NovelToon NovelToon
Paman CEO Itu Suamiku!

Paman CEO Itu Suamiku!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: Lee_ya

Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.

Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.

Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sendiri, di Tengah Dua Luka

Sudah tiga hari Nayra bangun pagi lebih awal dari biasanya. Bukan untuk sekadar menyiapkan sarapan, tapi untuk menyambut Arka di meja makan. Tapi yang datang hanya sunyi.

Satu minggu terakhir, Arka lebih sering pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali. Jika pun pulang, ia masuk ke kamar tanpa bicara panjang.

Hari ini Nayra memberanikan diri membuka percakapan lewat pesan:

"Aku masak sup kesukaan kamu. Pulang, ya?”

Pesan itu dibaca, tapi tak dibalas.

***

Di sore hari, Arka memang pulang. Tapi hanya untuk mengambil berkas di ruang kerja.

Nayra, dengan senyum canggung, menghampiri.

“Kamu makan dulu, ya? Aku masak yang nggak pedas. Aku tahu lambung kamu kambuhan kalau stres.”

Arka tersenyum kecil, tapi tidak duduk.

“Aku harus ke kantor lagi, Nay. Maaf.”

Nayra menahan diri agar tidak memelas.

“Arka…” panggilnya pelan.

Arka menoleh, tangan sudah di pegangan pintu.

“Aku tahu aku salah. Aku sempat kehilangan arah. Tapi aku udah mikir, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku percaya kamu. Aku cuma... waktu itu bingung. Takut.”

Arka hanya diam beberapa detik, lalu mengangguk pelan. “Aku ngerti.”

Tapi tidak ada pelukan. Tidak ada genggaman tangan.

Hanya jarak yang dulu dibangun oleh keraguan Nayra, kini diteruskan oleh kelelahan Arka.

***

Malam itu, Nayra berdiri di balkon kamar, memandangi lampu kota.

Ia memutar ulang semua pesan, semua obrolan, semua tatapan Arka akhir-akhir ini.

Dingin.

Sepi.

Sopan, tapi tak lagi hangat.

Alma terbangun dan menangis. Nayra buru-buru masuk. Setelah anaknya tidur kembali, ia melihat ponsel di meja. Tak ada pesan.

Biasanya, Arka akan mengirim:

“Maaf ya aku pulang malam, peluk Alma untukku.”

“Jangan lupa makan, Nay.”

Tapi sekarang? Hanya notifikasi dari akun belanja online.

Nayra duduk di lantai. Kali ini bukan karena marah, bukan karena curiga, tapi karena sadar, dia mulai kehilangan Arka saat ia baru siap berlari mengejarnya.

***

Esok paginya, Nayra menunggu Arka di depan kamar mandi.

Begitu pria itu keluar, ia langsung berkata, “Boleh aku ikut kamu ke kantor hari ini? Aku... pengen duduk di sampingmu. Diam juga nggak apa-apa. Aku cuma pengen ada.”

Arka ragu sejenak. Lalu menggeleng pelan.

“Nay, aku ada meeting internal. Akan panjang. Dan... mungkin kamu akan bosan.”

Nayra menunduk. “Aku nggak akan bosan, kok.”

Arka tersenyum kecil, tapi kembali menjauh. “Besok-besok, ya.”

Dan hari itu, Nayra sadar.

Arka tidak marah.

Arka tidak membalas.

Tapi Arka sedang menutup pintunya perlahan karena dia sudah terlalu lelah mengetuk pintu Nayra duluan.

**"

Di sore harinya, Nayra duduk sendiri di ruang tengah, memandangi foto mereka bertiga, ia, Arka, dan Alma.

Tangannya bergetar saat mengambil album foto pernikahan mereka. Di sana, Arka tersenyum. Wajah yang dulu membuat Nayra nyaman, kini terasa asing.

Tak lama kemudian, ponselnya berdering.

“Ka?” suara Nayra terdengar lega.

Tapi bukan Arka.

“Bu Nayra, saya Reza. Pak Arka pingsan tadi siang di kantor. Sekarang sedang dibawa ke rumah sakit.”

***

Ruang rawat inap VIP itu sepi.

Hanya suara detak jam dinding dan bunyi pelan monitor infus yang menandai waktu berjalan.

Nayra duduk di kursi sebelah ranjang.

Tangannya menggenggam tangan Arka yang dingin, pucat, namun masih hangat bagi hatinya.

Air mata yang tadi sudah kering, kembali membasahi pipi saat ia melihat wajah suaminya yang lelah dan sedikit membiru di bawah mata.

“Maafin aku, Ka…” bisiknya pelan.

Arka membuka mata perlahan. Sedikit menyipit karena cahaya lampu. Ia melihat Nayra wajah cemas, rambut berantakan, mata sembab.

Beberapa detik tak ada ucapan.

Lalu Arka menarik tangannya pelan dari genggaman Nayra. Tidak kasar, tapi terasa seperti tamparan.

“Aku nggak apa-apa,” ucapnya singkat.

Nayra menggigit bibir. “Kamu pingsan… Kamu kerja terlalu keras.”

Arka menatap langit-langit kamar. “Kalau aku bilang aku pingsan karena capek, kamu percaya?”

Nayra menunduk. “Aku percaya.”

Arka menghela napas pendek.

“Sayangnya, aku nggak percaya lagi kamu sepenuhnya percaya.”

***

Dokter datang untuk pemeriksaan singkat. Setelah itu, Nayra kembali duduk, kali ini sambil menyuapi Arka bubur.

Tapi Arka menolak.

“Aku bisa sendiri.”

Nayra menahan napas.

“Ka… kamu masih marah?”

Arka memalingkan wajah.

“Nggak marah. Cuma... capek.”

“Capek sama aku?” tanya Nayra pelan.

“Capek sama semuanya,” jawab Arka, masih dengan nada datar.

“Sama dunia yang sibuk menilai. Sama diriku sendiri yang terus-terusan berusaha. Sama... kamu, yang baru percaya saat aku sudah hampir tumbang.”

Nayra menggenggam lengan baju Arka.

“Aku nggak bermaksud gitu, Ka. Aku cuma butuh waktu buat yakin lagi. Tapi sekarang... aku siap. Aku sadar aku salah dan aku nggak akan pergi ke mana-mana.”

Arka menatapnya sebentar, lalu memejamkan mata.

“Ya. Tapi mungkin sekarang giliranku butuh waktu, Nayra.”

***

Hari itu, Nayra menjaga Arka sepanjang malam. Ia mengusap dahinya saat demamnya naik, ia memanggil suster setiap kali Arka batuk dan ia diam saat Arka menolak disentuh.

Malam terasa panjang. Tapi bukan karena takut, karena rindu yang tak terjawab.

Esok harinya, Reza datang menjenguk.

“Pak Arka, ada berita baik. Proposal merger kemarin diterima. Tapi mereka mau diskusi lanjutan minggu depan.”

Arka hanya mengangguk tanpa semangat.

Setelah Reza keluar, Nayra duduk lagi di tepi ranjang.

“Ka, kamu mau aku bantu urus yang bisa aku bantu? Kamu bisa istirahat total.”

Arka menjawab tanpa menatapnya, “Aku nggak mau kamu kasihanin aku.”

Nayra terdiam.

“Aku nggak kasihan. Aku cinta.”

Kalimat itu membuat Arka membuka mata perlahan. Pandangannya kosong, tapi matanya berkaca.

Namun bibirnya tetap tidak berkata apa-apa.

***

Sore harinya, Nayra pulang sebentar untuk ambil pakaian ganti.

Saat kembali, Arka tertidur. Tapi di meja samping tempat tidur, ada secarik kertas. Tulisan tangan Arka.

"Aku nggak tahu kapan bisa hangat lagi padamu. Tapi aku tahu, aku belum mau kehilanganmu. Kalau kamu masih mau tinggal… tinggal lah. Tapi jangan paksa aku tersenyum sebelum luka ini reda.”

Nayra duduk. Membaca ulang tulisan itu berkali-kali.

Ia menangis, tapi kali ini bukan karena penolakan, melainkan karena ada harapan kecil yang tumbuh di antara retak hati mereka.

***

Sudah tiga hari Nayra tinggal di rumah sakit, menunggui Arka yang masih dalam masa pemulihan.

Tiga hari yang terasa seperti tiga bulan.

Karena tak ada satu pun percakapan hangat.

Tak ada pelukan.

Yang ada hanya tatapan kosong, diam panjang. Balasan “Iya” dan “Nggak” yang seolah otomatis.

Namun Nayra tetap bertahan. Ia tetap duduk di kursi kecil sebelah ranjang. Tetap menyuapi walau kadang hanya mendapat gelengan kepala. Tetap mengatur selimut, walau Arka menariknya sendiri.

Dia masih percaya cinta itu tidak selalu terdengar, tapi harus tetap diusahakan.

***

Siang itu, Nayra baru saja keluar dari kamar rawat untuk membeli roti dan kopi.

Baru meneguk satu, ponselnya bergetar.

“Bu Nayra, ini Mbak Intan. Alma demam tinggi, Bu. Sejak tadi pagi rewel dan nggak mau makan. Saya panik, Bu. Boleh Alma dibawa ke dokter?”

Dunia Nayra seperti runtuh seketika.

“Alma...” bibirnya gemetar.

Tanpa pikir panjang, ia lari kembali ke kamar Arka.

“Ka, aku harus pulang. Alma sakit. Mbak Intan baru telepon.”

Arka menoleh. Wajahnya masih pucat, tapi tetap dingin. Walaupun dihatinya dia juga merasa khawatir pada putrinya.

“Pakai supir. Jangan naik ojek. Kirim kabar pas sampai.”

Nayra menunggu. Menunggu... mungkin satu kalimat tambahan.

“Mau aku temani?”

“Atau nanti aku susul?”

Tapi tidak ada.

Hanya nasihat netral yang dingin dan terkesan normal dan Nayra paham Arka masih belum kembali.

1
Dini Aryani
mohon maaf, karakter istri egois. dia menuntut suami yg diinginkan semua istri, sedangkan dia tidak melakukan kewajiban sebagai istri apalagi sedang hamil, ketaatan pd suami yg baik. sudah jadi istri lho. tolonglah ada unsur edukasi buat istri, agar tdk ada yg meniru sesuatu yg buruk. saya sbg istri malu
Lee_Ya: terimakasih kak buat komentarnya, stay tune terus ya buat tau cerita selanjutnya....lope sekebon 😍😍😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!