Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Reza telah sampai di Pulau Bali dan segera ia memanggil taksi untuk mengantarkannya ke cafe dimana Khanza bekerja disana.
Disepanjang perjalanan, ia berharap bisa bertemu dengan Khanza.
Lima belas menit kemudian supir taksi menghentikan mobilnya.
Reza turun dari mobil dan melihat mantan istrinya yang sedang melayani pelanggan.
"Za....," sapa Reza.
Khanza mengambil napas dalam. Tangannya mengepal, berusaha menyembunyikan getaran tubuhnya.
“Kenapa kamu ke sini, Mas?” tanyanya pelan, namun tajam.
Reza mendekat, menatapnya penuh rindu dan penyesalan.
“Aku datang untuk mengajakmu pulang, Z Kita rujuk.”
Beberapa pelanggan mulai memperhatikan. Suasana kafe mendadak senyap.
Air matanya langsung memenuhi mata Khanza dan ia cepat-cepat memalingkan wajahnya.
“Mas, jangan bikin aku susah.”
“Aku minta maaf. Aku khilaf. Aku salah percaya Devan. Aku janji akan perbaiki semuanya mulai sekarang,” ucap Reza lirih, matanya memohon.
Namun Khanza menggeleng keras.
“Mas terlambat.”
“Apa maksudmu…?”
Suara Khanza sedikit bergetar saat ia menjawab, namun sorot matanya mantap.
“Aku akan menikah dengan Yanuar.”
Reza seperti disambar petir. Tubuhnya menegang, matanya membesar.
“J–jangan bercanda, Za. Kamu nggak bisa—”
“Aku serius,” potong Khanza cepat.
“Dia yang ada buat aku saat Mas ninggalin aku. Dia yang nolong aku saat aku jatuh. Dia yang nggak pernah mukul aku atau usir aku dari hidupnya.”
Reza terpaku. Dadanya seperti diremas dari dalam.
Ia tak tahu bagian paling menyakitkan dari semua itu adalah Khanza yang menyembunyikan sesuatu darinya.
“Khanza…” Reza mendekat lagi, suaranya lirih, hampir berbisik.
“Apa kamu benar-benar udah nggak ada rasa sama sekali buat aku?”
Khanza menggigit bibirnya kuat-kuat sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak mau kamu lihat aku hancur… aku nggak mau kamu tahu aku sakit" ucap Khanza dalam hati.
“Tidak ada.”
Reza mundur satu langkah, seakan semuanya sudah hancur.
Tepat saat itu, pintu kafe kembali berbunyi ting!
Yanuar masuk dengan kantong belanja di tangan. Ia terdiam melihat Reza.
Tatapan mereka bertemu penuh ketegangan dan peringatan.
Yanuar berjalan ke arah Khanza, berdiri di sampingnya seperti pelindung.
“Kamu nggak pantas ada di sini, Reza,” ucapnya datar.
“Dia sekarang sama aku.”
Reza mengepalkan tangan. Napasnya berat.
Ia ingin marah. Ia ingin teriak. Tapi kalau a memilih mundur.
“Baik, Za.Kalau itu keputusanmu, Za. Aku pergi.”
Ia berbalik. Melangkah menuju pintu dengan punggung gemetar.
Namun baru beberapa langkah…
“Mas…”
Khanza meraba hidungnya. Ada sesuatu hangat menetes.
“Hh…” Napasnya memburu. Matanya berkunang.
“Za!” Yanuar langsung menangkap tubuhnya sebelum jatuh.
Khanza tak mampu berkata-kata. Dunia berputar.
“Y-Yan..” bisiknya lirih sebelum semuanya gelap.
Tubuhnya terkulai pingsan dalam pelukan Yanuar.
Reza tidak melihat semuanya, karena ia sudah keluar pintu.
Dan saat ia menoleh ke belakang, Khanza sudah tidak tampak.
Sesampainya di rumah sakit, Yanuar berlari masuk ke ruang UGD sambil menggendong tubuh Khanza yang tak sadarkan diri.
“Dok! Tolong!! Dia mimisan lalu pingsan!” teriaknya panik.
Perawat segera mengambil alih, mendorong ranjang dorong dan menyiapkan oksigen.
“Tekanan darahnya turun! Cepat siapkan transfusi!” seru dokter.
Pintu UGD tertutup rapat.
Yanuar terdiam di luar, napasnya masih terengah-engah.
Tangannya bergetar hebat, meremas rambutnya sendiri.
“Ya Allah, kenapa lagi? Kenapa setiap kali dia mulai tersenyum, harus jatuh lagi?”
Tak lama, dokter keluar. Wajahnya serius.
“Bapak Yanuar?”
“Iya, Dok. Bagaimana kondisi Khanza?”
Dokter menarik napas berat sebelum menjawab,
“Kondisinya cukup kritis. Dia mengalami penurunan hemoglobin karena pendarahan mendadak. Mengingat riwayat penyakitnya, dia butuh perawatan khusus dan pengawasan jangka panjang.”
“Dok, lakukan semuanya. Berapa pun biayanya, saya urus. Asal dia selamat.”
Dokter mengangguk, namun menambahkan dengan nada tegas,
“Saat ini, kami butuh persetujuan keluarga inti. Saya tahu Anda yang membawanya, tapi untuk perawatan selanjutnya kami perlu menghubungi suami atau ibunya.”
Ucapan itu membuat Yanuar membeku saat mendengar kata suami atau ibu yang harus dihubungi.
Nama-nama yang Khanza minta jangan pernah dia beri tahu.
Dokter menatapnya penuh harap kepada Yanuar.
“Bapak, tolong segera hubungi salah satu dari mereka. Ini menyangkut nyawa.”
Yanuar menggenggam kedua tangannya erat-erat. Napasnya berat.
Ia ingat jelas wajah Khanza waktu itu yang menangis.
'Yan, jangan bilang Mama atau Mas Reza. Aku nggak mau mereka tambah hancur.'
Kini ia berdiri di persimpangan.
Kalau ia tepati janji, ia bisa kehilangan Khanza.
Kalau ia langgar janji mungkin justru itu satu-satunya cara menyelamatkannya.
Dengan suara pelan namun goyah, ia menjawab dokter,
“Saya akan pikirkan, Dok.”
“Baik. Tapi ingat, kami tidak bisa menunggu terlalu lama.”
Saat dokter pergi, Yanuar bersandar ke dinding.
Matanya memerah, suaranya bergetar marah pada dirinya sendiri.
“Maafkan aku, Za. Tapi kalau menyelamatkanmu artinya aku harus jadi pengkhianat mungkin aku akan jadi pengkhianat pertama yang tidak menyesal.”
Reza berdiri di depan kafe yang kini sepi. Hujan mulai turun gerimis, namun ia masih terpaku di tempat, pandangannya kosong ke arah pintu yang tadi menjadi saksi pertemuan singkatnya dengan Khanza.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar membuat alisnya mengernyit tajam.
Reza menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat dengan nada dingin penuh emosi.
“Mau apa lagi kamu? Belum cukup kamu rebut Khanza dari aku?” suaranya bergetar menahan amarah.
Di seberang, Yanuar menghela napas panjang, terdengar lelah.
“Reza, aku nggak mau ribut. Aku butuh kamu. Kita harus ketemu sekarang.”
“Aku nggak punya urusan sama kamu!” bentak Reza, rahangnya mengeras.
“Ini soal Khanza.”
Hening seketika.
Untuk pertama kalinya, suara Reza melemah.
“Khanza kenapa?”
Yanuar diam sejenak, seakan menimbang kata-katanya.
“Aku nggak bisa jelasin lewat telepon. Aku kirim lokasinya. Datang sekarang.”
Tanpa menunggu jawaban, telepon ditutup.
Notifikasi lokasi langsung masuk.
Reza menatap layar ponselnya dimana sebuah titik di peta menunjukkan Rumah Sakit Umum Bali.
“Ya Allah, Khanza…”
Tanpa berpikir, ia langsung berlari ke arah jalan raya dan menghentikan taksi pertama yang lewat.
Reza berlari melewati lorong rumah sakit, napasnya memburu.
Setiap langkah terasa berat, seperti kakinya tertahan oleh rasa takut yang tak bisa dijelaskan.
“UGD… UGD…” gumamnya lirih, mencari ruangan yang dimaksud Yanuar.
Begitu pintu ruang tunggu UGD terlihat, ia langsung mendobrak masuk.
Di sana, Yanuar duduk di kursi tunggu, tubuhnya membungkuk, kepalanya tertunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat seperti sedang berdoa.
Reza mendekat cepat.
“Mana Khanza?! Di mana dia?!” bentaknya panik.
Yanuar bangkit pelan, wajahnya muram.
“Dia masih di dalam. Dokter lagi tangani.”
Tanpa menunggu, Reza berlari ke pintu UGD, tapi seorang perawat menghadangnya.
“Pak, tidak boleh masuk!”
“Aku suaminya! Istriku di dalam!” seru Reza kalap.
Perawat hendak menjelaskan, namun dokter keluar tepat waktu.
“Maaf, Anda keluarga Bu Khanza?”
Reza langsung mengangguk cepat, nafasnya tidak karuan.
“I-iya, Dok. Khanza, bagaimana keadaannya? Apa yang terjadi?”
Dokter menatapnya dalam, lalu menghela napas panjang.
“Pak, kami menduga istri Anda mengalami gejala leukemia sejak lama.”
Reza terpaku. Dunia seakan berhenti.
“Apa?” suaranya nyaris tak terdengar.
Dokter melanjutkan hati-hati.
“Penurunan hemoglobin yang drastis, mimisan mendadak, tubuh mudah lelah, pingsan tanpa sebab jelas itu semua gejala klasik leukemia stadium awal hingga menengah. Sepertinya stres emosional memperparah kondisinya.”
Reza menunduk, tubuhnya bergetar.
Satu per satu memori menghantam pikirannya.
Bandung.
Malam itu, di vila, Khanza menangis di pelukannya lalu ia tampar.
Jakarta.
Ia menghancurkan barang-barang Khanza… sambil menangis sendiri.
Kafe.
Ia datang untuk menjemputnya… namun ditolak.
Semua penolakan, semua air mata, semua tubuh lemas Khanza.
Ternyata selama ini Khanza sedang melawan penyakitnya sendirian.
Dan dia, suaminya, justru menjadi orang yang paling membuatnya hancur.
Reza terisak tanpa suara, bahunya bergetar, matanya memerah.
“Untuk memastikan tahap penyakitnya, kami butuh persetujuan keluarga untuk pemeriksaan sumsum tulang dan terapi lanjutan.”
Reza mengangguk, mengusap air matanya dengan tangan gemetar.
“A-apapun yang dibutuhkan, tes , obat apa pun… lakukan semuanya, Dok. Tolong selamatkan dia.
“Baik, kami akan lakukan yang terbaik. Anda bisa tunggu di luar.”
Dokter kembali masuk ke ruang perawatan.
Reza berdiri kaku, menatap pintu yang tertutup kembali.
Yanuar mendekat perlahan dan duduk di samping Reza.
“Sekarang kamu tahu penyebabnya? Tega kamu, Za. Kamu dan aku mencintai wanita yang sama dan kamu yang beruntung karena sudah menikahinya. Tetapi kamu dengan mudah menjatuhkan talak kepada Khanza.”
Reza tak menjawab. Hanya air mata yang mengalir tanpa bisa dihentikan.
Dengan suara patah, ia berbisik…
“Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan pada perempuan itu…”