Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Bukan Papamu!
Laura sontak menoleh ke arah Noah. Matanya terbelalak dengan alis yang saling bertautan. Sebuah senyum justru kini terukir di bibir Noah.
"Noah, kamu ... apa maksudmu?"
Noah tersenyum kikuk. Lelaki tersebut mengusap tengkuknya. Dia menelan ludah kasar karena takut telah menyinggung Laura dan melewati batas.
"Ng-nggak, maksudku ...." Noah terdiam, tetapi manik matanya tidak berhenti menatap sekeliling seolah sedang mencari sesuatu.
"Gini, biar Jordan lebih menjaga jarak, bukankah lebih baik kita melanjutkan kebohonganku? Aku pernah mengaku di hadapannya kalau aku adalah ayah dari Leon." Noah kembali tersenyum kikuk dan menunduk sebentar.
"Apa kamu keberatan dengan hal ini, Laura?" tanya Noah hati-hati dengan senyum canggung.
Laura terdiam sejenak. Dia mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya mengangguk. Hal itu justru membuat Noah mengerutkan dahi.
"Lah, Laura. Kamu seriusan? Mau drama suami-istri di depan Pak Jordan?"
"Ya, ide ini nggak buruk juga!" seru Laura sambil mengangguk.
"Berarti mulai sekarang aku pindah ke sini?"
Sontak Laura mendaratkan pukulannya pada kepala Noah. Lelaki tersebut mengaduh sambil mengusap puncak kepala yang terasa sedikit berdenyut akibat ulah Laura. Laura mengerucutkan bibir sambil menatap tajam Noah.
"Nggaklah! Nggak sampai sejauh itu! Yang bener aja kamu, Noah!"
"Yaaa, kan totalitas, Laura. Takutnya kamu dikuntit dan diselidiki semakin brutal sama Pak Jordan." Noah tersenyum miring sambil menggaruk kepalanya.
"Nggak gitu juga, kali! Kurang kerjaan banget nguntit aku sampai ke rumah-rumah!" seru Laura.
Noah terkekeh ketika melihat sahabatnya itu tampak merajuk. Hatinya mendadak berdebar. Segala tentang Laura berhasil membuat Noah terpukau.
"Kalau begitu aku pulang dulu, ya?" pamit Noah.
Laura mengangguk dan ikut beranjak ketika Noah berpamitan. Lelaki tersebut melangkah mendekati pintu keluar. Namun, tiba-tiba Laura teringat sesuatu.
"Noah!" panggil Laura sehingga membuat lelaki tersebut menghentikan langkah.
"Kenapa?"
Laura tidak langsung mendekati Noah. Dia memilih untuk berjalan sangat pelan. Tak lama kemudian, Laura tersenyum canggung.
Perempuan tersebut menggaruk kepala sambil memiringkan anggota tubuh bagian atasnya tersebut. Noah senyum mencibir ketika melihat sikap Laura. Dia paham betul kalau Laura pasti akan meminta sesuatu ketika gestur tubuhnya seperti itu.
"Kenapa? Bilang aja! Nggak usah pasang muka nggak enak hati gitu."
"Itu ...." Laura tersenyum lebar sehingga giginya yang rapi terlihat.
"Kemungkinan besok aku akan lembur lagi. Kamu tahu sendiri gimana sensitifnya Pak Jordan akhir-akhir ini. Aku dikejar deadline gila-gilaan. Jadi ...." Laura kembali menggaruk lehernya.
"Bisa minta tolong jemput Leon sampai proyek ini selesai?" Laura mengedipkan mata beberapa kali sambil menautkan kedua tangannya.
Noah terkekeh. Dia mendaratkan tangan ke puncak kepala Laura. Noah mengangkat lengannya ketika melihat Laura mulai mengerucutkan bibir.
"Kamu fokus saja sama pekerjaanmu. Aku akan selalu ada buat kamu sama Leon. Bukankah selama ini aku melakukan hal yang sama?"
Laura kini mendongak sambil merapikan rambutnya. Noah tersenyum lebar. Laura ikut mengembangkan senyuman pada bibir tipisnya.
"Terima kasih, Noah. Kamu memang yang terbaik!" ujar Laura sambil mengacungkan kedua jempolnya.
Noah membalas senyuman Laura. Dia pun kembali melanjutkan langkah keluar dari apartemen sang sahabat. Laura melambaikan tangan sebelum Noah menutup pintu.
"Hati-hati di jalan, Noah!"
Kalimat itu selalu berhasil membuat Noah fokus ketika berkendara di jalan. Tujuan utama Noah saat ini hanyalah semua tentang Laura. Dia merupakan sumber kebahagiaan Noah di tengah kemelut keluarganya sendiri.
Noah berharap bisa membawakan kebahagiaan untuk Laura. Paling tidak, dengan begitu dia merasa berharga untuk orang lain. Noah melajukan mobil pulang ke rumah sang ibu dengan senyuman yang tak padam.
Siang itu segerombol anak laki-laki mengelilingi Leon yang sedang duduk sendirian di taman sekolah. Mereka menatap Leon dengan tatapan aneh karena penampilannya yang terlalu mencolok. Satu dari anak-anak itu maju, sehingga membuat Leon mendongak.
"Kulitmu kemerahan seperti bayi hamster! Aku tidak pernah melihat kamu diantar sama papamu! Wajahmu juga tidak mirip dengan ibumu! Ke mana papamu?" tanya bocah bernama Steve berdarah Tionghoa.
"Papaku nggak ada, Steve. Mama bilang papa sudah meninggal." Bibir mungil Leon mengungkapkan hal itu dengan polosnya.
"Haha, kasihan sekali nggak punya papa! Aku, dong! Setiap minggu diajak mama sama papaku berenang atau ke kebun binatang!" ujar Steve dengan tawa jemawa.
"Aku juga sering diajak mama juga paman ke kolam renang dan kebun binatang, kok." Suara Leon mulai bergetar dengan ujung hidung berubah kemerahan.
"Tapi dia pamanmu, bukan papamu! Hahaha! Leon nggak punya ayah! Nggak punya ayah!"
Seruan itu terus berlanjut dan diikuti oleh anak lain. Leon pun langsung menangis karena diejek oleh teman-temannya. Bahkan ada seorang anak yang mengambil lumpur dan mengoleskannya ke tubuh Leon.
"Nih, biar kulitmu kayak kami! Nggak merah-merah begitu!"
Semua anak-anak itu kini kembali menertawakan Leon. Mereka menunjuk Leon dan terus mengolok-olok bocah polos tersebut. Mereka baru berhenti dan berlari masuk ke kelas ketika bel tanda masuk berbunyi.
Leon terus menyembunyikan tangisnya ketika ada dalam kelas. Dia tidak mengadu dan memilih diam karena takut. Hingga jam pelajaran berakhir, Leon memilih untuk pulang paling akhir.
Di luar gerbang sekolah, Noah sudah menanti Leon. Dia terus melirik arlojinya. Jemarinya tak bisa diam mengetuk roda kemudi. Sampai akhirnya sosok Leon keluar dari gerbang sekolah.
"Astaga, dia kenapa?" gumam Noah.
Lelaki tersebut bergegas keluar dari mobil. Dia melangkah cepat sambil berlari kecil agar bisa langsung menghampiri Leon. Ketika sudah sampai di hadapan Leon, Noah langsung berdiri bersimpuh dengan lutut sebagai tumpuan.
"Leon, kamu kenapa kotor sekali?" Noah mengangkat lengan Leon yang sudah berlumuran lumpur kering.
Mata bocah laki-laki itu pun sebak. Bulu matanya masih basah karena tangis. Napas Leon patah-patah karena isak tangis.
"Teman-teman mengejekku. Tapi, aku takut bercerita sama bu guru. Mereka melumuri tanganku dengan lumpur agar kulitku tidak tampak kemerahan." Tangis Leon kembali pecah.
"Siapa yang sudah berani mengejekmu? Aku akan menghukum mereka!" ujar Noah geram.
"Jangan, nanti mereka semakin marah sama aku! Bolehkan aku pindah sekolah saja? Bisa bilang ke mama?" tanya Leon dengan mata yang dibanjiri air mata.
"Kamu tidak perlu pindah sekolah, Leon. Papa akan selalu lindungi kamu. Bilang saja kalau mereka mengganggumu lagi! Aku yang akan menghukum mereka hingga jera!" Noah memeluk tubuh mungil Leon.
Refleks Noah menyebut dirinya ayah dari Leon. Sebenarnya Laura sering menceritakan kalau sang putra diolok-olok karena tidak memiliki ayah. Laura sudah melaporkannya kepada pihak sekolah.
Namun, kali ini sudah keterlaluan. Leon mendapatkan perundungan fisik sampai enggan kembali bersekolah di sana. Noah berniat untuk memperingatkan pihak sekolah dengan tegas karena hal ini.
Di balik kejadian menyayat itu, ada orang lain yang sedang mengamati keduanya. Dia memegang dada yang terasa begitu nyeri