Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 25
Pagi itu, matahari masih setengah malu menampakkan sinarnya ketika mobil yang membawa Bagas meluncur keluar dari halaman rumah. Aruna berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan kerja kebunnya yang sederhana namun tetap anggun. Ia hanya melambaikan tangan singkat. Bagas membalas lambaian itu lewat kaca jendela, sekilas menatap ke arah istrinya.
Yang ia temukan hanyalah sorot mata tenang, terlalu tenang.
Begitu mobil menghilang di tikungan, Aruna menghela napas panjang. Tak ada kesedihan yang menggantung di udara. Hanya keheningan, dan semilir angin pagi yang menyapu wajahnya. Tanpa menunda lebih lama, ia melangkah menuju mobil jeep kecilnya, bersiap untuk kembali ke perkebunan seperti hari-hari sebelumnya.
Di kebun, aktivitas sudah dimulai. Suara alat-alat pertanian, diskusi para mandor, dan tawa pekerja yang saling sapa menciptakan kehidupan yang berdenyut hangat. Raka berdiri di dekat rumah kaca, memeriksa perkembangan tanaman herbal hasil penelitian terbaru. Ia terlihat serius, mencatat sesuatu di buku kecilnya, sesekali memberi arahan pada dua pekerja yang mendampingi.
Saat melihat Aruna datang, ia mengangguk sopan, senyumnya mengembang singkat.
"Selamat pagi, Ibu," sapa Raka.
Aruna membalas dengan senyuman tipis. "Pagi. Sudah lama di sini?"
"Sejak matahari belum terbit. Saya tadi cek suhu udara di rumah kaca, sepertinya harus ada penyesuaian sistem penyiraman otomatis."
Mereka mulai berjalan bersama, membahas progres kebun dengan profesionalisme seperti biasa. Namun, di sela-sela obrolan teknis itu, ada ruang yang diam-diam terisi oleh sesuatu yang lebih personal. Pandangan yang kadang bertemu terlalu lama. Senyum yang muncul tanpa sebab. Jarak yang tetap dijaga, tapi terasa semakin rapuh.
Setelah satu jam berkeliling dan mengecek area budidaya, mereka tiba di saung kecil di tepi kebun. Saung itu menghadap ke hamparan tanaman bunga matahari yang sedang mekar. Aruna duduk di bangku kayu panjang, membuka botol air mineral, sementara Raka duduk di seberangnya, membenarkan topi lapangannya.
“Bagaimana kabar Pak Bagas?” tanya Raka pelan, suaranya terdengar berhati-hati.
Aruna diam sejenak, menatap jauh ke ladang. “Sudah berangkat pagi tadi. Ke Indonesia Timur. Proyek barunya.”
“Berapa lama?”
“Beberapa minggu, mungkin sebulan.”
Raka mengangguk, tak menanggapi lebih jauh. Tapi Aruna bisa merasakan pertanyaan yang sebenarnya tersisa di udara. Ia memutuskan menjawab, meski tak diminta.
“Aku... masih mencoba percaya. Tapi jujur saja, Raka, rasanya seperti menunggu seseorang yang tak pernah benar-benar pulang.”
Raka menunduk. Kalimat itu terasa seperti jendela yang dibuka memperlihatkan isi hati yang selama ini hanya menebak.
Aruna melanjutkan dengan suara lirih, “Bagas janji akan berhenti setelah proyek ini. Katanya akan mulai fokus bersama-sama mengurus kebun. Tapi aku ingin lihat... apakah benar begitu.”
Beberapa detik kemudian, Raka menambahkan, “Saya percaya ibu bisa menentukan apa yang terbaik.”
Aruna menoleh, sedikit tersenyum. “Terima kasih... kamu selalu jadi teman bicara yang menenangkan.”
Raka membalas senyum itu, walau hatinya bergolak. Ia ingin mengatakan banyak hal. Bahwa ia jatuh cinta. Bahwa ia ingin lebih dari sekadar teman bicara. Tapi ia menahan semuanya. Karena di hadapannya adalah seorang perempuan yang belum bebas. Dan ia tidak ingin menjadi orang yang menghancurkan sesuatu, seberapa pun besar keinginannya untuk memiliki.
Hari itu, mereka menghabiskan waktu lebih lama di kebun. Bekerja, berdiskusi, bahkan makan siang bersama tim di bawah pohon rindang seperti tradisi mingguan mereka. Tapi sepanjang waktu, hati mereka seperti bermain tarik ulur. Ada sesuatu yang tak terucap, namun begitu nyata dirasakan.
Dan ketika sore menjelang, saat Aruna berpamitan untuk kembali ke rumah, Raka hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh dengan satu keyakinan: perempuan itu sudah mulai mengambil tempat di hatinya. Tempat yang tak bisa ia singkirkan, seberapa pun logika memaksanya untuk lupa.
Sementara Aruna, dalam perjalanan pulang, tak bisa berhenti memikirkan satu hal: jika suatu hari ia benar-benar lepas dari pernikahannya, akankah Raka masih ada di sana?
Dan pertanyaan itu... cukup untuk membuat dadanya berdebar.
___
Malam itu, suasana rumah Aruna begitu tenang. Hanya suara detak jam dinding dan gesekan lembut dedaunan dari luar jendela yang menemani kesendiriannya. Ia duduk di ruang tengah, secangkir teh hangat dalam genggaman, tapi pikirannya tidak benar-benar di sana. Sudah lama ia tidak merasa sesepi ini. Tapi yang lebih jujur, sudah lama pula ia tidak merasa... begitu terbuka untuk seseorang selain Bagas.
Sementara itu, di rumah dinas kecil di dekat kebun, Raka duduk di meja belajarnya. Buku-buku tentang botani terbuka begitu saja di hadapannya, namun pandangannya tak lepas dari layar ponsel yang tergeletak di samping laptop. Jemarinya ragu, tapi akhirnya ia membuka aplikasi pesan, mengetik pelan.
"Apa kabar malam ini? Tidak kesepian, Bu?"
Ia sempat bimbang untuk menekan tombol kirim, tapi akhirnya ia lakukan juga. Dan detik berikutnya, ia merasa gugup. Mungkin terlalu berani. Mungkin tidak pantas. Tapi di sisi lain, ia hanya ingin memastikan. Bahwa ia bukan satu-satunya yang merasa kosong. Bahwa mungkin hanya mungkin perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.
Tak butuh waktu lama, layar ponselnya menyala. Tapi bukan balasan pesan teks yang muncul. Melainkan panggilan masuk. Dari Aruna.
Raka terbelalak sesaat. Tangannya refleks mengangkat.
“Halo?” suaranya agak kaku, gugup tak bisa disembunyikan.
“Hei,” suara Aruna di seberang terdengar tenang, hangat. “Tadinya aku hanya akan kirim pesan. Tapi, entah kenapa... aku lebih ingin dengar suaramu malam ini.”
Raka menghela napas lega, tapi juga terharu. “Saya juga... sebenarnya berharap ibu balas. Tapi nggak menyangka ibu malah nelpon.”
“Kamu juga sendiri malam ini?” tanya Aruna pelan.
“Iya. Biasanya aku masih sibuk ngoreksi data atau laporan. Tapi malam ini rasanya kosong. Seperti... ada yang hilang.”
“Kurasa aku tahu rasanya,” jawab Aruna. “Biasanya kalau Bagas pergi, aku suka merasa berat. Tapi sekarang... aku justru lebih tenang. Aneh, ya?”
“Kadang ketenangan itu datang bukan karena seseorang pergi,” sahut Raka pelan. “Tapi karena hati kita sudah... terbiasa.”
Percakapan mengalir begitu saja. Ringan, tapi penuh makna. Mereka mulai tertawa kecil saat membahas kejadian-kejadian lucu di kebun, seperti ayam pekerja yang sering kabur masuk rumah kaca, atau seorang pekerja yang takut dengan kupu-kupu besar.
Dari topik-topik ringan, mereka perlahan menyentuh sisi-sisi pribadi.
“Kamu sendiri... kenapa bisa berpisah dengan Rita?” tanya Aruna hati-hati, di sela tawa yang mulai mereda.
Raka terdiam sejenak. “Karena kami berjalan ke arah yang berbeda. Dulu terasa cocok, tapi lama-lama... hanya terasa penuh toleransi. Dan itu melelahkan. Aku ingin hubungan yang... bisa membuatku pulang tanpa beban.”
Aruna terdiam, mencerna.
“Kalau kamu, Bu... kenapa masih bertahan dengan Bapak?”
“Karena dulu aku percaya, cinta bisa diselamatkan. Tapi sekarang... aku mulai sadar, mungkin yang kuselamatkan hanyalah kenangan, bukan cinta itu sendiri.”
Sejenak, hanya keheningan yang menggantung. Tapi anehnya, keheningan itu terasa akrab. Tidak canggung. Seperti ruang yang mereka bagi bersama untuk bernapas.
“Aku senang bisa ngobrol seperti ini,” ucap Aruna tiba-tiba.
“Saya juga...” suara Raka terdengar tulus. “Terima kasih sudah menelpon. Rasanya... lebih hangat malam ini.”
“Kalau kamu tak keberatan,” kata Aruna, nyaris seperti bisikan, “besok temani aku ke area baru di kebun. Aku ingin dengar ide-ide kamu tentang pengembangan herbal lokal.”
“Dengan senang hati,” sahut Raka cepat. “Bahkan kalau cuma untuk duduk diam di samping ibu pun... saya bersedia.”
Aruna tertawa pelan, tapi hatinya berdebar. “Kamu tahu? Terkadang, aku takut... karena kamu membuat semuanya terasa begitu mudah.”
“Dan aku takut... karena ibu membuat aku berharap lebih.”
Malam itu, obrolan mereka berlangsung lebih lama dari yang direncanakan. Sampai akhirnya mereka menyadari waktu sudah hampir tengah malam. Mereka saling mengucap selamat malam, tapi masing-masing masih menatap layar ponsel setelahnya. Seolah tidak ingin memutus kebersamaan yang baru saja tercipta.
Dan saat lampu kamar dimatikan, keduanya masih sama-sama tersenyum di tempat tidur masing-masing. Ada yang tumbuh malam itu. Diam-diam. Tapi sangat nyata.
Perasaan yang tak lagi bisa diabaikan.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor