Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Jam menunjukkan pukul tujuh malam ketika mobil berwarna hitam milik Gabriel berhenti di depan gedung apartemen Gaby. Lampu-lampu kota mulai berpendar di kejauhan, memantulkan bayangan samar pada kaca mobil.
Serena turun dengan langkah ringan, masih terbawa suasana senja yang baru saja mereka nikmati di tepi pantai.
Beberapa jam mereka menghabiskan waktu bersama, berjalan di sepanjang garis pasir, berbagi tawa di bawah langit jingga yang berangsur gelap. Bagi Serena, hari itu terasa sempurna.
Gabriel begitu lembut, penuh perhatian, dan selalu membuatnya merasa aman. Namun, di sudut hatinya, ada kegelisahan yang belum sepenuhnya hilang—kegelisahan tentang rahasia masa lalunya yang tidak bisa ia ungkapkan.
Gabriel keluar dari mobil dan menghampiri Serena. “Kamu tidak ingin aku antar sampai rumah?” tanyanya dengan nada lembut.
Serena tersenyum, menatap wajah kekasihnya yang disinari lampu jalan. “Tidak perlu, aku cuma mau ambil mobilku di sini. Lagipula, Gaby pasti sudah menunggu.”
“Baiklah, hati-hati di jalan.” Gabriel mengusap lembut rambut kekasihnya sebelum membuka pintu mobil Serena. “Kabarilah kalau sudah sampai.”
Serena mengangguk. “Terima kasih, Sayang.”
Mereka berpisah, masing-masing mengendarai mobil menuju arah berbeda. Dari kejauhan, Gaby yang berdiri di balkon apartemen melihat keduanya pergi, menarik napas panjang. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.
*
*
Rumah keluarga Salvatierra berdiri megah di salah satu kawasan elit kota. Lampu-lampu halaman menyala terang ketika Serena memarkir mobilnya di depan pintu masuk. Begitu langkahnya memasuki ruang tamu, suara berat yang tegas langsung terdengar.
“Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang!” Suara Antonio menggema di seluruh ruangan.
Lelaki paruh baya itu berdiri tegap dengan tangan bersedekap di dada. Tatapannya tajam, seolah siap menguliti setiap alasan yang mungkin keluar dari bibir keponakannya.
Serena spontan terperanjat. “Serena dari rumah Gaby, Paman,” jawabnya cepat.
Antonio mengembuskan napas keras, wajahnya menegang. “Tidak ada habisnya keluyuran terus. Mulai besok, tidak ada lagi kamu membawa mobil sendiri. Sopir akan mengantar kamu ke mana pun kamu pergi.”
“Tidak bisa begitu, Paman. Serena mana bisa hang out sama teman kalau diantar sopir,” sahutnya dengan nada kesal.
“Paman tidak peduli,” balas Antonio tanpa memberi celah. “Kamu harus fokus belajar. Jangan main-main lagi, Serena. Dunia tidak akan menunggu orang yang hanya tahu bersenang-senang.”
Serena menggertakkan gigi, menahan rasa jengkel yang menggelayuti dada. “Ya ya ya, Paman,” sahutnya, pasrah.
Melvia yang sejak tadi berdiri di sisi suaminya mencoba meredakan ketegangan dengan nada yang jauh lebih lembut. “Sekarang kamu mandi dan berdandan yang cantik, Sayang. Kita akan pergi.”
Serena menatap bibinya bingung. “Memangnya kita mau ke mana, Bi?”
Melvia tersenyum kecil. “Ada pesta di kantor Paman bersama klien. Semua membawa anak dan istri karena ini acara besar—peresmian cabang baru perusahaan.”
Serena menahan napas, mencoba menata ekspresinya. Dalam hatinya, keengganan tumbuh semakin besar. Dia sedang lelah, dan pesta bukan hal yang ingin dia hadiri malam ini. Namun, ia tahu, menolak hanya akan memancing amarah pamannya yang mudah tersulut.
“Hmmm,” jawab Serena singkat sebelum melangkah masuk ke kamar.
Serena masuk ke dalam kamarnya dengan langkah berat. Lampu meja yang redup memantulkan bayangan lembut di wajahnya yang lelah. Dia duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja rias.
Jemarinya ragu-ragu saat membuka layar dan menuliskan pesan singkat kepada Gabriel, memberi tahu bahwa malam ini dia akan menghadiri pesta bisnis pamannya bersama keluarga angkatnya.
Pesan itu terkirim, dan beberapa detik kemudian, balasan dari Gabriel langsung masuk. “Kita akan bertemu di sana, sayang. Aku akan memperkenalkan kamu pada keluargaku malam ini. Aku sudah membicarakan tentang kamu dengan mereka.”
Serena membaca pesan itu dengan hati yang mulai berdebar. Namun, debaran itu semakin kencang ketika dia membaca kalimat berikutnya.
“Jadi, kemungkinan besar orang tuaku akan setuju jika tahu kamu anak siapa.”
Senyum kecil sempat muncul di wajahnya, tapi senyum itu perlahan memudar. Tatapannya kosong, menembus bayangan cermin di depannya.
Serena tahu maksud Gabriel baik—ia ingin memperjuangkannya di hadapan keluarga besar. Namun, di balik itu, Serena menyimpan rahasia yang tak mudah untuk diungkapkan.
Masalan dirinya dengan Nicholas. Serena juga ingin sekali menanyakan kenapa Gabriel tidak pernah bercerita kalau kampus yang mereka kuliahi ternyata kampus paman pria itu?
Ponselnya kembali bergetar. Pesan dari Gabriel masuk lagi. “Kenapa tidak membalas pesanku? Apakah kamu tidak senang?”
Serena menatap layar ponselnya lama sekali. Hatinya bergejolak di antara keinginan untuk jujur dan ketakutan akan kehilangan. Dia mulai menulis balasan, “Ada yang ingin aku bicarakan padamu, tapi…”—namun sebelum kalimat itu selesai, dia menghapusnya.
Dia menarik napas panjang, lalu menulis pesan baru yang lebih sederhana. “Oke sayang, aku sedang bersiap. Sampai jumpa di pesta.”
Pesan itu terkirim. Tidak ada kejujuran, tidak ada penjelasan, hanya kebohongan kecil yang dia ciptakan demi menunda kebenaran.
Gabriel membalas dengan cepat. “Tidak sabar bertemu kamu malam ini.”
Serena tersenyum dan meletakkan ponselnya, lalu berdiri di depan lemari. Tangannya menggantung di antara deretan gaun yang rapi. Matanya berhenti pada satu gaun berwarna hitam—hadiah dari Melvia dua bulan lalu.
Warnanya elegan, namun menyimpan kesan berani, seolah mencerminkan isi hatinya malam ini: berani menghadapi pesta, tapi takut menghadapi kenyataan.
Sementara itu, di sisi lain kota, Gabriel tersenyum lebar setelah membaca balasan Serena. Dalam pikirannya, malam ini akan menjadi malam penting—malam di mana dia memperkenalkan wanita yang dicintainya pada keluarga besarnya.
Gariel tidak tahu bahwa di balik tatapan lembut Serena, tersimpan rahasia yang siap mengguncang segalanya.
Dan pesta malam itu bukan sekadar perayaan bisnis—melainkan awal dari sesuatu yang akan mengubah hidup mereka berdua selamanya.
*
*
Gedung megah itu berdiri anggun di tengah hiruk-pikuk kota. Dinding kaca tinggi memantulkan cahaya lampu kristal yang bergantungan di langit-langitnya, menebarkan gemerlap yang nyaris menyilaukan pandangan.
Di dalamnya, para tamu telah memadati ruangan, mengenakan busana terbaik mereka. Lantunan musik lembut dari orkestra di sudut ruangan mengiringi percakapan formal, tawa ringan, dan derap langkah sepatu mahal di atas lantai marmer putih.
Sebagian besar tamu adalah kalangan pebisnis ternama, namun tak sedikit pula yang membawa putra dan putri mereka. Malam itu bukan hanya tentang peresmian perusahaan baru milik keluarga De Morales, tetapi juga ajang mempertemukan para pewaris bisnis besar.
Beberapa keluarga bahkan sudah saling melirik, membicarakan kemungkinan perjodohan demi memperkuat aliansi ekonomi. Seperti halnya Nicholas dan Isabella, pasangan muda yang beberapa malam itu terlihat selalu berdampingan—hasil perjodohan yang disepakati dua kerajaan bisnis besar.
Di tengah suasana itu, Serena datang bersama Antonio dan Melvia. Penampilannya memancarkan pesona elegan yang tak berlebihan. Gaun hitam selutut dengan potongan sederhana membalut tubuh jenjangnya
Sementara tas hitam kecil di tangannya menambah sentuhan kemewahan. Rambutnya yang digelung rendah memperlihatkan leher jenjang dan wajahnya yang bersih dari riasan berlebihan. Sepatu hak tinggi hitam yang dikenakannya membuat langkahnya tampak anggun.
Beberapa tamu wanita menoleh sejenak, sebagian lelaki muda pun tak kuasa menyembunyikan kekaguman. Serena tetap menjaga sikapnya, menundukkan pandangan sopan setiap kali seseorang menatap terlalu lama.
“Selamat datang, Tuan Antonio. Bagaimana kabar Anda malam ini?” Suara berat seorang pria paruh baya memecah suasana. “Wah, Anda datang bersama dengan dua wanita cantik.”
Antonio menoleh dan tersenyum lebar. “Saya baik, Tuan. Terima kasih sudah mengundang kami. Hahahah tentu, istri dan anak saya!”
“Terima kasih atas pujiannya Tuan,” jawab Melvia dan Serena hanya tersenyum manis.
“Hahaha. Ya, ya, silakan berkumpul dengan para wanita cantik lainnya di sana!”
Melvia dan Serena berpamitan untuk pergi kebagian para wanita yang menjadi istri-istri pebisnis lainnya juga para anak gadis mereka yang sudah berkumpul lebih dulu.
Namun, Serena terkejut saat melihat sosok yang dikenalnya tersenyum manis seraya mengedipkan satu matanya. “Ya Tuhan!”
To be continued…