NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:266
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2 MASALAH DALAM 1 RUANG

Ruangan kerja Marckno terasa seperti ruang interogasi yang sempit, dindingnya yang dilapisi peta operasi dan layar monitor kini jadi saksi bisu ketegangan yang memuncak. Udara berat oleh aroma kopi dingin dan kertas tebal, lampu neon di atas kepala berkedip pelan seperti mata yang ragu. Rom berdiri kaku di tengah, punggungnya menempel dinding seolah ingin menyatu dengannya, wajahnya masih merah membara dari ledakan tadi—tapi sekarang, amarahnya bergeser jadi tegang yang menyiksa, seperti tali yang ditarik dari dua ujung. Dua perwakilan Air-Rium—Pak Budi, pria paruh baya berjas kusut dengan kacamata tebal, dan Bu Sari, wanita tegas berambut pendek yang tangannya selalu siap mencatat—berdiri saling berhadapan dengannya, tak memberi celah. Mereka seperti penjaga gerbang yang tak kenal ampun, mata mereka menatap Rom dengan campur simpati palsu dan tuntutan dingin.

Rom melirik Elesa sekilas, hatinya mulas—dia duduk di kursi sudut, tangannya sibuk memainkan ujung jilbabnya, melipat-lipat kain itu pelan seperti mencari pelarian dari kekacauan. Biasanya, Elesa yang pertama loncat bicara, suaranya tegas memotong angin debat seperti pisau. Tapi sekarang? Wajahnya agak tegang, bibirnya mengerucut tipis, seolah nggak nyaman dengan Rom yang terlalu maksimal—terlalu panas, terlalu mentah, seperti api liar yang bisa membakar semuanya. "Dia pasti mikir aku kelewatan," gumam Rom dalam hati, rasa salah menyelimuti dada seperti kabut pagi. Belum satu pesan pun dari Elesa yang dibalas—lima pesan itu masih menggantung di ponselnya, penuh penyesalan dan kekhawatiran, dan sekarang, di depan matanya, dia main jilbab seperti anak kecil yang gelisah.

"Aku... aku nggak bilang ini gampang, Pak," kata Rom akhirnya, suaranya serak tapi tegas, tangannya naik ke arloji di pergelangan—sentuhan ritualis, seperti mencari waktu yang bisa mundur. "Tapi serius, aku bahkan nggak pernah diajarin komando udara. Darat aja belum pernah—aku tentara lapangan, bukan pilot atau strategi langit. Ini... ini kayak suruh ikan terbang tanpa sayap."

Pak Budi dari Air-Rium mendengus pelan, mendorong kacamatanya naik dengan jari telunjuk, gesturnya seperti hakim yang bosan dengar alasan. "Maaf, Pak Rom, tapi helikopter-helikopter itu permintaan Militaryum yang Anda sendiri buka. Kami kirim tiga unit—Apache, evakuasi, perang biasa—karena instruksi dari sini. Kalau sekarang mundur, siapa yang pegang kendali? Kami nggak bisa asal kirim aset tanpa komando jelas."

Bu Sari mengangguk cepat, map di tangannya terbuka setengah, jarinya menunjuk baris data. "Benar. Kami sudah koordinasi dengan Rahman—salah satu pilot andalan kami. Dia bilang siap di bawah komando Anda. Jadi, ini bukan soal kemampuan, Pak. Ini tanggung jawab."

Rom gelengkan kepala, langkahnya maju selangkah tapi mundur lagi, tangannya meremas ujung baju seragam seperti ingin merobeknya. "Bukan gitu maksudku. Aku bukan nggak mau tanggung jawab—sial, aku yang pertama lompat ke lapangan kemarin! Tapi tugas ini... jauh dari genggaman aku. Aku bisa pegang senjata, evakuasi darat, tapi komando heli? Itu beda dunia. Aku bahkan nggak tahu bedanya rotasi blade sama rotasi bumi!"

Marckno, yang selama ini diam di belakang meja seperti patung batu, akhirnya angkat bicara. Tubuhnya tegap, tangan kanannya menekan meja pelan—gestur tenang yang biasa ia pakai buat redakan badai. "Rom, santai. Kami paham ini mendadak. Makanya, besok pagi Anda jalani pelatihan singkat—dua jam di simulator Air-Rium. Elesa bisa dampingi, dia instruktur terbaik untuk strategi udara. Ini bukan lompat ke jurang tanpa parasut."

Rom tersentak, mata melebar ke Marckno, lalu balik ke Elesa—dia masih main jilbab, tapi sekarang tatapannya naik sekilas, campur kaget dan... apa? Ketidaknyamanan yang lebih dalam? "Pelatihan? Sekarang? Pak, ini terlalu tiba-tiba! Kemarin aja aku hampir mati gara-gara heli telat, sekarang suruh aku belajar terbang dalam semalam? Ini bukan latihan bootcamp, ini nyawa tim!"

Bu Sari angkat alis, suaranya naik nada tipis seperti nada protes yang dibungkus sopan. "Pengunduran Anda tadi juga tiba-tiba, Pak Rom. Kami datang pagi-pagi bawa data baru soal mafia, dan boom—'Aku resign!' Kalau semua begini, misi besok gimana?"

Marckno angkat tangan, gesturnya seperti wasit yang hentikan tinju. "Sudah, sudah. Rom, coba dulu. Satu misi—besok subuh ke gudang Ciliwung. Kalau nggak cocok, kita rotasi ke Juliar. Tapi jangan buang peluang ini. Kau punya insting, Rom. Arloji mu itu bukti—selalu tepat waktu di momen kritis."

Elesa masih diam, jarinya sekarang melingkar ujung jilbab lebih kencang, kain itu kusut seperti pikirannya. Rom lirik lagi, rasa salahnya tambah dalam—kenapa dia nggak bicara? Biasanya dia yang selamatkan situasi, tapi sekarang seperti penonton yang gelisah. "Elesa... tolong bilang sesuatu," pikir Rom, tapi mulutnya cuma keluar kata-kata penolakan lagi. "Pak, bahkan aku belum resmi jadi komando helikopter. Surat perintahnya mana? Ini kayak suruh aku pimpin parade tanpa seragam!"

Pak Budi gelengkan kepala, suaranya tegas tapi ada nada lelah. "Kami nggak punya pilihan, Pak. Rahman sudah setuju—dia bilang, 'Rom punya nyali, meski belum latihan.' Kami pinjamkan heli karena kepercayaan itu. Kalau mundur sekarang, aset kami stuck di sini."

Marckno menyela cepat, suaranya rendah tapi berbobot seperti palu hakim. "Bukan cuma kau yang merasa didesak, Rom. Ingat awal kau minta helikopter? Militaryum juga kayak dipaksa tiba-tiba—mafia bocorin data kami, video istri saya nyebar lagi di dark web. Kami desak Air-Rium saat itu, tapi kami kerjasama. Sekarang giliran kau."

Air-Rium—Pak Budi dan Bu Sari—langsung siap tambah argumen, mulut Budi terbuka lebar, tapi Rom lebih dulu sela, suaranya naik seperti peluru yang lolos magasin. "Itu berbeda, Pak! Saat permintaan helikopter, semua tim setuju—Shadaq, Juliar, bahkan polisi sipil bilang oke. Tapi posisi aku? Ini desakan sepihak! Kalian suruh aku pegang langit tanpa tanya apa aku siap!"

Bu Sari pura-pura tersinggung, tangannya naik ke dada seperti aktris drama, matanya melebar. "Desakan sepihak? Permintaan helikopter juga sepihak, Pak Rom! Keputusan dibuat Militaryum sepenuhnya—kami cuma eksekutor. Kami kirim aset tanpa debat, meski gudang kami kosong karena ini."

Rom maju selangkah, tangannya mengepal, wajahnya panas lagi—tapi kali ini bangga, seperti tentara yang pegang bendera robek. "Lah, itu beda lagi! Mesin helikopter itu kebutuhan dasar—daripada musuh curi kode nuklir atau jual video ginekologi lebih banyak, mending tangkap dulu pakai heli! Kalau nggak ada sayap, kita cuma lari di tanah, Pak. Ini pertahanan negara, bukan permainan monopoli!"

Marckno angkat tangan lagi, suaranya tegas memotong angin panas. "Cukup. Rom, jelasin kejelasannya—apa rencana terbaik menurutmu? Kita nggak bisa debat kosong. Mafia gerak besok, data bocor pagi ini."

Pak Budi langsung potong, suaranya cepat seperti tembakan mesin. "Maaf, Pak Marckno—tapi Air-Rium nggak mau turun tangan lagi. Kami sudah turunkan heli beserta pilot—tiga unit, lengkap. Lebih dari itu, kami nggak bisa. Ini batas kami."

Rom tertawa sinis, suaranya bergema pelan di ruangan—bangga, tapi menyudutkan. "Turun heli dan pilot? Itu doang? Kalau begitu, Air-Rium makan gaji buta! Kalian punya armada langit, tapi cuma kirim besi terbang tanpa gigi. Kami di lapangan mati-matian, kalian duduk di kantor hitung jam penerbangan?"

Bu Sari tersentak, wajahnya memerah, tangannya hantam meja pelan. "Apa-apaan ini? Anda ngarang, Pak Rom! Kami sudah partisipasi—pilot kami ikut misi kemarin, hampir kena tembak!"

Rom nggak mundur, matanya menyipit seperti elang yang lihat mangsa. "Ngarang? Kalian yang terus tolak pasukan tambahan! Sama saja nggak mau berpartisipasi dalam misi. Kami butuh dukungan udara penuh, bukan setengah hati. Rahman aja bilang heli kurang cover—kalau nggak tambah skuadron, musuh kabur lagi!"

Elesa dan Marckno terkejut—Elesa berhenti main jilbab, tangannya jatuh ke pangkuan, mata melebar ke Rom seperti baru sadar badai ini. Marckno mundur selangkah di kursinya, alis terangkat tinggi. "Rom... detail itu baru? Kami nggak dengar soal tolak pasukan tambahan."

Rom angguk tegas, suaranya naik jadi pidato singkat—solidaritas tentara mengalir dari lidahnya seperti darah panas. "Iya, Pak. Solidaritas tentara itu nyata—Militaryum kerja sama dengan kepolisian, orang-orang besar negara, bahkan rakyat sipil untuk misi ini. Juliar pimpin 20 pasukan darat, Shadaq rekam koordinasi, polisi blokir jalan pinggir Jakarta. Tapi peran Air-Rium di pertahanan negara apa? Kalau terus tolak terlibat, kalian cuma jadi penonton—bukan pemain!"

Pak Budi buru-buru cari validasi, tangannya merogoh saku jas, keluarin ponsel seperti tameng. "Tunggu! Kami punya laporan—kami sudah koordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Ini bukan tolak, ini protokol! Pilot tambahan butuh approval 48 jam, dan misi besok subuh—kami nggak bisa asal lompat!"

Bu Sari angguk cepat, suaranya defensif. "Benar! Kami bela diri di sini—aset kami mahal, nyawa pilot juga. Kalau turun lebih, risiko kami naik. Militaryum yang minta, kami yang tanggung!"

Rom potong lagi, suaranya tegas seperti perintah lapangan, tangannya menunjuk ke arah mereka. "Protokol? Approval? Itu alasan! Air-Rium harus segera tindakan—turunkan heli beserta pilot nggak bantu apa-apa kalau cuma parkir di markas. Air-Rium sendiri yang harus ikut bertugas! Mesin langit sekaligus tentara udara—kalian punya skuadron, punya pelatihan, kenapa cuma jadi kurir besi? Ini perang data, mafia jual identitas kami seperti permen—kalau nggak full force, kita kalah sebelum mulai!"

Ruangan hening sejenak, hanya detak arloji Rom yang bergema pelan, seperti jantung yang menunggu vonis. Elesa akhirnya angkat bicara, suaranya lembut tapi tegas, jilbabnya sudah rapi lagi di tangannya. "Rom... cukup. Mereka sudah kasih apa yang bisa. Besok, kita coba strategi dasar dulu." Tatapannya ke Rom penuh campur—kekaguman tersembunyi, tapi juga khawatir yang dalam.

Marckno mengangguk pelan, tangannya merapikan map di meja. "Setuju. Rom, kau punya poin—tapi debat ini nggak selesaiin mafia. Besok subuh, heli naik. Air-Rium, tambah satu pilot cadangan malam ini. Kita kerjasama, bukan saling tuduh."

Pak Budi dan Bu Sari saling pandang, mengangguk kaku. "Baik, Pak. Kami usahakan." Mereka bangkit pelan, mundur seperti tentara yang kalah pertempuran kecil.

Rom tarik napas panjang, bahunya merosot—kemenangan pahit, tapi rasa salah ke Elesa masih mengganjal. Saat ruangan mulai kosong, ia ingin dekati dia pelan, tapi sragam dan tempat sepertinya tak mendukung untuk ini senyum kecil melintas di wajah Rom, bukan senyum bahagia yang utuh tapi rasa syukur masih bisa menatap Elesa .

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!