berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Satya tercengang, apa ia tak salah lihat? Tanpa mengatakan apapun pada Shintia, ia menurunkan ponsel dari telinga setelah mematikan sambungan telepon. Dan saat rambu lalu lintas telah berubah menjadi hijau, ia segera tancap gas mengikuti mobil yang sebelumnya berada di sisi kanan mobilnya.
Degup jantung Satya tak terkendali, ia mengikuti mobil berwarna hitam di depannya seperti orang kesetanan. Mungkinkah itu ayahnya? Ataukah ia yang salah lihat? Bisa saja pria yang berada dalam mobil itu yang sempat ia lihat adalah seseorang yang hanya mirip dengan sang ayah. Tapi, rasanya ia ingin memastikan. Mungkinkah perasaan seperti ini yang ibunya rasakan kemarin?
"Sepertinya ada yang mengikuti kita."
Pria yang duduk di samping rekannya yang mengemudi mengarah pandangan pada spion melihat mobil di belakangnya. "Sepertinya," jawabnya melihat mobil Satya berusaha menyalip mobil yang berada tepat di belakang mobilnya.
"Mau berhenti saja dan hadapi dia?" tanya pengemudi pada pria yang kini memakai maskernya.
"Tidak perlu. Buat dia kehilangan jejak." Mendapat perintah demikian, si pengemudi kian mempercepat laju mobilnya mengabaikan kondisi jalanan yang licin akibat hujan deras yang sebelumnya mengguyur.
Sementara itu Satya mulai gusar saat hampir kehilangan jejak. Akibat hujan yang masih mendera membuat jarak pandanganya menipis. Selain itu juga karena sebuah mobil yang baru saja memasuki jalan raya membuatnya berjarak dengan mobil yang ia kejar. Bahkan nyaris saja ia celaka, menabrak mobil itu jika saja terlambat menginjak rem.
"Agh!" Satya berteriak marah dengan tangan memukul stir saat benar-benar kehilangan jejak mobil yang ia ikuti. Merasa percuma lagi mengejar mobil itu yang telah menghilang, ia menepikan mobilnya di depan sebuah minimarket. Dan di saat bersamaan, ponselnya kembali bergetar membuatnya melihat siapa yang menelepon.
"Halo," jawab Satya setelah menggeser layar. Deru nafasnya masih tak terkendali karena kekesalannya yang telah kehilangan jejak mobil itu.
["Satya, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja, kan?"]
Terdengar jelas suara ibunya bernada khawatir membuat Satya berusaha menetralkan deru nafasnya walau degup jantungnya masih berpacu dengann cepat.
Satya menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Satya baik-baik saja."
["Tapi, kenapa tadi ...."]
"Tadi Satya hampir menabrak seekor kucing. Tapi untung saja kucing itu berhasil lari sebelum tertabrak," papar Satya sebagai alasan. Tak mungkin baginya memberitahu sang ibu jika dirinya melihat seseorang yang mirip dengan ayahnya. Jikapun mengatakannya, mungkin nanti setelah sampai di rumah. "Ibu masih di sana? Aku akan segera menjemput ibu."
["Ya, tapi hati-hati, Sat. Jalanan pasti licin setelah hujan, jangan terlalu terburu-buru. Ibu tidak ingin terjadi sesuatu denganmu."]
Satya menghela nafas kemudian menjawab, " Baik, bu." Setelahnya ia pun menutup panggilan.
Satya menyandarkan punggungnya pada jok di mana kini degup jantungnya telah normal. Perasaannya juga sedikit lebih tenang sekarang. Namun, rasa penasaran akan pria yang mirip dengan Yoga itu masih menggelayuti pikiran.
Di tempat lain, Shintia mengembalikan ponsel Raska. "Terima kasih," ucapnya.
"Bagaimana? Apa terjadi sesuatu?" tanya Raska memastikan melihat sebelumnya Shintia tampak panik.
Shintia menggeleng. "Sebentar lagi Satya menjemputku," ujarnya memberitahu.
Raska hanya mengangguk ringan, memasukkan ponselnya kembali ke saku celana dan memulai pembicaraan setelah merasa Shintia lebih tenang dari sebelumnya. "Jadi ... apa yang sebenarnya terjadi? Ah, tapi jika kau belum ingnceritam tidak apa-apa."
Shintia hanya diam menatap pinggiran cangkirnya yang tampak berkilau terkena cahaya lampu di atas mereka. "Dia masih tak ingin menemuiku. Tapi sebenarnya bukan itu yang aku pikirkan."
Pada akhirnya Shintia memutuskan mengatakan apa yang terjadi mengingat Raska berjanji akan membantunya. la tak peduli lagi merepotkan pria yang mencintainya, yang ia pedulikan hanya agar bisa tahu bagaimana keadaan Yoga.
Raska diam menunggu Shintia melanjutkan ucapannya. Sebenarnya ia sudah menyelidikinya sebelumnya dan telah mengetahui fakta yang mungkin akan membuat Shintia terkejut. Tapi ia tak akan memberitahu Shintia sekarang, ia akan menunggu waktu yang tepat.
"Beberapa waktu yang lalu dia mengatakan seseorang berniat membunuhnya. Itu lah yang membuatku takut dan cemas. Beberapa hari ini aku tak bisa menemuinya, polisi juga tak mengatakan alasannya. Apa menurutmu terlalu berlebihan jika aku berpikir yang tidak-tidak? Menuduh polisi telah menyembunyikan sesuatu tentang dirinya?" papar Shintia yang menatap Raska dengan pandangan tak terbaca. la terlalu polos, tak pernah berpikir Raska dapat melakukan sesuatu di luar kepala hanya karena rasa cintanya.
Tiba-tiba Shintia mengalihkan pandangan, sesekali menatap arah lain dan setengah menunduk saat ia menyadari sesuatu. Dirinya terlalu mudah mengatakan itu pada seseorang yang menunggunya tanpa memikirkan bagaimana perasaan Raska yang mendengarnya. "Ma- maaf," cicitnya nyaris tanpa suara.
"Tidak apa-apa. Rasanya memang kecewa dan sakit melihat cinta kita bertepuk sebelah tangan. Aku merasakannya. Tapi, saat melihatmu menangis, itu lebih membuatku merasakan sakit. Jadi kuputuskan, walau aku tak bisa memilikimu, dan jika bersamanya dapat membuatmu bahagia, membuat senyummu kembali, aku akan melakukan apapun," ucap Raska dengan senyum simpul yang menghiasi bibir. Kasta tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan dan merelakan, walau terasa menyakitkan, melihat yang dicintai bahagia itu sudah cukup.
Shintia tertegun. Apakah ini yang dinamakan puber kedua? Usia mereka tak lagi muda baik dirinya, Raska, atau Yoga walau usia Yoga beberapa tahun di bawahnya. Tapi di usianya sekarang ini dirinya seakan merasa kembali muda, merasakan segitiga cinta yang dulu kerap ia baca dalam novel-novel cinta.
Shintia tertunduk dan menyeka setitik air mata di ujug mata. Matanya masih terasa pedas akibat menangis sebelumnya dan ia tak ingin semakin membuat matanya sembab. la tak ingin Satya melihatnya. Kembali menegakkan kepala, ia menatap Raska dengan sorot mata nan teduh. " Terima kasih, terima kasih," ucapnya disertai senyuman tulus tercipta.
Tak berselang lama akhirnya Satya tiba. la segera masuk ke dalam rumah, menghampiri sang ibu setelah Raska membuka pintu.
"Ibu, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ibu ada di sni?" Dan ini...." Memperhatikan penampilan sang ibu dari kepala hingga ujung kaki. la masih ingat pakaian yang ibunya pakai saat ke rumah tahanan, dan yang ia lihat sekarang bukanlah baju yang ibunya pakai sebelumnya. Bahkan seingatnya sang ibu tidak memiliki baju seperti itu.
Shintia bangkit dari duduknya dan berdiri berhadapan dengan Satya. "Ibu tidak bisa menemui ayahmu lagi," ujarnya mengadu.
Mendengar itu Satya menjadi panik. la hampir lupa mengenai kekhawatirannya sebelumnya. Dirinya terlalu memikirkan orang yang mirip ayahnya juga memikirkan bagaimana bisa ibunya ada di rumah Raska sampai lupa bahwa dalam tahanan ayahnya dalam bahaya.