Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Pelarian Isabella
...•••Selamat Membaca•••...
Jeritan Vanessa memecah keheningan. Pisau menancap dalam di sisi pinggangnya, darah langsung mengalir deras membasahi gaun yang ia kenakan. Tak jauh darinya, Maula tersungkur ke lantai, luka di lengan kiri serta pinggang mengucurkan darah hangat tapi luka Maula tak sedalam Vanessa.
“Vanessa!” Archer berteriak histeris, seketika berlari menghampiri istrinya, dia mendengar kegaduhan di lantai bawah dari beberapa penjaga.
Wajah Vanessa pucat. Tubuhnya mulai limbung sebelum Archer mendekat, ia menahan kepala sang istri di pangkuannya. “Sayang, tetap buka matamu! Aku di sini! Bertahan, tolong...!”
Di sisi lain meja makan, Rayden segera membungkuk dan merengkuh tubuh istrinya. “Maula!” suaranya gemetar. Tangan Maula menekan pinggang yang tertusuk, darah merembes di antara jemarinya.
“Aku... baik-baik saja... tolong Vanessa dulu…” bisik Maula lemah.
Rayden menoleh cepat ke arah Archer dan Vanessa. “Kita harus panggil ambulans! Sekarang!”
“Iya.”
Salah satu pelayan yang sebelumnya membeku karena syok, akhirnya berlari ke arah telepon darurat. Angin mengguncang jendela ruang makan seperti alam pun ikut menyuarakan kekacauan malam itu.
Isabella berdiri beberapa langkah dari mereka, wajahnya pucat namun penuh kepuasan dingin. Ia tahu waktunya tak banyak. Begitu Rayden berdiri dan hendak menghampirinya, wanita itu melemparkan vas kaca ke arahnya dan berlari keluar ruangan secepat mungkin.
“ISABELLA!!” Rayden dan Archer serempak meneriakkan namanya.
Tapi mereka tak bisa meninggalkan istri mereka begitu saja. Archer tetap memeluk tubuh Vanessa yang mulai menggigil. Darah tak berhenti mengalir. Tangannya bergetar saat mencoba menekan luka itu dengan napkin linen putih yang langsung berubah merah pekat.
“Sayang… tolong tahan sebentar… ambulance dalam perjalanan… bertahanlah untukku,” bisiknya putus asa.
Mata Vanessa terbuka sedikit, menatap suaminya yang penuh air mata. Ia mencoba tersenyum kecil, menyentuh pipi Archer yang basah oleh air mata dan darah.
Di dekatnya, Rayden mengangkat Maula dan membaringkannya perlahan di sofa ruang tengah. Wajahnya gelisah, tangan gemetar saat mengikat luka lengan Maula dengan dasi miliknya. “Maula, kamu harus tetap sadar. Dengar suaraku… Ini akan segera selesai, sayang…”
Maula tersenyum tipis meski wajahnya pucat. “Aku... masih kuat... jangan khawatir.”
Ketika sirene ambulans akhirnya terdengar, Archer segera mengangkat Vanessa, membawanya menuju pintu depan di bawah guyuran hujan. Rayden menggendong Maula, tak peduli darah membasahi kemeja dan jasnya.
Isabella sudah lenyap. Meninggalkan luka, darah, dan kebenaran yang baru saja meledak di tengah-tengah keluarga yang hampir hancur. Tapi satu hal kini yang pasti, wajah Isabella bukan lagi simbol kekuasaan, melainkan kebohongan yang akhirnya terkuak.
Saat Vanessa dan Maula dibawa ke dalam ambulans, Archer memeluk tubuh istrinya erat-erat.
“Dia akan membayar semua ini…” gumamnya dingin, mata memandang ke gelapnya malam.
Rayden berdiri di sisi lain, menggenggam tangan Maula yang terus melemah. Di matanya, tidak ada lagi keraguan, yang tersisa hanya dendam dan tekad untuk mengakhiri semuanya.
“Ini sudah keterlaluan, dia benar-benar keterlaluan.” Maula tersenyum samar dan membalas genggamam tangan Rayden.
“Aku ini kuat, jangan khawatirkan aku, hanya butuh sedikit pengobatan saja.” Rayden mencium tangan istrinya.
...***...
Pintu ruang operasi terbuka perlahan.
Seorang dokter perempuan keluar dengan masker tergantung di bawah dagunya. Seragam hijaunya penuh noda darah yang mulai mengering, namun sorot matanya jernih dan penuh otoritas.
“Mr. Archer Dragonvich?”
Archer langsung berdiri, langkahnya mantap meski tubuhnya gemetar. “Ya. Bagaimana istri saya?”
Dokter itu mengangguk singkat, suaranya tenang dengan aksen Rusia yang tebal namun jelas. “Mrs. Vanessa kehilangan banyak darah. Luka tikaman di flank kiri menembus sampai otot latissimus dorsi, tapi tidak mencapai organ vital. Kami telah membersihkan luka, menghentikan pendarahan, dan menjahit lapisan otot serta kulit. Dia akan dibawa ke ICU untuk pemantauan 24 jam ke depan. Dia butuh transfusi, tapi... dia stabil.”
Archer nyaris jatuh berlutut. “Tuhan...” bisiknya. “Terima kasih... Terima kasih, Dokter.”
Dokter itu menunduk sopan. “Kami melakukan yang terbaik. Dia wanita yang kuat.”
Rayden segera menyambar dokter yang keluar berikutnya—pria tua berjanggut putih yang mengenakan topi bedah.
“Maula, istri saya?”
Dokter itu membuka catatan medis digitalnya dan berkata cepat, “Lukanya lebih ringan. Dua tusukan, satu di lengan kiri, satu di pinggang bagian bawah. Tidak menembus organ. Luka sudah dibersihkan dan dijahit. Tidak perlu operasi besar. Tapi kami menemukan tekanan darahnya sempat turun akibat kehilangan darah, jadi kami observasi dulu. Dia sadar saat terakhir kali saya periksa dan dia terus memanggil nama Anda Mr. Rayden.”
Rayden menahan napas. Matanya mulai berkaca-kaca. “Boleh saya lihat dia?”
“Satu orang, sebentar saja. Dia di ruang pemulihan,” jawab sang dokter.
Tanpa menunggu izin lebih lanjut, Rayden langsung berjalan mengikuti suster ke koridor sayap kanan rumah sakit, melewati lorong dengan dinding putih berlapis marmer dingin khas rumah sakit-hotel elite Moskow. Di luar jendela, lampu kota memantul di salju tipis yang baru turun.
Di ruang pemulihan, Maula terbaring lemah di atas ranjang putih. Selang infus tertancap di tangan, oksigen tipis di hidungnya, dan perban membungkus lengan serta perutnya. Tapi saat melihat Rayden masuk, senyum samar langsung mengembang.
“Kamu...” suaranya pelan, namun tetap kuat.
Rayden mendekat, menunduk dan mencium keningnya. “Aku nyaris gila, Piccola. Jangan buat aku kehilangan kamu lagi.”
“Belum saatnya aku mati, Rayden...” bisik Maula, setengah bercanda, meski air matanya mulai jatuh. “Aku masih harus lihat kamu menang lawan dia.”
Rayden menghela napas panjang dan menggenggam erat tangan istrinya. “Aku janji, ini akan berakhir. Aku akan cari Isabella sampai ke neraka sekalipun.”
Ruang ICU. Archer duduk di samping ranjang, tubuh Vanessa masih tak banyak bergerak. Alat pemantau detak jantung berdenting pelan. Selang transfusi darah mengalirkan cairan merah dari kantong IV ke nadinya.
Wajah Vanessa pucat, tapi napasnya tenang. Di balik luka, tubuhnya tetap tampak anggun seperti biasanya. Archer menyentuh tangannya perlahan, takut menyakitinya.
“Kamu selamat, sayang...” gumam Archer, nyaris tak terdengar. “Tapi aku akan pastikan… dia tidak akan pernah menyentuh kamu lagi. Tidak lagi.”
Ia mencium punggung tangan istrinya. Di luar, salju mulai turun lebih lebat. Kota Moskow seakan terbungkus dalam diam.
Tapi di balik diam itu, dua pria sedang memendam bara. Besok, perburuan akan dimulai dan darah, mungkin akan kembali tumpah.
...***...
Angin Moskow mengiris tajam seperti pisau. Salju tipis jatuh perlahan dari langit malam, menempel di rambut pirang Isabella yang berantakan dan basah oleh keringat serta percikan darah. Ia berjalan cepat menyusuri gang sempit di belakang distrik Tverskoy, menyembunyikan wajahnya di balik syal wol hitam.
Ia tak membawa banyak, hanya dompet kecil berisi uang tunai, paspor palsu atas nama Natalia Voronina, dan sebuah flashdisk mungil yang ia selipkan di balik bra. Isi flashdisk tersebut adalah kunci dari permainan yang belum selesai.
Tiga jam sejak insiden di rumah Dragonvich. Kota ini masih terjaga, tapi detak langkahnya sudah sinkron dengan denyut jantungnya yang pelan tapi mantap. Ia tahu ke mana harus pergi.
Mobil tua Lada merah tua menunggu di ujung gang. Seorang pria paruh baya berseragam sopir duduk di balik kemudi, wajahnya tak asing karena sopir itu mantan anggota FSB yang dulu pernah Isabella selamatkan dari hukuman mati.
“Ke Vladivostok,” ucap Isabella dingin.
“Perjalanan panjang Ny. Isabella,” gumam sopir itu.
“Tak masalah.”
Mobil melaju pelan, menyusuri jalanan licin yang diselimuti embun beku. Ia telah menumpahkan darah tapi baginya, ini baru permulaan.
Di dalam diri Isabella, dendam masih menyala seperti arang merah yang belum padam. Apa yang terjadi malam itu di rumah Dragonvich bukanlah pelarian, tetapi itu deklarasi perang.
Dan dalam kesunyian mobil yang bergerak menjauh dari Moskow, senyuman tipis muncul di wajahnya yang penuh luka dan bayangan.
“Isabella masih hidup. Dan dia akan kembali.” Isabella tersenyum senang berkata seperti itu.
Isabella adalah orang yang licik tapi sedikit ceroboh, andai saja semua bukti itu tidak dia simpan dan jadikan pajangan, mungkin kebusukannya tak akan pernah terbongkar.
Tapi itulah Isabella, dia menyukai kenangan berdarah, makanya dia menyimpan semua bukti tersebut untuk kepuasannya sendiri. Setiap kali memasuki ruangan itu, dia bahagia karena merasa menang atas apa yang terjadi.
...•••Bersambung•••...
...----------------...
...----------------...