🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#30
#30
Flashback
Dua orang itu duduk berdampingan, laksana duduk di kurai panas interogasi, keduanya merasa kikuk dan rikuh setengah mati, tatapan tajam menghunus membuat nyali keduanya semakin ciut.
“Papa memang tak pernah merestui pernikahanmu dengan Hilda, tapi sekarang kamu justru membawa wanita ini, hasilnya pun akan sama saja!!!”
Yah, pak Johan tak pernah merestui pernikahan Hilda dengan Aldy, alasannya adalah karena Hilda hanyalah seorang yatim piatu, yang menurut pak Johan tak jelas asal usulnya.
Aldy hanya menunduk dalam, niatnya untuk menikahi Widya sudah ia utarakan, beberapa hari setelah palu perceraiannya dengan Hilda, dan kali ini pun akan sama dengan dahulu, Aldy tak akan menginjakkan kaki di rumah mewah kedua orang tuanya. Karena kali ini pun calon istrinya lagi-lagi ditolak oleh sang Papa.
“Kami saling mencintai, Om.” Widya memberanikan diri angkat suara. Ia tahu, sejak dulu Aldy tak pernah berani melawan kedua orang tuanya. Jadi jika kini Aldy lebih memilih diam, maka dirinyalah yang harus buka suara.
“HAH!!! Cinta, Bulshiiitt semua itu, mana buktinya kalian saling mencinta, jika memang iya, sudah sejak dulu kalian menikah?” dengan lantang Pak Johan membalas kalimat Widya. Ada alasan kenapa kali ini pun Pak Johan tetap tak merestui hubungan yang terjalin antara Widya dengan Aldy, itu semua karena keluarga Widya, bagi pengusaha sekelas Pak Johan, menyelidiki keluarga Widya bukannya hal yang susah, dan ternyata keluarga Widya memang memiliki track record yang buruk, karena itulah Pak Johan tak akan pernah memberi mereka restu.
“Pergi kalian dari rumahku, terserah lakukan apapun yang kalian inginkan!!!” Usir pak Johan dengan suara lantang.
Hari pernikahan Aldy dan Widya.
Tanpa sengaja, Hilda berpapasan dengan mobil yang dikendarai oleh Pak Johan.
Hilda yang tengah hancur menangis sepanjang langkah kakinya, ia berjalan tak tentu arah. Tiba-tiba sebuah mobil yang melintas, berhenti di dekatnya, kaca mobil pun sengaja diturunkan.
“Jadi apakah sekarang akhirnya Aldy membuangmu?” Sinis Pak Johan.
Hilda terdiam dalam tangisnya, menatap sang mantan mertua yang memang sejak dahulu tak menyukai keberadaannya di sisi Aldy. “P… pa… papa.” Gumam Hilda.
“Kamu bukan menantuku lagi,” Pak Johan seolah hendak memperjelas status Hilda, “syukurlah Aldy sudah melepaskanmu, karena jika sampai kamu hamil, maka aku tak akan pernah mengakuinya sebagai keturunanku.”
Usai mengatakannya, mobil Pak Johan pun berlalu pergi.
Tak pernah ada yang tahu, kemana takdir Tuhan mengarah, karena walaupun Pak Johan menolak, nyatanya keturunan laki-laki yang sangat diharapkan keluarga Rifaldy, justru terlahir dari rahim Hilda.
Flashback end
.
.
Aldy menjatuhkan dompet dan semua kartu yang ada dalam genggamannya, kecuali satu kartu yang kini ia pandang dengan tatapan nanar. Sungguh sakit ketika membayangkan uang yang seharusnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan anaknya, ternyata Widya rampas tanpa perasaan hanya untuk memenuhi ambisi pribadinya.
"Apakah kamu masih akan mengelak?" tanya Aldy, ketika Widya kembali berdiri usai memungut kartu kartunya yang berserakan akibat ulah suaminya.
Widya terbelalak, ia diam membeku dengan berbagai rasa bercampur di dadanya, tak sanggup mengelak, karena Aldy telah menemukan bukti kejahatannya, dosa yang ia sembunyikan bertahun-tahun lamanya kini terbuka nyata di hadapan orang yang selama ini ia bohongi.
“Mas … aku bisa jelaskan.” Jawab Widya gugup, kedua tangannya gemetar, ia sungguh takut, dan mungkin tak akan sanggup jika sampai hal ini menjadi penyebab keretakan rumah tangga nya.
“Apalagi yang ingin kamu jelaskan?!!” Suara Aldy semakin lantang terdengar, gemuruh emosinya meledak laksana gelegar petir yang menyambar.
Widya semakin menunduk ketakutan, sepanjang pernikahannya, belum pernah ia melihat Aldy se marah ini dengannya.
“Apa masih kurang uang pemberian ku? Aku berikan semuanya kepadamu, hanya ku sisihkan sedikit untuk Hilda, demi menenangkan hatiku yang penuh dengan rasa berdosa, karena telah menceraikannya demi menikah denganmu. Itupun masih ingin kamu miliki.”
Aldy menjambak rambutnya sendiri, wajahnya dan kedua matanya memerah, air mata bahkan luruh begitu saja.
“Dosa apa aku Tuhan, hingga Engkau menghukumku sedemikian hebat, aku bahkan tak bisa membedakan kepalsuan cinta istriku, dengan ketulusan cinta mantan istriku.” Raung Aldy yang jelas membuat telinga Widya memerah.
“Apa sekarang, Mas juga tega membandingkan aku dengan mantan istrimu?” Lirih Widya.
“Iya!!! Kenapa tak suka?!!” Tantang Aldy yang kini sudah berbalut emosi, polah sang istri benar benar membuatnya naik pitam.
“Iya aku tak suka, Mas.” Balas Widya.
“Terserah, karena begitulah yang terlihat, semakin kamu mengelak, semakin jelas kamu memperlihatkan nya. Hilda tak pernah menjatuhkan harga dirinya demi sebuah rupiah, dia terhormat karena memegang prinsip hidupnya, marwah nya terjaga dan dia selalu bersyukur dengan apa yang dimilikinya.” Begitu gamblang Aldy menggambarkan sosok Hilda, dirinya terlalu buta akan cinta hingga tak pernah menyadari bahwa ia telah membuang bidadari surga, demi seorang wanita yang selalu menyimpan dengki di hatinya.
“Seburuk itukah aku di matamu? Hingga kamu tega menyanjung mantan istrimu di depanku?” Widya tak mampu lagi berkata, beberapa hari lalu, Aldy sudah menghancurkan hatinya, ketika ia mengaku masih mencintai mantan istrinya. Dan kini semakin lebur ketika Aldy terang-terangan mengumbar betapa baik dan mulianya seorang Hilda di mata Aldy.
“Bukan hanya kamu yang buruk, tapi aku juga, kita sama-sama buruk, pantas saja jika Allah menghukum kita sedemikian rupa.”
Ditengah segala kecamuk yang kian melanda, ponsel Aldy berdering, nama Papa mertuanya bertengger di layar ponselnya.
“Assalamualaikum, Pa?”
“Wa'alaikumsalam, Nak.”
“Papa apa kabar?” Sapa Aldy yang kini merendahkan suaranya. Padahal ia pun sebenarnya kesal dengan kedua mertuanya yang juga ikut menikmati uang milik Hilda.
“Papa sehat, Mama juga.” Jawab Pak Hasan.
“Syukurlah, Ada apa ya, Pa?”
“Ini, Nak, kok kiriman uang Widya bulan ini cuma 10 juta ya, kan Papa perlu uang untuk membayar cicilan mobil.”
“Mobil, Pah?”
Aldy menatap Widya, ia baru pulang dari luar kota, dan tiba-tiba mendengar kabar bahwa mertuanya mencicil sebuah mobil baru, padahal mobil yang sebelumnya baru satu tahun lunas dari cicilannya.
Inilah yang Aldy tak suka dari mertuanya, mereka kerap merongrong nya, karena gaya hidup mertuanya yang terlalu mewah.
“Iya, mobil seri terbaru, mamanya Widya pengen ganti mobil.”
Aldy mengurut keningnya, masalah Widya saja sudah membuatnya naik darah, kini bertambah lagi dengan keluhan mertuanya, yang juga masih berkaitan dengan uang.
Mungkin ini saatnya, jika tak dihentikan sekarang, kapan lagi, walaupun itu mertuanya sekalipun, mereka pun harus tahu bahwa uang tidak datang begitu saja dengan sendirinya, perlu ikhtiar dan kerja keras agar bisa menikmati apa yang sudah kita usahakan.
“Maaf, Pa, mulai bulan ini dan seterusnya, hanya itu uang yang bisa Aldy berikan.”
“Apa?!!”
“Iya, Karena Aldy pun sedang mendisiplinkan pemakaian keuangan Widya.”
“Hei … Papa bukan pengemis yang hanya bisa kamu kasih recehan.”
“Maaf, Pa, tapi 10 juta itu bukan uang receh, tapi perlu memeras keringat dan otak.”
“Tapi Papa adalah orang tua istrimu, dan bukankah sudah menjadi kewajiban kamu untuk memenuhi kebutuhan kami?”
“Sama sekali tidak, Pa, kewajiban Aldy adalah menafkahi anak dan istri Aldy, Adapun untuk Papa dan Mama, Aldy tak berkewajiban seratus persen, 10 juta bukan uang yang sedikit Pa, jika masih kurang, sisanya silahkan Papa dan Mama mengusahakannya sendiri.”
“Dasar menantu kurang ajar kamu, masih untung Papa membiarkanmu menikahi putriku.” Maki Pak Hasan.
“Tak apa jika Papa mencap Aldy sebagai menantu kurang ajar, tapi mulai sekarang Aldy pun harus memikirkan masa depan Aldy, mulai menyisihkan uang, agar di masa tua nanti, Aldy tak mengemis pada anak dan menantu Aldy, Assalamualaikum, Pa.”
“Ya… Papa belum selesai bicara…” itulah kalimat terakhir yang Aldy dengar, ia tak peduli lagi dan segera mengakhiri panggilannya.
Berjalan keluar mencari udara segar agar dadanya tak semakin sesak. Kecewa dan marah saja rasanya tak cukup menggambarkan perasaannya saat ini, dan jika tetap di rumah, Aldy tak yakin akan bisa mempertahankan kewarasannya.
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg