NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:816
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24.Janji Di Tengah Kebisingan

Jakarta membuka pagi dengan cahaya susu yang menetes di antara daun trembesi. Embun belum benar‑benar hilang, tapi aroma roti bakar gosong sudah merambat dari dapur, menandai bahwa Tristan kembali berseteru dengan wajan. Aurora tertawa kecil dari ambang pintu, memeluk kemeja satin birunya agar tidak tertular percikan minyak.

“Restoran Apokalips buka lagi?”

Tristan menoleh, wajahnya berlumur tekad dan sedikit arang telur. “Aku bersumpah gas tadi koalisi dengan telur untuk menggulingkan ku.”

“Koalisi gagal kalau ada chef cadangan.” Aurora mengambil spatula, memadamkan api, lalu menuang adonan baru. Sentuhan tangan mereka bertemu singkat—hangat, ringan, tapi cukup membuat waktu melambat sepersekian detik.

Omelet kedua lahir lebih lembut, meski masih berbentuk peta dunia abstrak. Mereka sarapan di meja marmer sempit, tersisa sisa tawa dan aroma kopi.

“Aku mungkin CEO, tapi kau profesor telur,” ujar Tristan, menyeruput cangkir.

“Profesor telur akan menagih royalti jika restorannya untung,” balas Aurora.

Mata mereka bertaut. Tristan menyelipkan helaian rambut Aurora ke belakang telinga. “Bayaran pertama: hari ini kau ikut aku keluar. Tempat kenangan.”

$$$$$

Mereka menyeberang kota menggunakan sedan hitam minimalis—bukan mobil dinas—melintasi gang‑gang tua hingga berhenti di tepian danau pinggiran. Pepohonan ketapang menggambar kanopi alami, meneduhkan dermaga kayu sunyi. Di ujung dermaga, bangku cat putih terkelupas menunggu.

“Ke sini Ibu sering membawaku piknik,” bisik Tristan. Ia menenteng mini termos cokelat panas, menaruhnya di bangku. Aurora duduk, mengusap debu, lalu menepuk sebelahnya.

Angin membawa wangi air danau yang basi tapi nostalgis. Tristan duduk, menatap riak air. “Kadang kami tak bicara sepatah kata pun. Ibu hanya membaca puisi, aku menghitung perahu.”

Aurora mencondongkan tubuh. “Bacakan salah satu?”

Tristan mengeluarkan buku tipis berkulit krem. “Koleksi Ibu. ‘Kumpulan Puisi Layar Senja’. Aku simpan bertahun‑tahun.” Ia membuka halaman yang ditandai bunga kering. “Judulnya ‘Pulau Tanpa Peta’.”

Suara Tristan pelan, serak, namun tiap kata menggulung lembut ke danau:

“Jika kau tersesat di pulau tanpa peta, Jangan cari aku di tepi air, Cari aku di degupmu sendiri, Sebab pulau itu adalah jantungmu.”

Aurora menutup mata. Rasanya seperti pelukan kata‑kata. Saat bibir Tristan berhenti, ia membuka mata—menemukan tatapan pria itu melekat padanya, rapuh dan berani sekaligus.

“Aurora,” ia berbisik, “aku tersesat terlalu lama. Tapi degupmu… aku mulai hafal.”

Aurora meraih tangan Tristan, meletakkannya di dadanya sendiri, di atas detak yang sedikit gugup. “Kalau begitu, simpan peta ini baik‑baik.”

Tristan menunduk, menyentuh kening Aurora dengan keningnya. Ciuman singkat mendarat di hidung, lalu turun ke kening—hangat, tanpa tergesa. Aurora memejamkan mata, membiarkan sentuhan itu membubuhkan stempel kepercayaan pertama.

$$$$$

Sore hari, mobil mereka berhenti di pelataran kafe mungil berkanopi jingga. Aroma kopi Guatemala berpadu dengan cahaya senja yang menelusup kaca. Kalea sudah menanti di sudut jendela; blus putih gading dan selendang tipis membuatnya sederhana namun anggun. Arya bangkit, menarikkan kursi saat ia datang—gestur kecil yang membuat Kalea mengangguk, menyimpan senyum tipis.

Begitu Tristan menerima panggilan bisnis dan mengajak Aurora ke teras, sunyi nyaman turun di meja mereka. Hanya secangkir teh lemon berembun dan kopi hitam yang menunggu percakapan.

“Tehmu mulai dingin,” kata Arya, suaranya tenang.

Kalea menatap gelas. “Hangat memang cepat pergi. Aku belum sempat benar-benar menikmatinya.”

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita pesan yang baru, lalu meminumnya lebih pelan?” Arya mengangkat tangan memanggil pelayan.

Kalea menghela napas tipis. “Menikmati sesuatu tanpa tergesa… sepertinya konsep asing bagiku, tapi aku mau belajar.”

Teh baru datang, uapnya menggantung di antara mereka. Arya mengeluarkan pena dan menulis di tisu satu kata: percaya.

“Kata ini sering hilang di hidupku,” ujarnya sambil mendorong tisu itu ke arah Kalea. “Kalau kau belum memegangnya penuh, izinkan aku berbagi sebagian.”

Kalea meneliti huruf-huruf itu. “Kepercayaan bukan benda mati, Arya. Ia hidup—kadang tumbuh, kadang layu. Kau yakin mau menanamnya bersamaku?”

“Aku yakin,” jawab Arya, menautkan jemarinya. “Aku akan menyiraminya, bahkan kalau tanahnya tampak kering. Asal kau mau menunjukkan di mana bibitnya harus diletakkan.”

Senyum kecil terbit di bibir Kalea. Ia mengambil pena, menambah satu kata di bawahnya: perlahan.

“Segala yang tumbuh perlahan biasanya berakar kuat,” tuturnya.

Arya melipat tisu itu hati-hati, menyimpannya di dompet. “Kalau begitu, bagaimana kalau suatu hari nanti kita duduk lagi—secangkir kopi kedua, tanpa tenggat?”

“Undangan diterima,” kata Kalea. “Tapi jangan kaget kalau aku datang membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.”

“Pertanyaan membuat akar mencari air,” balas Arya. “Kita cari jawabannya bersama, perlahan.”

Hening yang turun setelahnya bukan canggung; ia ruang bagi dua detak jantung menyesuaikan ritme. Di kepala Kalea, kata percaya tak lagi menakutkan; di dada Arya, kata perlahan menjadi penunjuk arah.

$$$$$

Malam menjemput Jakarta dengan lampu-lampu jalan bak kunang elektrik, sementara dua cangkir—teh dan kopi—menyisakan uap tipis yang berpamitan, tetapi meninggalkan kehangatan bertahan di dasar cangkir. dengan lampu‑lampu jalan bak kunang elektrik, sementara dua cangkir—satu teh, satu kopi—menyisakan uap tipis yang berpamit, namun meninggalkan kehangatan bertahan di dasar cangkir. dengan lampu‑lampu jalan bagai kunang elektrik. dengan lampu-lampu jalan bagai kunang elektrik. Tristan memutar setir, kembali ke rumah. Di jok belakang, Aurora membuka antologi puisi pemberian Tristan. Di tengah, terselip amplop usang berinisial tulisan tangan halus.

Ia membuka perlahan di bawah cahaya mobil. Di dalamnya, surat tinta sepia:

Kepada anakku, Tristan, Jika suatu hari kau merasa pulau hatimu sepi, cari DIRA MARESYA—dia tahu pintu menuju cahaya. — Ibumu

Aurora menahan napas. Nama itu memercik tanda tanya. Ia menyimpan surat, memandangi punggung kemudi Tristan—ingin bertanya, tapi belum sanggup.

Tristan menepikan mobil di depan gerbang. “Kenapa diam?”

Aurora tersenyum tipis. “Aku menyimpan peta. Nanti ku beritahu rutenya.”

Ia memeluk lengan Tristan saat mereka berjalan ke pintu. Di balkon atas, Clarissa menyingkap tirai—mata elangnya menandai kebisingan cinta yang kian keras. Tapi di bawah, dua hati tak gentar. Mereka tahu kebisingan hanyalah uji bagi janji yang lahir hari ini: untuk tinggal, bahkan ketika dingin, bahkan ketika sunyi mencari celah.

Dan di balkon samping, Kalea menerima pesan malam: foto hati di tisu, tulisan ‘kopi kedua?’—ia membalas dengan emotikon centang. Jarak dua hati mengecil lagi.

Lampu kota meredup; bulan pucat menggantung. Tapi di hati mereka, janji baru menyalakan terang yang cukup—untuk membimbing langkah esok.

.

.

.

Bersambung.

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!