NovelToon NovelToon
Fajar Kedua Sang Sayyidah

Fajar Kedua Sang Sayyidah

Status: sedang berlangsung
Genre:Kontras Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Fantasi Wanita / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: INeeTha

Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.

Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.

Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.

Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah Pertama Sayyidah

“Berani sekali kau bicara begitu pada abuki sendiri?!”

Nada suara Sayyid Zahir Al-Muntasir meninggi. Wajah yang biasanya tenang dan berwibawa kini tampak retak oleh amarah. “Yasmeen, sebagai seorang putri, sudah seharusnya kau bersikap lembut dan tahu sopan santun!”

Sayyidah Yasmeen Azmira menatapnya datar, matanya tajam seperti pasir hitam gurun di malam hari.

“Dulu, saat Jaddī masih hidup, beliau tidak pernah mengajariku begitu,” ucapnya pelan tapi jelas. “Beliau berkata, dunia ini keras pada perempuan. Karena itu, perempuan harus belajar berdiri sendiri, kuat, dan menjaga harga dirinya.”

Ucapan itu membuat wajah Sayyid Zahir kaku sesaat, seolah tersedak udara. Emir tua itu, Abī dari mendiang Sayyidah Ameera, memang dikenal aneh di mata para bangsawan gurun.

Ia menikahi wanita dari keluarga prajurit rendah, hanya memiliki satu anak perempuan, dan tidak pernah mengambil selir.

Ketika putrinya wafat muda, ia tidak mencari keturunan lain. Sebaliknya, ia mengangkat cucunya, Sayyidah Yasmeen, sebagai pewaris tunggal Emirat Nayyirah. Bahkan gelar bangsawan dan seluruh kekayaan keluarga ia serahkan padanya.

Dan kini, semuanya berada di tangan Yasmeen, cucu perempuan yang seharusnya hanya menjadi pelengkap dalam istana lelaki.

Sayyid Zahir mengepalkan tangan di balik jubahnya. Semua itu seharusnya jadi milikku.

Namun Yasmeen tidak memberinya waktu untuk bicara.

“Urusan ini biar aku yang putuskan sendiri,” ucapnya dingin. “Abī sebaiknya pulang saja… temani Roobbatun Mehra dan anak-anak Abī.”

Sayyid Zahir tertegun. Ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk membalas.

Ia memaksa tersenyum kaku. “Baiklah. Kau istirahatlah. Nanti Abī datang lagi.”

Ia membungkuk sedikit, lalu berbalik pergi. Langkahnya tenang, tapi urat di pelipisnya menegang.

Yasmeen tidak menatap kepergiannya.

Umm Shalimah, pengasuh yang sudah bersamanya sejak kecil, baru sadar setelah semuanya terjadi. Ia buru-buru mengikuti dan mengantarkan Sayyid Zahir keluar dengan hormat.

Sayyid Zahir masih bisa menampilkan senyum ramah. “Umm Shalimah tak perlu repot. Yasmeen hanya sedang banyak pikiran. Temani dia baik-baik.”

“Baik, Tuan,” jawab Umm Shalimah sopan, menunduk.

Begitu punggung pria itu menghilang di balik lengkungan gerbang batu pasir, Umm Shalimah menarik napas panjang. “Ya Allah…” gumamnya lega. “Hari ini Putri sungguh berbeda…”

Namun di balik keterkejutan itu, ada sedikit kepuasan.

Kata-kata Putri tadi memang… sangat menyejukkan hati.

Umm Shalimah melangkah cepat kembali ke kamar Yasmeen, tapi sebelum ia sempat bicara, sang putri sudah membuka suara lebih dulu.

“Umm Shalimah,” bisiknya lirih, “tadi malam aku bermimpi. Emir Jaddī datang menemuiku.”

Mata Umm Shalimah langsung berbinar. “Emir Nayyirah? Arwah beliau memberi Putri petunjuk?”

Yasmeen mengangguk pelan. Tatapannya menerawang. “Beliau bilang, aku tidak boleh meninggalkan Emirat Nayyirah. Dan siapa pun yang berani mengincar warisan Emir… tangannya harus dipotong.”

Umm Shalimah menutup mulut, air matanya menetes tanpa sadar. “Alhamdulillah… akhirnya roh Emir masih menjaga Putri…”

Ia tahu betul, Emir Nayyirah dulu sangat mencintai cucu semata wayangnya itu dan selama setahun terakhir, Sayyid Zahir semakin terang-terangan mencoba mengambil alih urusan istana.

Beberapa pelayan sudah mulai beralih loyalitas, mencium peluang kekuasaan. Namun, Umm Shalimah tak pernah berani bicara, karena tidak ingin menghancurkan bayangan “Abī penyayang” dalam hati Yasmeen.

Sekarang, sepertinya Tuhan sendiri yang membukakan mata sang putri.

Yasmeen menghela napas. “Umm, suruh pelayan ke aula depan. Panggil semua pejabat istana, aku ingin bicara di ruang kerja Emir.”

Umm Shalimah segera menunduk dalam. “Baik, Sayyidah. Tapi izinkan hamba bantu Sayyidah bersiap dahulu.”

---

Di waktu yang sama, Sayyid Zahir melangkah cepat menuju halaman barat. Udara sore gurun terasa panas membakar, tapi hatinya jauh lebih membara.

Begitu ia memasuki kediamannya, seorang wanita cantik berselendang merah delima menyambutnya bersama dua anak kecil.

“Sayyid, kau pulang cepat hari ini?” Mehra menyambut dengan senyum lembut. “Tidak makan malam dengan Sayyidah Yasmeen?”

Zahir tidak menjawab. Ia hanya melepas sorbannya dan berjalan melewati mereka tanpa menoleh.

Kedua anak kecil itu memandangi Abī mereka dengan kagum. Putra sulungnya, Zain, berusia lima tahun, cerdas dan tampan, sangat mirip dengannya. Putrinya, Ruqayyah, berumur empat tahun, lembut dan manis seperti ibunya.

Namun Zahir hanya melambaikan tangan seolah mereka tak ada.

“Aku ke ruang baca. Jangan ganggu.”

Nyonya Mehra menunduk, menelan rasa malu. “Zain, Ruqayyah, Abīmu sedang sibuk. Mari kita makan malam dulu.”

Tapi ia tahu betul, Zahir tak pernah benar-benar “sibuk.”

Ia hanya tak tahan berada di bawah bayangan keluarga Ameera dan Emir Nayyirah yang sudah wafat. Semua kekayaan dan kekuasaan rumah ini mengalir dari mereka, bukan darinya.

Ia tahu dulu Zahir menikah masuk ke keluarga besar ini, demi kedudukan dan kini, Zahir sudah menunggu terlalu lama untuk merebutnya.

---

Ruang baca yang tenang dipenuhi aroma dupa kayu gaharu. Zahir duduk, wajahnya tenggelam dalam bayangan lampu minyak. Matanya penuh kebencian.

Ia masih ingat jelas bagaimana dulu Emir Nayyirah menatapnya dingin dan berkata, “Anak dari keluarga kami harus menyandang nama kami. Tapi cucumu bukan darah murni Nayyirah. Biarlah ia menyandang namamu sendiri.”

Rasa malu dan dendam yang terpendam itu membusuk dalam dirinya selama bertahun-tahun.

Kini, ia punya anak laki-laki sendiri dan ia tidak akan membiarkan warisan Emirat jatuh ke tangan seorang perempuan lagi.

“Faris,” panggilnya pelan.

Seorang pria muda masuk, mengenakan pakaian pelayan, wajahnya waspada. “Tuan.”

Zahir menatapnya tajam. “Aku ingin kau lakukan sesuatu untukku. Tidak perlu ada yang tahu.”

Faris menunduk dalam, menunggu perintah. Tapi ketika mendengar isi instruksi itu, matanya melebar kaget.

Namun, tatapan Zahir dingin dan penuh ancaman membuatnya tak berani membantah.

“Baik, Tuan,” jawabnya pelan.

---

Sementara itu, di aula besar istana Emirat Nayyirah, Sayyidah Yasmeen berdiri di depan pintu kayu besar berukir ayat-ayat kaligrafi lama. Tempat ini dulu milik Jaddīnya.

Sekarang, tempat ini akan menjadi titik awal kebangkitannya.

Ia menatap langit senja di atas kubah emas yang memantulkan cahaya kemerahan. Angin gurun berhembus lembut, membawa wangi dupa dan pasir hangat.

“Salam hormat untuk Sayyidah!”

Suara berat dan lantang terdengar di antara barisan prajurit bersenjata lengkap yang berjaga di depan ruang pertemuan Emirat Nayyirah.

Yasmeen menarik napas pelan, menenangkan diri sebelum menoleh. Dua puluh prajurit membungkuk memberi hormat, wajah mereka keras dan disiplin.

Di barisan terdepan berdiri seorang pria berkulit gelap dengan sorot mata tajam seperti elang gurun. Tubuhnya tegap, berdiri kokoh bagaikan menara batu di tengah badai pasir.

Itu adalah Tariq Ibn Malik, kepala pasukan pribadi Emirat—lelaki yang dulu dikenal sebagai tangan kanan Emir Nayyirah, Jaddīnya.

Tariq ini masih keponakan jauh dari mendiang Emir Nayyirah, Ayahnya Emir dan Neneknya Tariq adalah kakak beradik.

Tariq masuk istana saat berusia lima belas tahun. Karena keberanian dan kesetiaannya, ia diangkat menjadi pemimpin pasukan pengawal pribadi saat usianya dua puluh lima tahun.

Kini, meski hanya bergelar panglima tingkat menengah, wibawanya di istana tak bisa disepelekan.

Setelah Emir Nayyirah wafat, Yasmeen menjadi satu-satunya pewaris Emirat Nayyirah. Ia masih muda, tapi darah bangsawan mengalir deras di dalam dirinya—dan Tariq tahu itu.

Secara garis keturunan, Tariq adalah sepupu almarhum ibunda Yasmeen, Sayyidah Ameera. Artinya, ia adalah Khalī bagi Yasmeen.

Namun, karena menghormati aturan istana, ia tak pernah menyebut hubungan itu di depan umum.

Sekarang pun, di hadapan penguasa kecil yang baru berusia sepuluh tahun itu, ia tetap membungkuk dalam-dalam.

Yasmeen menatapnya lama.

Ia ingat jelas dalam hidup sebelumnya—dialah lelaki yang dulu selalu berdiri di belakangnya, yang menjaga dari bayangan kematian sampai napas terakhir.

Waktu ia menikah dengan keluarga Emir Harith dan hidup di istana Kota Agung Azhar, Tariq ikut mendampingi bersama dua ratus pasukan pribadi.

Ia tak pernah banyak bicara, tapi tatapannya selalu siap menebas siapa pun yang berani menyentuh tuannya.

Namun, di usia senjanya, lelaki itu meninggal dengan luka di dada karena melindunginya dari pembunuh bayaran.

Dalam kehidupan yang lalu, ia sempat menggenggam tangan Tariq yang berlumur darah, mendengar kalimat terakhirnya di bawah sinar bulan gurun.

“Selama Sayyidah selamat... aku tak menyesal mati.”

Sekarang, ketika melihat sosok yang sama berdiri di hadapannya, wajahnya terasa panas dan matanya mulai basah.

Yasmeen melangkah cepat ke arahnya. Tangan kecilnya, yang seputih pualam dan bergetar halus, menggenggam tangan kasar penuh bekas luka itu.

“Khalī Tariq...”

Suaranya bergetar, parau oleh air mata yang tertahan.

Tariq tertegun.

Ia bahkan tak sempat menunduk lebih dalam, hanya bisa menatap gadis kecil itu dengan bingung.

Bahkan wajah kerasnya yang biasanya tak bergeming di medan perang kini tampak kaku dan memerah.

“Sayyidah... t-tidak pantas memanggil hamba begitu,” ucapnya tergagap, tampak benar-benar canggung. “Hamba tak berhak—”

“Tidak perlu bicara begitu,” ucap Yasmeen pelan, namun tegas. “Di dunia ini, hanya sedikit orang yang tulus padaku. Dan Khalī adalah salah satunya.”

Itu adalah senyuman pertama Yasmeen sejak hari ia terbangun kembali—hari di mana ia menyadari hidupnya bukan lagi yang dulu.

Senyuman itu lembut, tapi juga mengandung tekad.

Khalī Tariq nyaris lupa bernapas; anak perempuan kecil itu kini memancarkan aura yang membuat orang ingin tunduk tanpa paksaan.

“Sayyidah... datang ke ruang kerja Emir untuk sesuatu?” tanyanya hati-hati.

Ia pikir mungkin Yasmeen datang karena rindu pada Emir Nayyirah.

Namun jawaban Yasmeen membuatnya tertegun.

“Khalī Tariq,” katanya, suaranya berubah serius, “panggil para penasehat ke ruang kerja Jaddī. Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting.”

Tariq mengangkat kepala dengan ekspresi terkejut.

Ruang kerja itu dulunya tempat Emir Nayyirah menerima para penasehat dan menulis kebijakan Emirat. Setelah wafatnya sang pemimpin, tidak ada satu pun yang berani menggunakan ruangan itu tanpa izin khusus Sultan.

Dan kini, gadis kecil itu… hendak menggunakannya?

Namun, melihat sorot mata Yasmeen—tenang, tajam, dan matang di luar usia—Tariq tiba-tiba merasa seolah sedang menatap Emir Nayyirah muda.

Wajah yang sama, tekad yang sama.

Ia menunduk lagi, tangannya mengepal di dada.

“Perintah Sayyidah… akan segera dilaksanakan.”

Saat langkah-langkahnya menjauh, Yasmeen berdiri di hadapan pintu ruang bacaan peninggalan Jaddīnya.

Di dalam sana, masih tergantung lukisan pemandangan padang gurun saat matahari tenggelam—lukisan kesayangan sang Emir Nayyirah.

Angin gurun bertiup dari jendela terbuka, membawa aroma dupa dan pasir panas.

Yasmeen melangkah masuk ke ruang besar itu—ruang yang dulu menjadi tempat Jaddīnya membaca surat kerajaan dan membuat keputusan besar bagi Emirat Nayyirah.

Udara di dalam terasa berat, mengandung aroma kayu gaharu dan tinta. Cahaya matahari sore menembus jendela ukiran emas, membias di lantai marmer, membuat ruangan itu tampak seperti ruang suci.

Yasmeen menatap tempat duduk besar di ujung ruangan.

Tangannya perlahan mengepal.

“Jaddī,” bisiknya lembut, “aku sudah kembali. Dan kali ini, aku tidak akan membiarkan siapa pun merebut warisanmu.”

---

📌NOTE:

- Khalī \= Paman dari pihak ibu

- Roobbatun \= Panggilan untuk Ibu Tiri

1
Melody Aurelia
aslinya cuma alat anak ini, dipake bapaknya yg maruk
Melody Aurelia
lah itu puterinya satu lagi piye?
Melody Aurelia
serem
Melody Aurelia
klan asalnya Zahir berarti ya?
Melody Aurelia
cape banget pasti jadi Yasmeen
Melody Aurelia
lagian ngga tau diri kau
Melody Aurelia
masih halus, nih mainnya
Melody Aurelia
aku bayanginya ko lucu, bocil ngasih perintah orang2 tua
Melody Aurelia
Zahir itu wali tapi berasa yang punya
Melody Aurelia
mulai tegang, penuh intrik politik sepertinya ini
Melody Aurelia
kasian baru 10 tahun udah ngurus pemerintahan
Melody Aurelia
Thor tanggung jawab... bawangnya kebanyakan disini... ku menangissss👍
Melody Aurelia
lah pede banget lo
Melody Aurelia
keren
Melody Aurelia
bedalah... baru balik dari akhirat nih😍😄
Melody Aurelia
khas banget... ide cowo lebih unggul dari cewek, kesel jadinya
SintabelumketemuRama
ini panglima tapi gampang panik😄
SintabelumketemuRama
mantappp
SintabelumketemuRama
syukurin aja, bader bet jadi bapak
SintabelumketemuRama
ini orang dasarnya emang udah jahat ya, Ama anak kaga mau ngalah pisan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!