, seperti biasa.
Dia langsung bukakan pintu belakang buat aku. Aku masuk, dan begitu dia duduk di kursi kemudi, aku bilang, “Cek dulu, Rainn punya paspor atau belum. Kalau belum, urus secepatnya.”
Dia menengok lewat spion, “Ini buat perjalanan ke Malaysia, Boss?”
“Iya. Aku baru ingat.”
“Siap. Aku mulai urus besok pagi.” Dia melirik jam dan mengeluh, “Sial, besok Sabtu. Oke, aku urus Senin.”
Beberapa detik hening, terus dia tanya, “Kamu libur weekend ini?”
Aku mendengus pelan. “Aku enggak pernah liburan weekend.”
Dia menyeringai. “Tapi sekarang kamu udah nikah, Bos.”
Aku melirik keluar jendela, berpikir. “Iya juga, sih. Aku harus ngabisin lebih banyak waktu sama Rainn.”
Alisku berkerut, memikirkan hal-hal apa saja yang bisa aku lakukan bersama dia selain cuma ngenskuy di rumah.
Big Jonny seperti bisa baca pikiranku. “Ajak aja makan malam di Rosemary. Atau nonton, kek.”
Aku tertawa. “Aku, nonton? Kamu lucu juga.”
“Ya udah, kalau gitu tanya aja apa yang dia mau lakuin. Cewek itu suka kalau cowoknya peduli, Bos. Itu bikin mereka merasa kamu serius.”
Aku mendecak. “Aku tanya sekali, kamu malah jadi motivator.”
Dia tertawa keras. “Bos, aku kan ahli urusan wanita. Percaya deh, kamu lakuin hal yang mereka suka, nanti mereka juga .…”
Dia sengaja berhenti di tengah kalimat.
Aku menyipit. “Juga apa?”
Dia menyeringai lebar. “Boss tahu lah. Mereka bakal … klepek-klepek di ranjang.”
Aku malas banget membayangkan kehidupan seks dia, jadi aku mengeluh, “Udah, diam.”
Tapi sial, Aku enggak bisa nahan diri buat enggak senyum saat membayangkan itu.
Aku buka pintu mobil, dan aku bilang, “Kamu boleh libur malam ini. Aku tidur di rumah sama Rainn.”
“Siap, bos.”
Kita berpisah di depan rumah, dan begitu aku masuk ke rumah besar, aroma masakan langsung menyerang hidungku. Perutku langsung berbunyi, mulut pun ikut berair.
Saat aku dekati dapur, terdengar suara Benny, “Ini makanan terenak yang pernah aku makan, sumpah.”
“Bagus. Cepatan makan, Remy bentar lagi pulang, dan aku masih harus siapin meja,” jawab Rainn, suaranya sibuk tapi lembut.
“Aku bawa makanannya, ya. Makasih, Ree,” kata Benny sambil pergi, masih mengunyah potongan daging. Saat dia melihatku, dia bergumam, “Hei, Bos.”
“Dia hari ini baik-baik aja?” tanyaku.
Benny mengangguk pelan sambil menelan makanannya. “Lebih dari baik, Bos.”
“Bagus.” Aku lambaikan tangan, kasih kode dia bisa pergi. Begitu Benny keluar, aku jalan masuk ke dapur.
Dan ....
Aku langsung berhenti.
Rainn berdiri di depan kompor, pakai gaun biru bermotif bunga. Kainnya jatuh lembut sampai ke mata kaki, rambutnya dikepang tapi ada beberapa helai ikal yang terjatuh bebas. Dia kelihatan cantik banget.
Saat dia menengok, napasku sempat hilang sepersekian detik. Ini baru kedua kalinya aku melihat dia pakai makeup, tapi efeknya, sumpah, menggoda banget.
“Kamu kelihatan luar biasa,” kataku, benar-benar kagum.
Dia senyum malu-malu sambil jalan ke arahku. Tatapan matanya tenang, enggak ada rasa takut seperti dulu.
Tangannya menyentuh dadaku, lalu naik melingkar di leher, menatapku lebih dekat. Dia kecup pipiku pelan, lama, enggak mau buru-buru melepaskannya. Napasnya hangat di kulitku saat dia berbisik, “Makasih buat semuanya, Remy.”
Tanganku refleks menyangkut di pinggulnya, mata kita bertemu, dan aku bergumam, “Sama-sama.”
Wajah kita teramat dekat, berbahaya banget. Tatapan dia turun ke bibirku, dan aku harus tahan diri sekuat tenaga agar enggak langsung cium dia di tempat.
Sebelum aku sempat kalah, dia mundur pelan dan melihat ke arah kompor. “Makan malam siap dua puluh menit lagi.”
Aku mengangguk. “Aku mandi dulu, ya.”
Aku baru mau keluar, tapi dia memanggil pelan, “Remy.”
Aku pun menengok.
“Makasih udah berusaha sejauh ini. Aku tahu ini enggak gampang. Tapi ... aku merasa istimewa hari ini.” Pipinya merah, senyumnya lembut.
Aku tersenyum. “Senang dengar itu.”
Aku pergi ke kamar buat ganti baju, masih dengan perasaan aneh, antara bangga, lega, dan horny tentunya.
Begitu masuk kamar, aku langsung buka lemari dan mengecek semua baju yang dia beli. Untungnya, semuanya pakaian sopan. Aku puas. Fafa memilihnya dengan benar.
Aku ambil celana jeans dan kaos, terus masuk kamar mandi. Di sana, ada sampo, kondisioner, sabun baru, bahkan parfum kecil. Aku ambil parfumnya, hirup pelan. Wangi itu, wangi Rainn.
Aku hafalkan namanya.
Aku taruh baju di meja, menyalakan shower. Air mulai hangat, Aku lepas jas, melangkah di bawah semprotan, dan merasa rileks banget.
Pikiranku melayang ke weekend ini. Biasanya aku enggak pernah libur, tapi sekarang?
Ada alasan aku buat tinggal di rumah.
Aku bakal habiskan waktu bersama Rainn. Aku ingin lebih mengenal dia. Dan kalau waktunya tepat, aku juga berniat bikin dia menjerit, mendengus, melenguh, dan mendesah di ranjangku.
Sepertinya, dia sudah cukup pulih buat melakukan itu.