NovelToon NovelToon
BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Kehidupan Tentara / Roman-Angst Mafia
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Ini tentang TIGA TRILIUN...
yang dipermainkan oleh DIMITRY SACHA MYKAELENKO, hanya demi satu tujuan:
menjebak gadis yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.

Dialah Brea Celestine Simamora—putri Letkol Gerung Simamora, seorang TNI koplak tapi legendaris.
Pak Tua itulah yang pernah menyelamatkan Dimitry kecil, saat ia bersembunyi di Aceh, di tengah api konflik berdarah.

Kenapa Dimitry sembunyi? Karena dialah
pewaris Mykaelenko—BRATVA kelas dunia

Kepala kecilnya pernah di bandrol selangit, sebab nama Mykaelenko bukan sekadar harta.
Mereka menguasai peredaran berlian: mata uang para raja, juga obsesi para penjahat.

Sialnya, pewaris absurd itu jatuh cinta secara brutal. Entah karena pembangkangan Brea semakin liar, atau karena ulah ayah si gadis—yang berhasil 'MENGKOPLAKI' hidup Dimitry.

Dan demi cinta itu… Dimitry rela menyamar jadi BENCONG, menjerat Brea dalam permainan maut.

WARNING! ⚠️
"Isi cerita murni fiksi. Tangung sendiri Resiko KRAM karena tertawa"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Teror Sang Psikopat.

••Seminggu yang Lalu ••

***

Hari itu, Brea pergi ke rumah sakit untuk kontrol rutin. Ia ditemani oleh ibunya, Bu Mayang, dengan pengawalan ketat dari Saloka yang bertindak sebagai sopir sekaligus pengawal. Kewaspadaan masih dijaga tinggi karena Renggo, dalang penculikan, masih berkeliaran bebas dan belum tertangkap.

Hari masih pagi, jam baru menunjukkan pukul sembilan. Mobil mereka terjebak dalam kemacetan ibukota yang sudah biasa. Brea duduk di samping ibunya, sementara Saloka dengan sigap mengendalikan kemudi.

"Mak, aku haus. Aku beli minuman dulu ya di minimarket itu." tunjuk Brea pada sebuah toko yang tak jauh dari tempat mobil mereka berhenti.

"Udah, kamu nggak usah keluar. Tunggu di sini aja, biar mamak yang belikan." sahut Mayang dengan sigap. Tanpa menunggu persetujuan Brea, ia sudah membuka pintu dan melangkah keluar, wajahnya dipenuhi oleh kewaspadaan seorang ibu yang tidak ingin mengambil risiko sedikit pun.

Melihat ibunya yang sudah jauh berjalan, Brea akhirnya mendumal di dalam mobil. "Huh! Selalu gitu, mau pergi sebentar saja nggak di ijinkan. Bukannya jauh, cuma ke sebelah padahal." gerutunya kesal pada Saloka.

"Sudahlah, jangan ngambek gitu, Mbak Brea. Tante Mayan bertindak begitu juga terpaksa demi keselamatan Bak Brea. Memangnya mbak mau, di culik lagi kayak Tempo hari?" timpal Saloka dari kursi kemudi, mencoba menenangkan dengan logika.

"Ya siapa juga yang mau di culik. Aku kan perginya nggak jauh, cuma mau beli minuman. Tapi di larang, bukannya itu keterlaluan?" bantah Brea, rasa jengkelnya masih membara.

"Mbak nggak lupa kan? Gara-gara beli minuman Yakult di depan Rumah, malah masuk ke tas Yakult dan di culik? Aku saja ngebayanginnya masih ngeri sampe sekarang mbak." timpal Saloka dengan nada sarkastik yang membuat Brea semakin kesal. Ia pun memutuskan untuk tidak mengajak bicara Saloka lagi, memilih untuk menyimpan kekesalannya sendiri.

Waktu terus berlalu. Lima menit... sepuluh menit... hampir lima belas menit. Tapi sosok Bu Mayang yang hanya membeli minuman di minimarket yang jaraknya hanya beberapa langkah, masih belum juga kembali. Hawa panas dan macet mulai memicu rasa haus yang semakin menjadi, namun yang lebih menggerogoti adalah kecemasan yang tiba-tiba menyergap Brea. Di mana ibunya? Mengapa begitu lama? Sebuah firasat buruk yang tidak bisa dijelaskan mulai menjalar dalam dadanya.

Waktu terus berjalan, namun sosok Bu Mayang tak kunjung muncul. Rasa haus dan kekesalan Brea mulai berubah menjadi kecemasan yang menggelayuti hatinya.

"Kok mamak lama banget ya? Mau beli minuman, atau bikin pabrik minuman sih?" gerutunya, mencoba menyembunyikan kegelisahan dengan sarkasme.

"Di telpon saja mbak,, gampang kan?" saran Saloka dengan suara datar, meski matanya tetap waspada memindai sekeliling.

Brea segera mengambil ponselnya dan menghubungi nomor ibunya. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang menunggu sambungan. Akhirnya, setelah dering ketiga, suara Bu Mayang terdengar.

"Halo, Nak? Kamu haus banget ya? Sebentar ya,,, ini mamak sudah mau di ujung antrean, tadi ada orang hamil yang mendadak sakit perut di depan kasir, kayaknya mau melahirkan. Makanya jadi ngantri banget ini."

Penjelasan itu justru membuat alis Brea berkerut. "Hah, mau melahirkan, Mak? Terus sekarang orangnya di mana? Masa mau melahirkan di situ sih? Bukannya dibbawa ke rumah sakit dekat sini?" tanyanya, nada curiga mulai menyelinap dalam suaranya. Saloka yang mendengar pun langsung siaga, tatapannya menjadi lebih tajam dan tubuhnya menegang.

"Ya orangnya sudah dibawa ke rumah sakit nak, dari tadi malah. Masak kamu nggak liat ada yang perempuan hamil yang keluar digendong suaminya?" balas Bu Mayang.

Jawaban itu justru membuat bulu kuduk Brea berdiri. Dari tadi matanya tak pernah lepas mengawasi pintu masuk minimarket, dan sama sekali tidak ada orang hamil yang keluar-masuk.

"Sa,, Saloka. Cepetan jemput mamak sekarang. Ku rasa,,, ada yang nggak beres di sana.." perintah Brea dengan suara bergetar namun penuh urgensi.

Saloka mengangguk singkat. Dengan gerakan gesit, ia melompat keluar dari mobil. Namun sebelum pergi, dengan refleks terlatih, ia mengunci semua pintu mobil dari luar.

“Turunin jokmu, Mbak. Jangan lihat keluar. Jangan sampai orang luar tahu kalau Mbak sendirian di dalam,” pesan Saloka cepat sebelum berlari menuju minimarket.

Ia melakukan itu sebagai langkah pengamanan ekstra. Dalam benaknya, ada kemungkinan besar Mayang hanya dijadikan umpan, sementara target sebenarnya tetap Brea.

Brea pun segera menuruti. Dengan tangan gemetar, ia menurunkan jok kursinya dan merebahkan tubuh, berusaha membuat dirinya tak terlihat dari luar. Dalam hati, ia merasa situasi ini sudah sangat keterlaluan—harus bersembunyi di dalam mobilnya sendiri di tengah keramaian kota.

Namun, apa yang dilakukan Brea dan Saloka ternyata masih berada dalam skenario yang diatur oleh Renggo. Tak lama setelah Saloka masuk ke minimarket, datanglah seorang anak kecil pedagang koran. Tubuhnya kotor berdebu, suaranya lantang menawarkan dagangan sambil melangkah mendekati mobil Brea.

"Koran, koran. korannya om, Tante."

Brea menahan napas, berusaha tidak bersuara dan tidak bergerak, berharap anak itu akan pergi.

Tapi tiba-tiba... Dug... dug... dug...

Pintu mobil diketuk dengan kencang dari luar. Diikuti suara anak kecil itu yang tiba-tiba sangat dekat.

"Koran, kak. Beli koran kak?"

Wajah anak kecil itu tiba-tiba sudah menyembul di jendela samping, tepat di depan tempat Brea bersembunyi, seolah ia tahu persis di mana Brea berada.

"Hah? kamu ngapain sih kayak gitu?" teriak Brea kaget tanpa sengaja, tubuhnya spontan mendongak. Ia berhadapan langsung dengan senyum hangat anak itu yang tiba-tiba terasa sangat menyeramkan.

"Beli koran kak?" tanya anak itu lagi, senyumnya tidak berubah.

Ketakutan melanda Brea. Cara anak itu memaksakan dagangan dan kemunculannya yang tiba-tiba terasa sangat mencurigakan.

Brea merapatkan tasnya di depan wajah, berusaha membangun tembok antara dirinya dan anak kecil yang tiba-tiba terasa mengancam itu. "Nggak aku nggak beli koran, nggak suka baca koran." suaranya terdengar teredam dari balik tas, dipenuhi ketakutan.

Anak itu justru membalas dengan cibirannya. "Cuih,, gayamu sombong banget kak, bilang nggak suka baca koran segala. Kalau nggak sanggup beli, bilang aja kenapa?" Nada suaranya yang tiba-tiba meninggi dan penuh cemoohan membuat jantung Brea berdebar lebih kencang. Ini bukan lagi sekadar anak kecil yang menjual koran, ada sesuatu yang salah.

Brea memilih untuk tidak merespons lagi, berharap anak itu akan pergi. Ia hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang di telinganya.

"Ya udah, berhubung koranku udah mau habis, yang ini, aku hibahkan ke kakak aja ya, anggap aja sedekah." ucap anak itu tiba-tiba. Sebelum Brea sempat bereaksi, ia sudah merasakan sesuatu menempel di kaca mobilnya. Lalu, langkah kaki kecil itu terdengar menjauh, menghilang begitu saja ke dalam keramaian.

Huh! Brea akhirnya menghela napas lega, meski rasa was-was masih menggumpal di dadanya. Pengalaman traumatisnya dengan Renggo telah meninggalkan luka yang dalam, membuatnya mudah sekali dilanda ketakutan yang irasional.

Dengan hati-hati, ia mulai mendongakkan kepalanya, matanya menyisir sekeliling untuk memastikan keadaan sudah aman. Namun, pandangannya langsung tersangkut pada koran yang menempel di kaca mobil. Ternyata, ada perekat khusus yang membuatnya menempel dengan sempurna, seolah sengaja ditinggalkan untuknya.

Perasaan tidak enaknya semakin menjadi. Dengan penuh kewaspadaan, matanya mulai memeriksa koran itu lebih seksama, mencari tahu apa maksud di balik pemberian yang dipaksakan ini.

Lalu, napasnya tersangkut di tenggorokan.

Matanya membelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di bagian tengah koran, terpampang sebuah foto berukuran besar yang begitu mengerikan. Seekor domba kecil dipakaikan gaun pengantin putih, namun kepalanya telah dipenggal. Darah menggenang dan terciprat-ciprat di kain putih gaunnya, membentuk pola yang mengerikan. Di bawahnya, terpampang tulisan berwarna merah menyala yang seolah berteriak:

"Pengantin wanitaku yang punya hobi melarikan diri, maka nasibnya akan Jadu seperti ini sebentar lagi."

Thump!

Seakan dunia berhenti berputar. Rasa pening, mual, dan ketakutan yang begitu dahsyat menghantam Brea sekaligus. Ia tidak sanggup melihatnya lebih lama lagi. Yang membuatnya hampir pingsan adalah pengenalannya pada domba malang itu—itu adalah Simba, domba kesayangannya yang dulu selalu menemaninya bermain di Medan, yang terpaksa ia tinggalkan untuk dirawat oleh Opung Doly Gio. Simba adalah hadiah terakhir dari neneknya sebelum meninggal, sebuah kenangan yang sangat berharga.

Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya menjadi gelap. Kesedihan, kemarahan, dan ketakutan yang begitu besar menghancurkan pertahanannya. Tanpa bisa melawan, kesadarannya pun terlepas, menjatuhkannya ke dalam lubang hitam yang tak berujung.

***

1
sasi Cia
Alamakkkk...share lock aja WC nya di mana 😭😭😭
sasi Cia
Whahahaha
sasi Cia
GO GO GO!!
Xavia
Jelek, bosen.
sasi Cia: idihhh alay lu! manusia kek kau ini, cuma bisa koar koar, ngekritik kosong, mulut besar, cocok banget tinggal di hutan, soal nya gak guna ,🙊🙊
total 2 replies
Esmeralda Gonzalez
Aku suka banget sama karakter tokoh utamanya, semoga nanti ada kelanjutannya lagi!
Yuni_Hasibuan: Sip,,,,
Terimakasih banyak Say.
Tetep ikutin terus.. Ku usahakan baka update setiap hari.


Soalnya ini setengah Based dari true story. Ups,,, keceplosan.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!