Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama Menjadi Suami Istri
Sore itu, Elzhar sudah menyelesaikan pekerjaannya. Sesuai janji, ia langsung menuju butik Azel. Dari luar pintu kaca, ia melambaikan tangan sambil tersenyum.
Azel yang sedang membereskan beberapa barang di meja kasir melirik sebentar, lalu mengangguk seadanya.
Sisil yang memperhatikan langsung berkomentar dengan nada menggoda.
“Cieee, pengantin baru… lengket banget sampai-sampai dijemput segala.”
Azel memelototi Sisil, wajahnya memerah. “Apaan sih, Sil! Udah ah, aku pergi duluan ya.” Ia buru-buru meraih tasnya dan pamit.
Di luar, Elzhar sudah menunggu. “Udah siap, Zel? Ayo, kita ke supermarket.”
Azel hanya mengangguk sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya. Namun dalam hati, ia merasa canggung. Belanja bulanan bareng suami… rasanya kayak beneran pasangan sungguhan.
Sesampainya di supermarket, mereka mengambil troli dan mulai berjalan. Elzhar mendorong troli, sementara Azel sibuk melihat daftar belanja di ponselnya.
“El, kita butuh sabun cuci, sampo, sama… oh, ini deterjen juga udah habis.”
Elzhar mengangguk, lalu mengambil satu botol besar sabun mandi wangi mawar.
Azel melotot. “Lo serius? Mau pake wangi bunga?”
Elzhar pura-pura santai. “Kenapa? Gue suka yang wangi lembut gini. Lagian… biar lo makin betah kalo deket gue.”
Azel langsung salah tingkah, wajahnya merah padam. “Cihhh, pede banget lo. Yaudah, taro aja.”
Mereka lanjut berjalan. Saat sampai di bagian camilan, Elzhar tanpa banyak bicara mengambil beberapa bungkus keripik dan biskuit.
“L, itu kebanyakan! Emangnya lo mau buka warung?” protes Azel.
“Ini penting, Zel. Buat jaga mood. Kalo gue bete gara-gara lo, tinggal gue makan ini biar reda,” jawab Elzhar dengan nada datar tapi senyum nakal tersungging di bibirnya.
Azel mendengus. “Alah, alasan aja.” Namun, diam-diam ia tersenyum kecil, merasa lucu dengan tingkah suaminya itu.
Ketika sampai di rak perlengkapan rumah tangga, Elzhar sempat mengambil dua pasang sandal rumah yang serasi: satu warna hitam, satu warna pink.
Azel mengernyit. “Ngapain beli sandal couple segala?”
Elzhar menatapnya sekilas. “Kan biar keliatan kompak. Masa suami istri sandalnya beda gaya? Malu dong kalau ada tamu.”
Azel terdiam, lalu buru-buru menunduk menyembunyikan wajahnya yang memanas. “Dasar tukang gombal…” gumamnya pelan.
Elzhar terkekeh, puas melihat Azel salting lagi.
Di kasir, mereka sibuk menata barang belanjaan ke meja. Saat kasir bilang total belanjaannya cukup besar, Azel refleks meraih dompetnya.
“Udah, gue bayar aja. Jangan ribet.”
Tapi Elzhar dengan cepat menahan tangannya. “Zel, mulai sekarang ini urusan gue. Lo simpen aja kartu itu buay kebutuhan lo .”
“L tapi kan ini uang Lo juga. …” Azel menatapnya sebentar, lalu akhirnya mengalah. Hatinya hangat, meski bibirnya tetap manyun. Elzhar hanya tersenyum hangat .
Begitu keluar supermarket dengan troli penuh barang, Elzhar mendekat ke telinga Azel dan berbisik pelan, “Gue seneng, Zel. Rasanya kayak… kita beneran keluarga.”
Azel terdiam, jantungnya berdetak cepat. Ia menunduk sambil berpura-pura mengatur kantong belanja. “Dasar tukang bikin orang salting…” ucapnya pelan.
Elzhar hanya tertawa kecil, sementara sore itu berakhir dengan suasana canggung, manis, dan penuh godaan yang tak terucap.
Sesampainya di apartemen, Elzhar langsung mendorong troli penuh kantong belanjaan masuk ke ruang tamu.
“Ya ampun, L… ini belanjaan apa pindahan rumah?” keluh Azel sambil menghela napas.
Elzhar menaruh kantong pertama di meja makan. “Pindahan hati gue ke lo, Zel.”
Azel langsung menoleh, melotot, wajahnya memerah. “Cihhh, norak! Bisa-bisanya gombal tiap detik.”
“Biar lo inget terus sama gue,” jawab Elzhar santai sambil nyengir.
Mereka mulai membereskan belanjaan bersama. Azel menata bahan makanan di kulkas, sementara Elzhar sibuk membuka kardus mie instan.
“L, itu jangan dibuka semua! Nanti jadi berantakan,” protes Azel.
“Gue sengaja, biar gampang kalo gue lapar tengah malam.”
Azel menghela napas. “Yaelah, kayak anak kosan aja. Lagian kalo lo lapar, tinggal bangunin gue.”
Elzhar menoleh cepat. “Oh, serius nih? Kalo gue lapar jam dua pagi, gue boleh bangunin lo?”
Azel refleks salah tingkah. “Maksud gue… lapar beneran! Bukan yang aneh-aneh!”
Elzhar hanya terkekeh, puas melihat Azel makin salah tingkah.
Saat Azel berjongkok untuk menata sayuran di kulkas bawah, Elzhar tanpa sengaja berdiri terlalu dekat di belakangnya.
“L! Minggir, napa!” seru Azel kaget.
“Apa? Gue kan cuma mau bantu. Lagian… posisi lo sekarang bikin gue susah konsen,” bisik Elzhar dengan nada jahil.
Azel langsung berdiri sambil memukul lengan Elzhar dengan kantong sayuran. “Ihhh! Dasar mesum!”
Elzhar ngakak sambil menahan sakit pura-pura. “Aduh, istri gue galak banget. Tapi tetap cantik…”
Setelah semua belanjaan selesai ditata, mereka sama-sama menjatuhkan diri ke sofa dengan wajah lelah.
“Gila ya, ternyata belanja bareng itu capek banget,” keluh Azel.
“Tapi seru kan?” sahut Elzhar sambil meliriknya.
Azel berpikir sebentar, lalu tersenyum tipis. “Hmm… lumayan. Kayak… keluarga kecil gitu.”
Mendengar itu, Elzhar menatap Azel lebih lama. “Zel…” suaranya pelan.
Azel buru-buru bangkit berdiri. “Eh, gue bikin makan dulu ya!” katanya menghindar dengan wajah memerah.
Elzhar hanya terkekeh sambil menyandarkan kepala ke sofa, menatap Azel yang canggung itu dengan senyum penuh arti.
Azel memasuki dapur sambil menggulung lengan bajunya.
“Ywdh lo mandi duluan sana, gue mau bikin buat makan malem. Emangnya lo nggak laper, L?”
Elzhar yang baru keluar dari kamar langsung nyengir lebar.
“Laper bangett… jadi nggak sabar menikmati masakan istri.”
Azel mendengus sambil meliriknya. “Yaudah ayo mandi dulu, gih.”
Ia berjalan menuju kamarnya untuk menyiapkan baju ganti Elzhar.
Melihat itu, Elzhar kegirangan. Dalam hati ia langsung salah paham. Wah, jangan-jangan Azel ngajakin gue mandi bareng nih?
“Ayoooo…” serunya semangat sambil mengekor.
Azel menoleh cepat, bingung dengan ekspresi lebay Elzhar.
“Lo apaan sih, L?”
“Lah, kirain ‘ayo’ itu ngajakin gue mandi bareng,” jawabnya polos sambil cengengesan.
Azel langsung mendengus keras. “Elzharr… dasar mesummm!” teriaknya sambil menutup pintu kamar agak keras.
Elzhar cuma ngakak sambil garuk kepala. “Aduh, gue nggak bisa lama-lama gini. Baper beneran gue sama dia,” gumamnya, setengah serius setengah bercanda.
Sementara itu, setelah menyiapkan pakaian untuk suaminya, Azel langsung menuju dapur. Tangannya lincah menyiapkan bahan masakan, meski wajahnya masih menahan rasa malu akibat godaan barusan.
Kenapa sih dia itu, kalau ngomong suka bikin jantung gue nggak karuan… batinnya sambil menyiapkan masakan.
Azel mulai sibuk di dapur, mengiris bawang sambil sesekali menghela napas. “Ya ampun, kenapa gue harus berurusan sama orang sejahil itu sih,” gumamnya sambil tersenyum tipis tanpa sadar.
Tak lama, Elzhar sudah selesai mandi dan keluar dengan kaos santai serta celana pendek. Rambutnya masih basah, menetes hingga ke leher. Ia bersandar di pintu dapur, memperhatikan Azel.
“Hmm… wangi bawang goreng atau wangi istri gue, nih?” godanya sambil menyeringai.
Azel menoleh cepat. “Halah, bau bawang aja lo bilang wangi. bodoh Emang .”
“Ya emang gue bodoh, bodoh karena sayang sama lo.”
Azel langsung salah tingkah, pisaunya hampir terlepas dari tangan. “Ihhh L, jangan ngomong gitu. Gue jadi nggak konsen motongin wortel.”
Elzhar mendekat, lalu dengan iseng berdiri di belakang Azel, tangannya menyentuh bahu Azel pura-pura membantu. “Tuh, gini caranya motong biar rapi…”
Azel spontan melotot sambil mendorongnya pelan. “Lo kalo deket-deket gini, nanti jari gue kepotong beneran!”
Elzhar ngakak, lalu mundur sambil mengangkat tangan. “Oke, oke, gue nyerah. Tapi serius Zel, masakan lo aromanya bikin gue makin laper.”
Tak lama kemudian, makan malam sederhana tersaji di meja: sup hangat, tumis sayur, dan ikan goreng.
“Wah, gila sih… gue berasa kayak pulang ke rumah beneran, ada istri cantik masakin,” ujar Elzhar sambil menatap Azel.
“Jangan lebay. Udah makan aja, jangan banyak ngoceh”
Elzhar tersenyum nakal, lalu mengambil sendok pertama. Begitu masuk ke mulutnya, matanya melebar. “Zel… sumpah ini enak banget. Kayak rasa cinta lo ke gue yang nyampur di dalamnya.”
Azel langsung melempar sendok ke arahnya. “APAAAN SIH! Dasar tukang gombal!”
Elzhar menangkis sambil tertawa keras, sementara Azel menunduk menahan senyum malu.
Malam itu, mereka makan dengan canda tawa. Sesekali Elzhar pura-pura menyuapi Azel, dan meski ditolak, Azel akhirnya pasrah menerima suapan kecil dari suaminya.
Suasana hangat itu membuat Azel berpikir dalam hati, “Andai saja semua ini bukan sekadar kontrak, mungkin gue nggak akan keberatan hidup begini selamanya…”