NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:908
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3 mulai menerima

Suasana kantor hari itu begitu sunyi. Hanya suara ketikan keyboard dan dentingan gelas kopi yang sesekali terdengar di ruang kerja Willson Company. Jam sudah menunjukkan pukul 16.40 sore, namun Zhavira masih betah menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Tangannya tak benar-benar mengetik—lebih banyak berhenti di tengah kalimat, lalu kembali dihapus.

Pikirannya kacau. Sejak kejadian di ruang CEO dua hari lalu, saat bibir mereka bersentuhan dalam momen yang terlalu cepat namun membekas, dunia seolah terbalik. Tidak ada yang berubah secara nyata, tetapi segalanya berubah di dalam dirinya.

Dan yang membuatnya makin bingung…

“Kenapa aku nggak bisa marah?” bisiknya pelan sambil menutup laptopnya.

Zhavira mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, berharap bisa menghapus kebingungan yang mengendap di dalam hatinya. Ia tahu itu salah. Ia tahu ia bukan siapa-siapa. Tapi ada bagian dari hatinya yang telah lama mengenal rasa itu—rasa hangat, rasa gugup, rasa ingin bertemu. Rasa yang hanya muncul ketika dia berhadapan dengan Makes.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk.

Makes: “Saya ingin kamu temani saya makan malam. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”

Zhavira menatap layar ponselnya beberapa detik, bingung harus membalas apa. Lalu jari-jarinya mengetik:

Zhavira: “Maaf, Pak Makes. Saya rasa itu tidak profesional.”

Namun sebelum ia sempat menekan tombol kirim, ponselnya kembali bergetar.

Makes: “Jangan bilang tidak sebelum mendengarkan saya. Saya tunggu di lobi. 15 menit.”

Zhavira menghela napas. Kali ini bukan karena marah. Tapi karena jantungnya memukul-mukul dadanya terlalu keras.

 

Makan malam berlangsung di sebuah restoran bintang lima di pusat kota. Makes duduk di hadapannya dengan setelan jas gelap seperti biasa, wajah tenang namun mata menatap tajam. Sesekali, jemarinya memainkan garpu dan sendok—tanda pria itu sedang berpikir keras.

“Kenapa kamu selalu menghindar, Zha?” tanya Makes akhirnya, memecah keheningan setelah makanan mereka hanya disentuh sedikit.

Zhavira menunduk. “Saya sekretaris Anda, Pak. Hubungan seperti ini akan menciptakan omongan. Tidak adil untuk Bapak maupun saya.”

“Lupakan statusmu sejenak. Dan katakan... kamu memang tak merasakan apa-apa waktu aku menciummu?”

Zhavira terdiam. Ia merasa wajahnya memanas. Bukan karena malu, tapi karena ketakutan akan ketertangkapannya sendiri.

“Aku tidak ingin kamu berpura-pura, Zha. Aku ingin kamu jujur.”

Dengan suara yang nyaris tak terdengar, Zhavira menjawab, “Saya memang punya perasaan, Pak… Tapi saya sadar diri.”

Makes terdiam. Tatapan pria itu berubah lebih lembut, seolah apa yang ia dengar adalah jawaban yang telah lama ia tunggu.

“Kamu sadar diri, aku pun sadar siapa aku, Zha. Tapi kenapa harus selalu membatasi hati kita hanya karena posisi? Aku tidak pernah memandangmu sebagai bawahan.”

“Tapi dunia tidak sebaik itu, Pak Makes,” ucap Zhavira, suaranya serak. “Saat seorang sekretaris jatuh cinta pada atasannya, dia akan dicap sebagai perebut, penjilat, bahkan pelacur bermuka dua. Saya hanya... takut.”

Makes menghela napas panjang. “Aku tahu kamu takut. Tapi apa kamu yakin bisa terus hidup dengan pura-pura? Kamu bisa bohong pada semua orang. Tapi jangan pada hatimu sendiri, Zha.”

Zhavira menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai berkaca-kaca, bukan karena terluka... melainkan karena merasa dilihat. Untuk pertama kalinya, ada yang benar-benar melihat isi hatinya. Dan pria itu adalah Makes.

“Aku tidak akan paksa kamu jawab sekarang,” lanjut Makes. “Tapi mulai sekarang, aku nggak akan berhenti menunjukkan bahwa aku serius. Aku ingin kamu percaya bahwa yang aku rasakan ini bukan main-main.”

Zhavira menunduk lagi. Hatinya berkecamuk, tapi kali ini tak sekelam biasanya. Ada ruang yang terbuka. Ada luka yang perlahan sembuh—karena Makes tidak memberinya tekanan, tapi pemahaman.

 

Malam itu, saat kembali ke apartemen kecilnya, Zhavira menatap langit-langit kamarnya dengan senyum tipis.

“Bodohnya aku,” bisiknya.

Ia ingat bagaimana pertama kali ia melihat Makes di hari pertama kerja. Dingin, karismatik, hampir menyeramkan. Tapi dari hari ke hari, ia melihat sisi lain. Sisi Makes yang penuh perhatian diam-diam. Sisi Makes yang terlalu hati-hati memilih kata. Sisi Makes yang selalu memberi ruang untuknya tumbuh.

Ia memang mencintainya. Sejak lama. Ia hanya terlalu takut untuk mengakui.

Dan malam ini, untuk pertama kalinya, ia mengizinkan dirinya menyebut nama itu bukan sebagai bos, bukan sebagai pemilik Willson Company... tapi sebagai lelaki yang diam-diam ia doakan setiap malam.

“Makes…”

Namanya terasa berbeda ketika diucapkan tanpa jarak.

**

Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu di balik tirai jendela kantor. Langit biru Jakarta tampak cerah, seolah ikut menyambut perubahan kecil yang mulai terasa di antara dua insan yang belum lama ini hanya sebatas atasan dan bawahan.

Zhavira melangkah masuk ke kantor seperti biasa, mengenakan blouse putih sederhana dengan rok hitam panjang selutut. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya terlihat segar meski sorot matanya menyimpan gelisah. Sejak insiden di ruang CEO seminggu lalu—saat Makes mencuri ciuman pertamanya—Zhavira berusaha bersikap normal. Namun, dalam hati, ada gejolak yang tidak bisa ia bendung.

Dan seperti biasa, pria itu selalu lebih dulu menyadari kehadirannya.

“Pagi, Zha.” Suara berat Makes terdengar dari ambang pintu ruangannya yang terbuka sedikit.

Zhavira refleks menoleh dan sedikit gugup. “Pagi, Pak Makes.”

"Sudah sarapan?"

Zhavira tertegun sejenak. Pertanyaan itu terlalu sering ia dengar akhir-akhir ini, dan jawabannya selalu sama: “Belum, Pak. Saya terburu-buru.”

Senyuman tipis muncul di bibir Makes. “Masuk ke ruangan saya sebentar.”

Zhavira menelan ludah. “Pak, saya—”

“Tolong, jangan panggil saya ‘Pak’ saat kita hanya berdua.” Makes menyisipkan nada lembut dalam kalimatnya, mengundang kekakuan yang menjalar ke pipi Zhavira.

Dengan hati-hati, Zhavira melangkah masuk. Betapa terkejutnya dia saat melihat sebuah kotak bekal berwarna cokelat muda di atas meja tamu, lengkap dengan sendok garpu dan sebotol kecil jus jeruk.

"Apa ini...?"

“Makanan favoritmu, sandwich alpukat dan telur. Aku minta sekretaris keempat mencatat semua makanan yang kau pesan di kantin selama dua bulan terakhir,” ujar Makes santai sambil berjalan ke meja.

“Anda... anda menyuruh orang lain untuk memperhatikan kebiasaan saya?” Zhavira terdengar sedikit canggung. Antara tersentuh dan bingung, dia merasa hatinya bergetar kecil.

“Kalau aku sendiri yang memperhatikan, kau pasti akan langsung menjauh,” kata Makes sambil duduk di seberangnya, memperhatikan reaksi Zhavira yang masih gugup. “Anggap ini permintaan maaf karena... ciuman tempo hari.”

Zhavira menunduk, wajahnya memerah. Perasaannya masih kacau. Tapi satu yang pasti, tidak ada rasa jijik atau marah. Yang ada hanya degup jantung yang semakin tak menentu.

“Aku tahu kau bingung, Zha.” Suara Makes pelan, seperti membelai pikirannya. “Tapi aku serius. Bukan cuma karena aku laki-laki yang sedang tertarik pada perempuan cantik. Tapi karena kau... punya sesuatu yang belum pernah ku temukan di perempuan mana pun.”

Zhavira memandang Makes dalam diam. Sorot matanya menunjukkan keraguan yang masih belum bisa ia singkirkan. Tapi jauh di dalam sana, kata-kata itu mulai membuka pintu kecil dalam hatinya.

**

Hari-hari selanjutnya berubah menjadi lembaran perhatian-perhatian kecil yang diam-diam dinanti Zhavira.

Setiap pagi, ada segelas kopi kesukaannya di meja—dengan tingkat pahit yang pas, tanpa gula, dan sedikit foam. Jika dia lembur, Makes akan mengirimkan makanan ringan tanpa banyak bicara. Bahkan suatu malam saat hujan deras dan Zhavira tidak membawa payung, pria itu menyodorkan payung pribadinya, lalu ikut menembus hujan dengan jas kerjanya yang basah.

“Kenapa anda melakukan semua ini?” tanya Zhavira suatu sore, ketika mereka berdua tidak sengaja bertemu di pantry kantor. Tangan mereka sama-sama meraih gelas kaca di rak, dan keduanya terdiam saat kulit mereka bersentuhan.

“Karena aku ingin kamu merasa bahwa kamu bukan sekadar bawahan di mataku,” jawab Makes tulus.

“Tapi saya hanya sekretaris anda, pak Makes...”

“Dan aku hanya manusia biasa yang sedang jatuh cinta, Zhavira.”

Jantung Zhavira seolah berhenti berdetak untuk beberapa detik. Kalimat itu—tanpa perhiasan dan penuh keyakinan—menghantam benteng yang ia bangun sejak awal.

**

Zhavira mulai membuka diri secara perlahan. Ia tak lagi langsung menghindar saat Makes berdiri terlalu dekat. Ia mulai tersenyum lebih lepas saat Makes menggodanya dengan canda ringan. Bahkan sesekali, ia mengantar kopi sendiri ke ruang pria itu, dan bukan lagi menyuruh office boy.

Hari itu, ketika mereka menyelesaikan rapat penting bersama investor asing, Makes memberikan apresiasi di depan semua staf.

“Dan untuk keberhasilan hari ini, kita berutang besar pada Zhavira Mesyana. Tanpa persiapan dokumen dan ketepatan waktunya, mungkin kita tak akan mendapatkan deal sebesar ini.”

Tepuk tangan bergema di ruangan, dan Zhavira merasa seluruh tubuhnya merinding. Untuk pertama kalinya, Makes menyebut namanya secara profesional dan pribadi sekaligus. Bukan hanya sebagai asisten, tapi sebagai sosok penting.

**

Sore harinya, ketika semua pegawai mulai pulang, Makes mengetuk bilik kerja Zhavira.

“Mau makan malam di luar?”

Zhavira memandangnya, lama. Keraguan masih ada, namun di matanya tersirat keberanian kecil yang mulai tumbuh.

“Kalau saya bilang... saya mau mencoba percaya pada anda, apa anda bisa menjaga kepercayaan itu,?”

Pria itu mengangguk, tanpa basa-basi.

“Dengan seluruh hidupku.”

Dan untuk pertama kalinya, Zhavira tersenyum penuh ketulusan, membuka pintu hati yang selama ini hanya ia kunci rapat demi menjaga logika.

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!